Saya hampir tidak percaya dengan apa yang saya saksikan.
Saya tertegun melihat Jokowi sebagai presiden menangani persoalan PT Semen Indonesia vs Rakyat Kendeng. Itu karena dulu, ketika Pemilihan Presiden 2014, saya memilihnya. Sungguh berat buat saya saat itu.
Saya selalu sinis terhadap politik, bidang yang sesungguhnya saya pelajari dan secara profesional menjadi keahlian saya.
Ketika itu, saya tidak percaya Jokowi. Saya yakin seyakin-yakinnya, di balik penampilannya yang menyerupai rakyat kebanyakan itu, dia adalah tawanan kepentingan.
Namun untuk saya yang punya pengalaman berurusan langsung dengan Orde Baru dan jendral-jendralnya, memilih kandidat sebelah sama artinya dengan mengembalikan semua hal yang semula saya tolak. Saya tahu persis wataknya.
Jadi memilih Jokowi adalah ‘de duobus malis minus’ atau ‘the lesser of two evils.’
Pertimbangan saya sederhana. Jika dia mencitrakan dirinya sebagai rakyat kebanyakan dan tahu persis menyelami rakyat kecil (hallo! masih inget blusukan?) maka dia bisa diminta pertanggungjawaban oleh rakyat kecil. Paling tidak, rakyat kecil adalah hati nuraninya.
Namun, itu tidak terjadi!
Peristiwa dengan para petani Kendeng yang merendahkan diri mereka sedemikian rupa dengan menyemen kakinya, tidak diindahkannya. Seorang kawan mengingatkan aksi Kamisan yang sudah berlangsung bertahun-tahun juga tidak menarik perhatiannya. Dia sudah berada di dalam istana.
Yang terjadi adalah para serdadu medianya menyerbu sana-sini dan menciptakan opini. Presiden ini tidak bisa ditekan dengan cara-cara begini, kata mereka.
Ah, ada LSM bayaran yang menggerakkan, kata yang lain — yang ironisnya perutnya kekenyangan karena bayaran membikin opini. Awas Orde Baru akan bangkit karena Cendana memakai isu ini untuk menjatuhkan Jokowi, demikian seru yang lain terutama kepada sesama aktivis.
Ada juga yang melontarkan pertanyaan seolah-olah tampak kritis. Apakah kita tidak berhak punya pabrik semen? Apakah kita tidak berhak maju dan modern, seperti Amerika, Rusia, atau Cina? Pertanyaan yang sahih dan enak dilontarkan terutama kalau bukan Sodara yang harus mati tercekik debu dan kehilangan mata air!
Mengorbankan yang Kecil
Saya tahu, Jokowi menjadikan infrastruktur sebagai agenda utamanya. Saya juga mengakui program itu penting. Pada tahun 80an dan 90an, pemerintah Soeharto juga melakukan yang sama. Ketika itu, Soeharto dan antek-anteknya juga berperilaku yang sama: mengorbankan yang kecil.
Ingatkah Sodara akan Waduk Kedungombo?
Waduk yang dibangun dengan utang itu harus menenggelamkan beberapa desa. Petani-petani sederhana ketika itu melawan dan dihadapi oleh Soeharto seperti menghadapi invasi dari luar, yakni dengan mengerahkan pasukan bersenjata lengkap.
Jokowi tidak perlu melakukan itu. Cukup yang dia lakukan adalah mengabaikan protes-protes ini dan menganggapnya tiada. Dia tahu persis bahwa dia tidak berkuasa dengan senjata. Dia bertarung di tataran persepsi. Itulah sebabnya dia perlu orang yang membentuk persepsi.
Kalau orang mengatakan bahwa Susilo Bambang Yudhoyono adalah presiden yang paling narsistik yang dimiliki Indonesia, orang tidak sadar bahwa Jokowi adalah presiden yang paling sadar media. Lihatlah Vlog yang dia ciptakan. Dia sangat luwes dan alamiah berperan dalam media itu.
Saya pantas gemetar karena ngeri dan cemas. Terutama karena saya sangat menaruh perhatian dengan reklamasi Teluk Benoa.
Sodara tahu, proyek reklamasi ini akan menghasilkan tanah seluas 800 hektar di wilayah kelas 1 pariwisata Bali. Dia yang mendapat proyek ini akan mendapat keuntungan ratusan kali lipat dari yang diinvestasikan.
Proyek ini dimungkinkan oleh Presiden Yudhoyono yang pada saat-saat terakhir masa kekuasaannya mengeluarkan Perpres No. 51/2014. Yudhoyono mengubah peruntukan kawasan itu sehingga pengurukan laut itu dimungkinkan.
Sodara tahu, protes dan penolakan terhadap proyek ini berlangsung terus menerus tanpa putus dan bahkan bertambah besar. Anak-anak muda Bali bergerak menolaknya. Demikian pula dengan masyarakat adat di sekitarnya. Gerakan Tolak Reklamasi barangkali menjadi gerakan sosial yang paling besar di Indonesia saat ini.
Dan, yang mengagumkan gerakan ini bernapas panjang.
Penguasa yang sedikit pintar akan segera tahu bahwa ini gerakan seperti ini sulit dikalahkan. Jika ini adalah gerakan yang dibayar oleh elite, misalnya, mustahil akan bertahan sedemikian lama.
Hampir empat tahun dan dengan keras kepala terus melawan. Hari ini baliho mereka dirobohkan, esok paginya dibangun kembali. Demikian bandel!
Lalu apa yang dibikin Jokowi? Kosong! Nol! Tak ada!
Di satu sisi ada gerakan penolakan yang sangat persisten. Di sisi lain, sebagai presiden, tidak terlalu sulit untuk dia membatalkan Perpres 51/2014 ini. Namun presiden ini tidak melakukan apa-apa.
Mengapa? Inilah yang menjadi teka-teki saya.
Ongkos politik untuk mencabut Perpres ini boleh dikatakan tidak ada. Malah, kalau Jokowi mencabutnya, popularitasnya akan melambung. Jadi, apa yang sesungguhnya membuat dia tidak melakukan apa-apa? Sudah dua setengah tahun dia berkuasa.
Beberapa hari yang lalu, saya membaca berita bahwa tim media sosial presiden menghubungi Superman Is Dead (SID). Mereka meminta izin kepada SID agar diperbolehkan untuk memakai lagu SID “Jadilah Legenda” untuk soundtrack untuk program #JokowiMenjawab.
SID menolak permintaan itu. Jerinx berbicara mewakili SID. Dia berkata, “Saya sebagai penulis lagu ‘Jadilah Legenda’ merasa kurang sreg saja lagu saya dipakai alat ‘kampanye’ Jokowi (atau politisi manapun) terlebih setelah melihat sikap Jokowi terhadap kasus Kendeng. Saya 100% mendukung perjuangan warga Kendeng.”
“Saya khawatirkan solidaritas saya terhadap Kendeng terdistorsi jika lagu yang saya tulis dipakai alat kampanye beliau. Saya juga menolak tawaran tersebut sebagai peringatan pada beliau jika saya/SID tidak akan selalu setuju atas kebijakan beliau. Contohnya, sikap ‘diam’ beliau terhadap penolakan reklamasi Teluk Benoa yang diperjuangkan selama 4 tahun oleh puluhan desa-desa Adat di Bali. Saya merasa beliau sudah saatnya untuk diingatkan.”
Pemungkasnya pun sangat menohok, “Saya bukan musisi istana.”
Orang mungkin tidak tahu betapa hebat tekanan yang dialami SID karena sikap solidaritasnya terhadap Teluk Benoa dan banyak kasus menyangkut rakyat kecil.
Pentasnya secara diam-diam tidak diberikan izin. Mereka tidak diundang ke festival-festival musik. Banyak bisnis yang diam-diam menarik kontrak. Bahkan anak-anak SMA diintimidasi ketika mengundang SID pentas di sekolah mereka!
Melihat semua ini, mau tidak mau saya bertanya: Siapakah yang ditakuti Jokowi? Presiden yang tampaknya teguh dan punya ketetapan hati ini, tidak berani melawan pemodal? Mau tidak mau ke sanalah saya berpikir. Bukankah ini persis seperti Soeharto yang luar biasa kejam dengan rakyat sendiri tapi tunduk dan bahkan mengembik pun tidak berani kepada para kreditor?
Sodara-sodara, saya masih punya niat berprasangka baik. Presiden Jokowi, cabutlah Perpres 51/2014 itu. Ongkos politiknya untuk Anda hampir tidak ada. Sebaliknya Anda dan partai Anda akan dihormati. Apa yang sesungguhnya Anda takutkan, bapak Presiden? [b]
Tulisan disalin tempel dari Facebook.
Isu besar seperti ini akan ditunggangi saat pemilihan kepala daerah di Bali, pemilihan Presiden dan hal-hal politis untuk mendapatkan dukungan dari rakyat yang berjuang selama 4 tahun.
Akan ada saat dimana banyak politikus kesiangan yang koar-koar mendukung aksi rakyat Bali ini jadi para politikus ini bersabar sampai saat mereka naik podium dan “pura-pura” ikut menolak reklamasi. Sejarah akan terulang dimana rakyat hanya akan percaya pada cangkul, apakah cangkul itu menancap di tanah untuk kebaikan Bumi atau di kepala para politisi sampah? Hanya rakyat yang sadar yang tahu, kekuatan besar mereka jika dipersatukan tak ada yang bisa menghadang, walaupun itu tanda tangan penguasa Indonesia. Di Indonesia, “Darah itu murah Jenderal…” Rakyat bangkit penindas mati.