Hidup di tengah kemacetan lalu-lintas transnasional, yakni Bali, dapat menjadi pengalaman yang melelahkan.
Sebab, gloBALIsasi bukan sekadar mengapalkan lonceng angin dari bambu dan kucing kayu yang mengerling untuk dikirim ke butik-butik di Berkeley dan Brisbane, atau menyaksikan Bill Clinton dan Bay Watch berebut jam tayang utama di televisi di banjar, melainkan membuka pasar-pasar baru untuk komoditas kapitalisme kultural baru yang paling berharga: otentisitas.
(Santikarma, 2001; Nordholt, 2010: 101)
Tak terbayangkan sebelumnya Papua akan menjadi salah satu bagian terpenting dalam hidup saya. Keputusan menjadi dosen di sebuah universitas negeri di kepala burung Papua adalah hal yang mengubah arah kehidupan saya seketika itu juga. Tentu pilihan ini dengan berbagai resiko dan tantangan.
Sebelumnya, kehidupan dan cakrawala akademik saya hanya berkutat dengan Bali dan problematika politik kebudayaan dan kekerasannya. Kedua tema ini memang menjadi fokus minat saya selama menekuni karir akademik dalam studi pendidikan formal.
Seketika saat pindah melanjutkan studi ke Yogyakarta, pergaulan akademik saya meluas, ketertarikan pun berbagai macam tema, dan begitu juga dengan wilayah studi. Meski sesekali merasa khawatir kehilangan “gairah” melanjutkan studi tentang Bali, saya merasa “bergizi” dan tentu saja tertantang untuk memahami diri sendiri melalui Papua.
Studi tentang Papua ini seolah menjadi cermin dalam perjalanan akademik saya. Proses refleksi diri saya lakukan dengan melihat kajian tragedi 1965 yang menjadi awal penelitian akademik hingga dinamika identitas orang Papua dalam proses transformasi sosial budaya.
Sebagai seorang Bali yang belajar antropologi, saya menemukan diri saya sendiri dalam perjalanan panjang akademik dan kehidupan tersebut. Saya mempelajari dinamika identitas budaya orang Papua sekaligus juga menjadi cermin dalam perjalanan hidup saya sendiri. Saya belajar mengapresiasi orang lain, dalam hal ini permasalahan yang terjadi di Papua, yang juga adalah masalah kita bersama.
Dari permasalahan Papua saya mencoba melihat masalah saya dan kita semuanya.
Saya merasa menemukan diri dalam perjalanan panjangan akademik tersebut. Saya mempelajari perjuangan orang-orang Bali yang dikorbankan pada sejarah pembantaian massal 1965. Begitu juga yang terjadi ketika orang-orang Papua biasa menjadi korban dari tipu muslihat para elit Papua.
Dalam kedua konteks peristiwa, saya melihat ada orang-orang opurtunis yang mengorbankan orang-orang lain. Refleksi terdalamnya saya kira adalah bahwa studi kebudayaan, perspektif “antropologi baru” yang saya tekuni, jauh dari keinginan untuk mengasingkan orang Bali atau orang Papua dalam hal ini. Studi “antropologi baru” justru sebaliknya yaitu berkeinginan secara bersama-sama antara antropolog dan subyek yang ditelitinya berpartisipasi dan bergerak bersama untuk merubah diri masing-masing.
Saya akan memulai pada bagian pertama esai ini untuk memberikan konteks membaca Bali dan orang-orangnya yang terus-menerus berubah. Pada bagian ini saya akan melihat bagaimana otentisitas (baca: keaslian) selalu menjadi jualan yang tidak pernah habisnya bagi orang Bali dan sudah tentu kitab saktinya: “pariwisata budaya”.
Pada bagian kedua saya akan mencoba untuk menempatkan Bali—juga menyandingkannya dengan Papua—pada wilayah friksi, di mana terjadi pertemuan antara orang-orang di garis depan dunia global. Bali berhadapan dengan raksasa kuasa kapital bernama pariwisata, sedangkan Papua perlahan-lahan tergerus eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan manusia Papua itu sendiri. Sungguh ironis.
Bagian ketiga saya mencoba merefleksikan bagaimana perspektif reflektif dalam melihat diri dan kebudayaan Bali dan juga Papua. Perspektif reflektif ini saya sandingkan dengan dekonstruktif untuk meyakini bahwa totalitas Bali tidak (akan) pernah statis, beku, ajeg apalagi mati. Tawaran saya, spirit Bali akan terus hidup, fluid, dan merasuk sebagai naluri karena kesadaran reflektif dan dekonstruktif tersebut.
Bali berhadapan dengan raksasa kuasa kapital bernama pariwisata, sedangkan Papua perlahan-lahan tergerus eksploitasi sumber daya alam.
Otentisitas
Sangat penting saya kutipkan pandangan “berkulit” dari salah satu peletak pondasi kebudayaan Bali, Prof. Ida Bagus Mantra untuk memulai bagian ini. Cita-cita utopis politik kebudayaan Bali ketika itu memang diarahkan untuk menggerakkan bidang yang potensial bernama kebudayan untuk mendukung pariwisata dan kekuasaan.
Seperti diungkapkan oleh Mantra (1996: 35), peletak dasar ideologi pariwisata budaya, yang menyatakan modal dasar kebudayaan Bali berfungsi secara normatif dan operasional. Sebagai normatif peranan kebudayaan diharapkan mampu dan potensial dalam memberikan identitas, pegangan dasar, pola pengendalian, sehingga keseimbangan dan ketahanan budaya dapat diwujudkan.
Secara operasional, kebudayaan juga diharapkan mampu menjadi daya tarik utama bagi peningkatan pariwisata. Ini memberikan petunjuk betapa pentingnya peranan kebudayaan bagi pengembangan pariwisata. Jadi bukan berarti kebudayaan untuk pariwisata tetapi sebaliknya pariwisata untuk kebudayaan. Kebudayaan di sini bukan hanya berfungsi untuk dinikmati, tetapi juga sebagai media untuk membawa saling pengertian dan hormat-menghormati.
Perspektif utopis dan “harmonisasi” dalam melihat relasi pariwisata, budaya, pembangunan, dan kekuasaan itulah yang melandasi politik kebudayaan Bali dan masih melekat kental hingga kini. Tidak terhindarkan memang, yang terjadi kemudian adalah menyebarnya operasi kekuasaan dari jejaring budaya, pembangunan, dan negara (baca: kekuasaan) tersebut dengan alamiah, seolah tanpa sadar, dan terkelabui oleh cita-cita luhur untuk membangun pariwisata budaya di Bali yang berkelanjutan. Operasi kekuasaan yang produktif itulah yang menghasilkan pembudayaan harmoni dan depolitisasi berlangsung hampir menyentuh seluruh kehidupan masyarakat. Maka yang terlahir kemudian adalah generasi apolitis, pragmatis, bermental kerja dan penurut.
Kehebatan dari rezim Orde Baru (baca: kuasanya) dan terwariskan hingga saat ini adalah menampilkan diri dalam bentuk program atau rencana yang bersifat alamiah, apolitis, dan sah. Degung Santikarma mencontohkan beberapa operasi kekuasaan tersebut. Di kampus dia (baca: kuasa) masuk dalam bentuk “normalisasi”. Di rumah tangga dia masuk dalam ilmu PKK (Pendidikan Kesejahteraan Keluarga). Di sini, kuasa telah membadan, dia bukan lagi membentuk bangunan monolitik (Santikarma, tt).
Tapi, tersebarnya dengan produktif kuasa tersebut berbuah kemegahan pariwisata dan teater kebudayaan yang membuat orang Bali sejahtera dan bangga. Berbagai sendi kehidupan masyarakat di kesenian dan kebudayaan “diarahkan” oleh sang kuasa untuk mendukung pariwisata. Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dollar dari para turis.
Di Bali, sebagaimana kita tahu sama tahu, energi dan semua kemampuan masyarakat dimobilisasi untuk bersilat lidah dalam wacana pelestarian budaya. Didukung sponsor negara dengan aparatus dan modalnya, wacana tentang pelestarian budaya menjadi peluang bagi para akademisi, budayawan, politisi hingga hingga tokoh masyarakat mewacana pencanggihan pelestarian budaya. Gula-gulanya adalah siasat manusia mencari akses ekonomi politik dibawah koor (baca: paduan suara) pelestarian identitas dan budaya Bali.
Penggalian-penggalian otentisitas (keaslian) budaya inilah yang ditangkap oleh kuasa kapital global bernama pariwisata. Didukung oleh gerakan-gerakan kelas menengah baru dalam pencarian esensialisme, kebudayaan Bali menjadi komoditas kapitalisme kultural baru (Santikarma, 2003; Suryawan, 2010; Nordholt, 2010) yang sangat menjanjikan sekaligus memprihatinkan. Menjanjikan karena akan menjadi modal luar biasa dalam mengekspor otentisitas dalam promosi pariwisata Bali.
Memprihatinkan saya kira karena menutup ruang wacana kritik kebudayaan, yang melihat kebudayaan sebagai yang cair, dinamis, dan pewacanaan kebudayaan sebagai refleksi manusia Bali sendiri.
Daya tarik kebudayaan bagi masyarakat Bali adalah modal yang harus dimanfaatkan untuk mengeruk gemerincing dollar dari para turis.
Friksi
Penggalian otensitas ternyata berada di wilayah kuasa global. Otentisitas bisa dijual dalam dunia global untuk menunjukkan eksotisme dan hak milik sebagai pribumi yang “asli”. Ironisnya justru adalah di tengah interkoneksi global yang menerjang masyarakat lokal, termasuk di Bali dan Papua, menegakkan identitas diri menjadi sesuatu yang sulit sekaligus paradoks. Gerakan-gerakan sosial kemasyarakatan kini praksis terjebak dalam lingkaran interkoneksi global ini.
Masyarakat yang sedang bergerak ini terus mencari konstruksinya sendiri di tengah bentangan dunia sebagai pasar global. Gerakan-gerakan sosial mewakili komunitas lokal, adat, atau revitalisasi kebudayaan kadang tidak terlepas dari penetrasi kuasa global kapital ini. Lantunan gerakan penguatan kebudayaan Ajeg Bali (baca: pencarian otentisitas nilai budaya Bali) tidak semurni untuk nindihin Bali (membela Bali) seperti apa yang sering dimuat di media-media lokal, tapi penuh dengan tipu muslihat dan kisah-kisah interkoneksi yang aneh dengan kuasa kapital bernama pariwisata, industri media, dan romantisasi keagungan kebudayaan Bali.
Fragmen-fragmen (penggalan kisah-kisah tak beraturan) manusia di garis depan (frontier) inilah yang oleh Tsing (2005) disebut dengan friksi (friction), ruang “hampa makna” manusia di tengah interkoneksi global. Manusia-manusia bersiasat saling tikam, baku tipu (saling menipu) untuk memanfaatkan peluang-peluang yang dihadirkan oleh investasi dan kuasa global kapital. Negara dan hukum absen bahkan menjadi salah satu pion dalam jejaring global ini.
Yang ada hanyalah persaingan kekuatan modal dan gembar-gembor kisah-kisah fantastis penciptaan komoditas. Pada ruang-ruang inilah, masyarakat tempatan berada di ruang hampa makna, ketika penegakan identitas tidak bisa serta merta mendaku kepada tanahnya yang telah dikuasai kuasa modal global.
Dalam ruang friksi inilah seluruh gerak kekuatan masyarakat terinfeksi kuasa modal global. Identitas dan kebudayaan lokal direproduksi menjadi komoditas yang diceritakan, “diomong kosongkan”, dilebih-lebihkan untuk kemudian diwariskan dan didramatisir menjadi komoditas bernama otentisitas. Pada momen inilah pelemahan-pelemahan gerakan rakyat terus menerus tanpa henti.
Rekognisi terhadap gerakan rakyat dan penegakan identitas budaya masyarakat lokal tertelan kuasa global kapital. Rekognisi terhadap pemberdayaan petani di Bali tertimbun wacana pelestarian budaya dan isu global pariwisata. Penetrasi modal menggerus tanah-tanah manusia Bali untuk infrastruktur pariwisata. Lahan persawahan terhimpit gedung-gedung ruko atau jejeran vila-vila di pinggir tebing. Bahkan, pemandangan persawahan menjadi komoditas untuk pariwisata.
Jauh di kampung-kampung pegunungan Papua, pembangunan infrastruktur jalan menembus daerah-daerah terisolir. Alih fungsi lahan yang dimiliki masyarakat lokal disulap menjadi perkebunan dan kelapa sawit ratusan hektar. Introduksi program transmigrasi menggerus tanah-tanah adat untuk pemukiman penduduk dan daerah pertanian. Dengan dana otonomi khusus, pembangunan infrastruktur terus digenjot tanpa henti.
Namun, tetap saja kisah kesuksesan kebudayaan, pariwisata di Bali dan pembangunan infrastruktur di Papua menyisakan pertanyaan besar. Bagaimana rekognisi terhadap masyarakat lokal? Di Bali mungkin kita belum terbuka untuk mengakui “kisah kelam” manusia-manusia Bali yang “dikalahkan” untuk pariwisata, yang tanahnya direbut, dan hidupnya yang dimiskinkan.
Di Papua, kencangnya pembangunan infrastruktur meninggalkan pemberdayaan ekonomi penduduk asli Papua. Jaringan perdagangan dan toko-toko penuh sesak dengan para pendatang yang menjadi pelayan atau pegawai. Sementara masyarakat asli Papua tetap berjualan sirih pinang dan hasil bumi di pasar tradisional.
Hanya dengan diri yang reflektif dan inklusif kita mampu untuk menjelajahi sekaligus memahami relung-relung kehidupan orang lain.
Antropologi Reflektif
Saya tidak akan pernah lupa. Santikarma (1994) dalam sebuah artikelnya mengungkapkan salah satu perspektif dalam melihat Bali adalah sebagai sebuah dekonstruksi. (Bali) sebuah “bangunan” yang harus terus dibongkar jika tidak ingin beku, statis, dan mati tidak bernyawa. Karena kesadaran untuk terus membongkar itulah budaya Bali selayaknya dipahami sebagai sebuah “bentukan” dari berbagai campur tangah agency dan kekuasaan yang membentuknya. Kekuasaan yang saling memakan satu dengan yang lainnya, bahkan sesama saudara.
Novel Y.B. Mangunwijaya, Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa (1987) merefelksikan hasrat kekuasaan membuat kita jatuh ke tingkat kemanusiaan paling rendah untuk saling memangsa. Hampir semua masyarakatnya terjebak dalam lingkaran saling melenyapkan satu dengan yang lainnya. Perumpamaan Ikan Hiu menggambarkan kekuatan kapital (kuasa modal). Ikan Ido mencitrakan ketamakan penguasa lokal (baca: negara) yang dengan semena-mena memakan Ikan Homa, yang tidak lain adalah rakyatnya sendiri. Pada akhirnya, Ikan Ido juga termakan oleh keganasan Ikan Hiu. Semuanya pasrah, tergantung, dan menyerahkan kehidupannya kepada kekuatan lain diluar kuasa bahkan bayangan kita.
Proses menjadikan diri reflektif dan inklusif tidaklah mudah. Penjelajahan panjang terhadap sisi-sisi getir kemanusiaan sangatlah diperlukan. Fragmen-fragmen manusia yang “dikalahkan” membuka ruang refleksi yang dalam pada hubungan antara kebudayaan dan identitas diri manusia yang terus berubah.
Kebudayaan menawarkan ruang bagi refleksi kritik diri manusia dalam rentang sejarahnya. Diri manusia bukanlah substansi, tetapi subyek yang terus bergerak, jadi diri manusia, dan juga demikian dengan identitasnya adalah sebuah gerakan sosial.
Pemahaman kebudayaan dengan perspektif reflektif berkaitan dengan revolusi kesadaran historis manusia akan hakekat hidupnya. Pada titik inilah dilantunkan eksistensi manusia yang terbentang antara masa lampau dan masa depan. Pemahaman kebudayaan dengan demikian bertumpu pada pemahaman atas diri sendiri dalam konteks historisnya.
Bagi manusia, memahami kebudayaan juga berarti pemahaman dirinya, identitasnya sendiri. Jika demikian, memahami kebudayaan lain (antar budaya), selain berusaha untuk belajar bersama-sama kebudayaan tersebut juga adalah memahami diri manusia tersebut. Semangatnya adalah mengapresiasi budaya lain dan juga dalam rangka menemukan identitas diri yang inklusif, dinamis, transformatif, dan dengan demikian juga dialektis.
Melalui perspektif antar budaya, kita akan diajak untuk menyelami perbedaan sebagai sebuah cermin untuk melihat kembali jauh ke dalam diri masing-masing betapa seringkali kita membentengi diri, menganggap diri sendiri yang paling baik dan mengecilkan peran masyarakat dan budaya lain yang ada di luar kedirian kita. Proses refleksi yang berkelanjutan menjadi sangat penting untuk mengapresiasi pengalaman-pengalaman masyarakat dan identitas yang berbeda-beda secara partisipatoris (Pujiriyani dan Anantasari, 2010; Laksono, 2009).
Saya, melalui esai sederhana ini, menawarkan hanya dengan diri yang reflektif dan inklusif kita mampu untuk menjelajahi sekaligus memahami relung-relung kehidupan orang lain. Melalui orang lain kita bisa bercermin tentang diri kita. Keberbedaan dan penjajahan disingkirkan oleh kemanusiaan. Kita akan selalu berubah dan mengubah diri bersama dengan orang-orang lain dengan identitas dan kebudayaanya. Hanya dengan demikianlah kita akan selalu belajar menjadi reflektif dan inklusif. [b]