Oleh Hendra W Saputro
Sebuah kotak bermonitor dengan tinggi kurang lebih 1,5 meter, lebar kisaran 45 cm berdiri sepi sendiri dipojok bale besar, diantara lalu lalang manusia penikmat pariwisata bahari di markas BMR, sebuah perusahaan penyedia wisata olahraga air di Tanjung Benoa, Nusa Dua. Penasaran akan fungsinya, saya mendatangi kotak tersebut dan diatas monitor mencoba tekan sana-sini menggunakan jari telunjuk. Ternyata kotak bermonitor tersebut adalah Anjungan Informasi Pariwisata Bali yang menggunakan teknologi layar sentuh (touch screen).
Kotak anjungan informasi itu juga saya jumpai di Bali Safari & Marine Park. Tetap berdiri kokoh di pojok aula masuk dan tampak sendirian lagi. Lebih mengejutkan lagi, kotak serupa saya jumpai di dalam lokasi wisata Tanah Lot dalam bangunan kaca tertutup dan terkunci, serta lampu penerangan luar menyala di siang bolong. Lagi-lagi posisinya berada di pojok, terkunci sehingga tidak tersentuh manusia, dan sekilas mirip bangunan Anjungan Tunai Mandiri (ATM). Adanya lampu yang menyala di siang hari menandakan pemborosan energi dan tidak terjaga dengan baik.
Ketika saya bertanya ke salah satu pedagang di dekat anjungan, mesin tersebut dikunci setelah beberapa hari diresmikan keberadaannya. Apalagi para wisatawan sering salah kira tentang keberadaan anjungan tersebut. Wisatawan mengira bangunan tersebut adalah ATM. Nah lo ?. Berarti dugaan saya tidak salah.
Mengingat perbincangan saya dengan Direktur Lila Travel, Bapak Subawa, pemerintah memang gencar melakukan promosi pariwisata Bali kepada dunia, baik di luar negeri maupun dalam negeri. Saking gencarnya, terkadang mereka belum memperhatikan sisi efektifitas penyampaian informasi Bali kepada masyarakat. Keberadaan monitor touch screen di tempat umum sepertinya akan dilihat sepintas lalu saja oleh orang-orang. Yang lebih parah, keberadaan media informasi tersebut akan menjadi mainan orang-orang yang lagi bosan menunggu sesuatu. Sehingga, kehadirannya tanpa makna dan hanya sebagai asesoris memperindah ruangan saja.
Bila melihat konten atau isi media informasi tersebut, saya hanya bisa berguman dalam tanya, apakah informasi tersebut cukup luas mewakili keragaman budaya Bali ?, kemudian apakah cukup luas mewakili keberadaan pelaku industri pariwisata di Bali ?. Sekilas dalam monitor, saya melihat informasi tentang restoran, hotel, tempat oleh-oleh di Bali. Padahal, selintas mata memandang dan seluas memori otak manusia, tempat pelaku industri pariwisata di Bali hampir tidak terhitung. Dan satu hal lagi yang cukup menggelitik pikiran adalah apakah para wisatawan cukup ingat keberadaan pulpen nya untuk menulis info tersebut, atau cukup waktu untuk menuliskannya dalam catatan pada handphone nya.
Entah apa yang ada dalam benak pengambil kebijakan tersebut sehingga merealisasikan Anjungan Informasi Pariwisata tersebut. Entah apa ada semacam analisa proyek sebelum mendirikan mesin tersebut, ataukah pengadaan proyek itu hanya untuk menyerap Anggaran Belanja Pemerintah Daerah ?. Saya belum faham. Yang jelas, keberadaan anjungan tersebut tetap kelihatan sepi dan tidak terjamah para wisatawan (terkunci).
Saatnya merealisasikan keberadaan informasi yang efisien, tepat sasaran, mudah penggunaannya, mendunia dan hemat anggaran. Salah satu media yang tepat adalah website dan para penggunanya. Di Bali, pengguna website sudah semakin banyak. Salah satu indikator termudah adalah dengan hadir nya komunitas Bali Blogger Community. Masing-masing individu dalam komunitas tersebut telah mempunyai website pribadi dan tanpa disuruh oleh pemerintahpun, mereka dengan senang hati akan menceritakan pengalamannya selama tinggal dan menikmati hidup di Bali dalam sebuah tulisan serta foto. Ini adalah promosi wisata Bali termurah bahkan tanpa biaya sedikitpun keluar dari kocek Anggaran Belanja Pemerintah Daerah Bali !.
Disamping rajin menceritakan pengalaman hidupnya selama di Bali, para blogger Bali juga ikut mengharumkan nama Indonesia di kancah teknologi informasi dunia. Sekelompok blogger Bali bernama IMFreakz menjadi juara 1 dalam kontes website yang diikuti oleh peserta dari puluhan negara di dunia. Saat inipun, para blogger Bali masih rajin unjuk gigi bertarung dalam teknologi informasi dunia. Para peserta dan simpatisan, serta pemerhati teknologi informasi dari seluruh dunia akan menyoroti Bali dan Indonesia melalui kiprah mereka. Akankah potensi para blogger ini akan didiamkan oleh Pemerintah yang ‘terhormat’?.
Menurut Menkominfo dalam pertemuan dengan para blogger di kantor Depkominfo di Jakarta, “Blogger merupakan bagian dari keluarga kita, kita tumbuh bersama untuk mengembangkan dunia teknologi informasi di Indonesia”. Kenapa pemerintah daerah Bali tidak merangkul para blogger untuk menggencarkan promosi pariwisata Bali ?. Saya membayangkan, jelas akan menyerap APBD yang cukup kecil. Sepertinya kegiatan dengan biaya kecil ‘tidak menarik’ bagi pemerintah ?. Apakah ya ?. Hal ini terus menerus akan menjadi pertanyaan saya.
Betul sekali….dunia maya sudah banyak dirambah orang…apalagi diluar negeri, salah satu target Bali kan wisatawan asing yang cenderung tidak lepas dari internet, jadi promosi Bali pun seharusnya bisa lebih menginternet….
numpang lewat yahh.. http://www.rumahjual.com