Oleh Luh De Suriyani
Mayoritas warga Pulau Nusa Lembongan adalah petani rumput laut yang sukses. Kini, banyak rumah-rumah pribadi berdiri cukup megah, pura dan balai banjar pun makin gemerlap. Namun, banyak warga mengeluh akan kehilangan generasi petani rumput laut berikutnya.
Almarhum Made Kawijaya alias Pan Tarsin adalah perintis budi daya rumput laut di Lembongan. Pada tahun 1986, pria yang dulunya adalah pemburu penyu ini dihadiahi Kalpataru, tanda pengharagaan tertinggi pemerintah Indonesia pada pelestari lingkungan.
Kalpataru bagi Wayan Tarzan, anak Pan Tarsin adalah suatu yang sangat mengejutkan. “Ayah saya bisa dibilang penjahat karena sebelum bertani pekerjaannya memburu penyu dan karang laut yang dilarang,” ujar Tarzan.
Saat itu, sekitar tahun 80-an, Pan Tarsin adalah pemburu penyu disegani di desanya. Hantaman ombak dan angin laut adalah makanan sehari-harinya. Tidak ada mata pencaharian lain selain memburu penyu dan hasil laut lain yang bernilai tinggi seperti karang laut, dan kima raksasa (giant clam).
Kima raksasa ini adalah hewan laut yang dilindungi karena sangat sedikit populasinya. Dagingnya berprotein tinggi dan sangat mahal, sementara cangkangnya bisa adalah bahan baku ubin (keramik) kualitas tinggi. Satu bongkah besar kima raksasa ini waktu itu jika diambil bagian pembuat keramik itu bisa menghidupi satu keluarga dalam sebulan.
Pada suatu ketika, seorang pegawai Dinas Pertanian Klungkung datang dan mengajak warga membudi dayakan rumput laut. “Dia membawa dua jenis bibit rumput laut sebanyak 5 kilogram. Karena hasil penyu berkurang, petani mulai belajar bertani rumput laut,” tutur Tarzan, generasi kedua petani rumput laut di Nusa Lembongan.
Hasil panen pertama sangat tidak menguntungkan. Hal ini berlanjut sampai tahun kedua. Petani rumput laut masih belum mendapat uang tunai karena hasil panen di barter dengan bahan pangan seperti beras.
Sampai akhirnya seorang pembeli besar dari Ujung Pandang datang dan membeli panen warga seharga Rp 300 rupiah per kilogram. Tak hanya petani yang bergairah, pelancong pun mulai datang ke Nusa Lembongan.
Selain bertani rumput laut, Pan Tarsin dan anaknya tertarik melihat peluang turisme di daerahnya dan mendirikan sebuah losmen, Johny Losmen, salah satu yang tertua di Nusa Lembongan. Saat ini losmen itu menurut Tarzan sedang direnovasi. Soal losmen ini, banyak cerita di internet dari para bacpacker yang pernah menikmati kesederhanaan losmen ini.
Nusa Lembongan pun kini menjadi tandingan Pulau Bali, karena dua daya tarik utama pulau ini, ladang-ladang rumput laut dan petualangan lautnya seperti diving dan surfing. Kegiatan petani berladang di laut dan ribuan perahu kecil petani terserak di pesisir pantai adalah pemandangan hidup.
Tarsin telah diaben (upacara kremasi dengan ritual Hindu) tahun ini. Tarzan, anaknya kini beralih profesi menjadi kontraktor pembangunan hotel di desanya. Industri pariwisata lebih menarik bagi warga sekitar. “Semua anak saya saja sudah tidak mau jadi petani dan memilih belajar pariwisata di Pulau Bali. Saya juga bingung, bagaimana masa depan budi daya rumput laut ini nanti,” keluh Tarzan.
Sejumlah petani rumput laut pun memanfaatkan tenaga kerja luar Nusa Lembongan untuk memelihara ladangnya. Menurut Tarzan sejumlah petani sukses kini lebih suka berada di rumahnya yang besar atau berinvestasi membuat penginapan dan hotel. Sementara anak-anak mereka lebih senang kerja di hotel, guide diving, dan sektor pariwisata lainnya.
Di pusat-pusat usaha rumput laut di Nusa Lembongan terlihat lebih banyak petani perempuan berusia lanjut yang melakukan aktivitas pasca panen. Seperti penjemuran dan penyiapan bibit.
Keresahan yang sama dirasakan Made Wiyata. “Sangat sedikit anak muda yang mau bertani rumput laut. Pekerjaan ini dibilang berat,” ujar Made Wiyata, 35 tahun, petani rumput laut di Desa Jungut Batu, Nusa Lembongan.
Ia merasa adalah generasi terakhir petani rumput laut. Ia juga tidak bisa memastikan sampai kapan bisa mengelola ladangnya karena persaingan makin tinggi. Semakin banyak yang membudi dayakan rumput laut, sementara flukuasi harga sangat sering terjadi. “Sekarang saja harganya cuma Rp 5000 per kilogram rumput laut kering. Bulan lalu saja sempat Rp 13 ribu. Kok jauh sekali jatuhnya,” ia heran.
Apalahi saat ini menurut Wiyata, kondisi iklim kini berubah-ubah dan mempengaruhi pertumbuhan dan kualitas panen. “Lihat banyak batang rumput laut saya busuk. Saya tidak tahu mungkin karena airnya dingin atau karena bulung perusak ini (semacam algea yang kerap menempel pada rumput laut),” ia menunjukkan contoh rumput laut yang hancur.
Membudi dayakan rumput laut bisa dibilang lebih mudah dibanding petani daratan karena tidak perlu membeli bibit, tanpa pupuk, dan cepat panen. Rata-rata rumput laut bisa dipanen dalam waktu satu bulan saja. Penanganan hasil panen juga tidak sulit karena tinggal dijemur.
Demikian juga perawatannya di pantai. Wiyata, salah seorang petani mengatakan masih punya waktu luang di luar bertani. Pada pagi sekitar pukul 6 ia mulai membentangkan bibit di petak-petak ladangnya. Kira-kira ia membutuhkan waktu tiga jam untuk bertanam dan mengecek ladangnya. Setelah itu pekerjaan diambil alih petani perempuan yang bekerja di daratan. Baru pada sore hari, ia kembali ke laut untuk panen atau membersihkan rumput laut dari algea pengganggu.
Memiliki enam petak ladang dengan luas sekitar 600 meter persegi di laut, Wiyata menghasilkan sekitar 1 ton rumput laut kering. Dengan harga terendah saat ini Rp 5000/kilogram, dia sudah mendapatkan penghasilan kotor Rp 5 juta per bulan. Wiyata mengatakan pendapatan bersihnya sekitar separo dari itu. “Yah, lumayan. Sayang banyak anak muda lebih senang bekerja di pariwisata,” ujarnya lirih.
Bali adalah produsen rumput laut terbesar di Indonesia, selain Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Selatan. Produksi rumput laut Bali adalah 164.687 ton pada 2006. Jumlah terbesar dari Kabupaten klungkung yang mewilayahi Nusa Lembongan, Nusa Penida, dan Ceningan yaitu 110 ton produksi rumput laut kering per tahun. Dua jenis yang banyak dibudidayakan adalah cotonii dan spinosum
Sangat mudah mencapai pulau Nusa Lembongan karena perahu rakyat dan speed boat melayani penyeberangan tiap hari. Tiket perahu rakyat saat ini Rp 25 ribu sekali perjalanan dalam waktu tempuh sekitar 1,5 jam. Sementara dengan speedboat hanya 30 menit seharga Rp 50 ribu sekali jalan. Pintu keberangkatan utama pun sangat strategis yaitu di Pantai Sanur pusat.
Tarzan dan Wiyata sepakat, selain pesatnya industri pariwisata yang lebih menarik anak muda, juga karena tidak ada usaha pengolahan rumput laut di daerahnya. Pekerjaan yang dinilai lebih “bersih” seperti pengolahan rumput laut menjadi aneka makanan dan minuman belum dikenal petani sekitar Lembongan. Petani hanya menjual bahan mentah, berupa rumput laut kering.
Sejumlah petani rumput laut di Jimbaran, Pulau Bali telah melakukan usaha pengolahan rumpu laut ini. “Semoga ada yang memberikan teknik pengolahan dan usahanya,” pinta Tarzan. [b]
Catatan: Versi lain tulisan ini dalam bahasa Inggris dimuat The Jakarta Post
saya sangat tertarik dengan berita semakin berkurangnya pembudidaya rumput laut yang dimuat pada tanggal 4 oktober, saya juga pembudidaya rumput laut istilah keren dari petani rumput laut di jungutbatu, dari apa yang saya rasakan dan cermati sekaligus amati,rumput laut ini adalah sumber penghidupan bagi kami di jungutbatu maka dari itu apabila rumput ini hilang entah apa yang terjadi di jungutbatu,mungkin kelaparan akan melanda daerah kami, jadi kami mohon yang bergerak di bidang pariwisata dijungut batu agar memperhatikan juga kelangsungan areal budidaya ini. hal yang paling tepat dilaksanakan menurut saya adalah dibentuk semacam paket pariwisata yang mengacu pada agrowisata yang memanfaatkan areal penanaman rumput laut sebagai obyek pariwisata, dengan begitu pariwisata jalan rumput laut juga lestari.sehingga ancaman musnahnya generasi rumput laut tidak akan hilang, harapan saya supaya redaksi bisa memuat dan ikut mewacanakan informasi ini ke redaksi lain sehingga bisa dipertimbangkan oleh dinas dinas terkait untuk dapat dilaksanakan. terimakasih.
Saya salah seorang putra daerah Jungutbatu yang nafasnya disambung dari penghasilan orang tua sebagai petani rumput laut. Saya setuju dengan usulan dari teman saya mengenai usaha untuk melakukan kegiatan ekowisata yang berbasis budidaya rumput laut sehingga tercipta suatu sinergi saling menguntungkan antara perkembangan kepariwisataan dengan usaha untuk melestarikan rumput laut itu sendiri. Tapi satu hal yang saya sesalkan adalah Kurangnya aspek AMDAL dari sinergi kepariwisataan dengan kualitas lingkungan disekitar kepulauan nusa lembongan.Mari kita cermati bersama sama apakah pembangunan sarana dan prasarana kepariwisataan itu sendiri sudah bersertifikat AMDAL “asli” atau hanya AMDAL2an..karena rumput laut memerlukan tingakatan tertentu dalam air laut dan apabila terjadi ketidak seimbangan alam maka usaha untuk melestarikan rumput laut akan menjadi sia-sia. Yang kedua adalah marilah kita bersama2 mencoba untuk mengolah rumput laut menjadi barang jadi ataupun setengah jadi,Saya pernah pergi kelombok dan disana saya menjumpai aneka plahan rumput laut seperti dodol rumput laut dan saya juga membaca beberapa artikel tentang usaha untuk mengolah rumput laut dan saya rasa jika ada keinginan dan dorongan dari pemerintah untuk menerjunkan tenaga tenaga ahli yang mengerti itu akan dapat membuat semacam industri rumahan rumput laut. Terimakasih…