
“Danau itu sumber hidup kami, kalau dijelaskan lebih detailnya itu regulator air kami, air hutan dan danau yang menjadi satu kesatuan,” ujar Ketut Santi Adnyana. Pemuda Adat Dalem Tamblingan (ADT) ini semakin menyadari pentingnya konservasi holistik untuk alam di sekitar Tamblingan.
Tut San dulunya hanya pemuda biasa, mengikuti alur kehidupan di perkotaan sebagai pekerja sektor pariwisata. Saat pulang kampung, pemuda asal Desa Gobleg ini mengikuti upacara adat seperti biasa.
Lama-lama Tut San mulai menyadari, selama ini anak muda hanya terlibat dalam kegiatan ritual saja. “Dulu anak muda hanya sebatas di STT (Sekaa Teruna Truni-organisasi adat untuk anak muda di Bali) dalam keterlibatan adat dan sebatas ritual, minim banget adat itu melibatkan anak-anak muda selain yang berhubungan sama ritual,” ungkap Tut San.
Realita itu membuat Tut San jengah. Jati dirinya sebagai masyarakat adat Tamblingan kian meletup. Petualangan Tut San mengenali kampung halamannya pun dimulai. Semula, Tut San hanya dengan empat muda-mudi lainnya. Mereka memetakan titik wilayah hutan untuk membuat peta.
Peta ini dibuat sebagai salah satu syarat utama pengajuan kepemilikan wilayah hutan. Pengajuan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, setelah Balai KSDA Bali mengelola Hutan Merta Jati diiringi dengan embel-embel wisata alamnya, hal itu justru mendatangkan masalah.
Degradasi tak terelakkan, kegiatan wisata yang tak terkendali mulai merusak Hutan Merta Jati. Tut San mengungkapkan selama proses pemetaan, ia dan teman-temannya menemukan beberapa jenis pohon langka dan pohon besar hilang.
Perjuangan terus berlanjut. Mulanya Tut San hanya bersama 4 orang pemuda lainnya selama memetakan jenis pohon dan koordinat. Sosialisasi digencarkan agar kaum muda yang terlibat semakin bertambah. Gayung pun bersambut, kini sudah ada 20 orang lebih pemuda dan pemudi adat Tamblingan yang aktif mengikuti serangkaian perjuangan mempertahankan kelestarian hutan adat.
“Mulai sekarang yang aktif 20 orang dan semakin banyak karena kita merangkul pentingnya sumber hidup. Artinya kita harus mengajak bergerak langsung,” tegas Tut San.
Proses pemetaan wilayah yang memakan waktu sebulan lebih itupun mulanya terasa sulit. Sebab Tut San mengakui, sebelum pemetaan dirinya tak pernah memasuki hutan hingga bagian inti. “Sebagian dari kami jarang masuk hutan, kami hanya ikut ritual saja, untungnya itu masih ikut ritual,” ungkapnya. Pasca pemetaan, Tut San menemukan berbagai jenis pohon yang baru diketahuinya. Tak hanya pohon, terdapat 17 tempat suci berupa menhir, batu, dan berbagai macam rupa tempat suci nan sakral di masa lalu.
Keberadaan Masyarakat Adat Dalem Tamblingan telah ada sejak berabad-abad lamanya. Ini dapat dibuktikan dari tiga prasasti yaitu prasasti Ugrasena (922 M), Udayana (tanpa angka tahun, 991 M – 1018 M), dan Suradipa (1119 M).
Selanjutnya diperkuat oleh prasasti No 902 Gobleg Pura Batur C berangka tahun Saka 1320 (1398 M) pada masa pemerintahan Sri Wijayarajasa. Pada prasasti ini disebutkan bahwa, desa-desa kecil yang ada di bawah kekuasaan Desa Tamblingan, yakni Hunusan, Pangi, Kedu, dan Tengah-Mel.” Kemudian, desa-desa itu berubah namanya. Hunusan kemudian dikenal dengan nama Gobleg, Pangi dengan nama Gesing, Batu Macepak menjadi Umajero, dan Tengah-Mel menjadi Munduk.
Brasti, Konservasi Partisipatif Lintas Generasi

Tahun 2018, Tut San dan 4 orang lainnya mengikuti pelatihan pemetaan titik koordinat dan sumber daya alam di kawasan hutan. “Kita adalah 5 orang anak muda pertama, bisa dibilang orang gila karena ngapain sih kalian, pernah dibilang gak jelas banget,” kenang lelaki berkaca mata ini.
Kelima orang ini merupakan awal kebangkitan anak muda Tamblingan, mereka bergabung dalam Bagaraksa Alas Mertajati (Brasti). Brasti berdiri atas keresahan Putu Ardana. Organisasi ini berfokus pada pemetaan tumbuhan di hutan khususnya tumbuhan endemik termasuk yang berada di kawasan danau.
“Ada Pak Putu Ardana sekitar tahun 2016 itu beliau sudah ada kekhawatiran tentang hutan, di hutan kami ada anggrek vanda, yang merupakan anggrek endemik,” cerita Tut San tentang sosok Putu Ardana. Tut San melanjutkan bahwa Putu Ardana yang merupakan alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) memiliki perkumpulan alumni dengan keresahan yang sama, nasib hutan ke depannya.
Sosok Putu Ardana begitu penting menyadarkan anak muda Tamblingan, bahwa gerakan konservasi Hutan Merta Jati adalah kewajiban lintas generasi. Lelaki yang mahir memainkan gangsing ini memulai perjuangannya sejak tahun 2010 agar pengelolaan hutan diserahkan ke Desa Adat Dalem Tamblingan.
Mulanya, Putu Ardana tidak langsung mengajak anak muda. Misi pertamanya bersama Tim Sembilan (Tim awal gerakan penyelamatan Hutan Merta Jati-red) adalah meyakinkan generasi yang lebih tua untuk menyadari bahwa tanggung jawab menjaga hutan ada di penduduk asli. “Saya harus meyakinkan internal dulu, yang paling penting orang tua ya itu saya gerilya sama Tim 9, butuh waktu agak lama,” kenang Putu Ardana.
Meyakinkan generasi tua sudah terpenuhi, misi Ardana pun menuju pada generasi muda. Tak terasa perjuangannya meyakinkan anak muda mengantarkannya pada Tut San dan kelima pemuda lainnya. Hampir 5 tahun berlalu sejak tahun 2018, Putu Ardana kerap tak menyangka dapat menemukan figur pemuda yang masih bergerilya. “Terkadang saya ingat itu sering terharu gitu, betapa bersyukurnya bertemu anak-anak yang militan sebagai masyarakat adat, rasa memiliki dan bangga,” tutur Ardana.
Putu Ardana membagikan perbedaan proses pendekatan antara generasi tua dan generasi muda di Desa Adat Dalem Tamblingan. Terkhusus pada generasi muda, Putu Ardana mentransfer nilai-nilai yang dipahaminya melalui transfer ilmu dengan memposisikan dirinya sebagai rekan sebaya. Salah satu nilai yang diyakini Putu Ardana dalam gerakan konservasi hutan adalah konsep nyegara gunung.
“Nyegara gunung itu konsep tata ruang yang menurut saya keren sekali, disanalah proses itu berjalan dengan segala dinamikanya anak muda ada yang datang dan pergi, waktu yang memfilter,” terang Putu Ardana serius.
Misi lainnya, Ardana ingin agar stigma yang melekat pada masyarakat adat dapat dihapuskan, “ini gerakan yang kita lakukan untuk melawan stigma anggapan masyarakat adat yang dianggap primitif bodoh.”
Media Sosial Sebagai Sarana Gerakan

Kini, anak muda Tamblingan dilibatkan penuh dalam upaya menjaga danau, hutan, termasuk segala sumber daya alam dengan konsep nyegara gunung, konservasi hulu hingga hilir. Sejak aktif di tahun 2018 hingga resmi didirikan pada tahun 2020, kegiatan di Brasti semakin terarah sebab telah ada lima bidang dengan tugas masing-masing
Kelima bidang tersebut meliputi Jaga Baya sebagai penjaga seluruh wilayah Tamblingan; Jaga Wana sebagai penjaga hutan; Jaga Teleng sebagai penjaga air danau; Sri Sedana sebagai ekonomi konservasi; dan Baga Widya sebagai bagian edukasi tentang alam Tamblingan hingga potensi maupun keunikan daerahnya, salah satunya permainan gasing.
Keberadaan anak muda sebagai generasi melek konservasi, menghasilkan pola interaksi kekinian melalui media sosial. “Kami selama ini memanfaatkan teknologi selalu update di sosmed kami, kami mulai membuat video perjuangan kami,” ungkap Tut San.
Dokumentasi kegiatan amat penting bagi Tut San dan anak muda Tamblingan lainnya, “harapan kami perjuangan kami dilihat oleh anak muda yang lain untuk menjaga wilayah dan budaya.”
Bagi Tut San, keaktifan membuat konten gerakan konservasi dan mengunggahnya di media sosial merupakan bentuk pelestarian prasasti era modern. “Orang-orang cepat pikun butuhnya baca dan video, lalu diarsipkan salah satu agendanya membuat prasasti digital, dulu pake batu atau tembaga sekarang bisa disimpan di harddisk,” jelas Tut San mantap.