Oleh Anton Muhajir
Dengan malu-malu, Ni Wayang Komang, 11 tahun, ikut bernyanyi. Dia juga bertepuk tangan bersama sekitar 15 anak di ruangan tersebut. Di antara anak-anak lain, Komang terlihat paling tinggi. Dia memang paling besar. Sementara teman-teman sekelasnya ada yang bahkan baru empat tahun.
Selasa siang itu Komang iktu belajar di sekolah alternatif untuk anak-anak miskin di Banjar Penyaitan, Pemecutan, Denpasar Barat. Murid di sekolah bernama Street Kids Ministry itu sebagian besar adalah anak-anak miskin di banjar tersebut. Komang salah satunya.
Gadis asal Desa Tianyar, Kabupaten Karangasem itu terlihat paling kusam dengan jaket dan celana panjang yang dipakainya. Dia tidak beralas kaki. Komang tinggal bersama orang tua dan dua saudaranya di tempat kos, sekitar 20 meter dari tempat belajar itu.
Sehari-hari Komang bekerja sebagai tukang suun di Pasar Badung. Dia bekerja dari pukul 6 sampai pukul 10 untuk memberikan jasa membawa barang belanjaan konsumen di atas kepala. Sorenya, dia kembali ke pasar yang berjarak sekitar 5 km dari tempat kosnya itu. Dia kembali bekerja dari pukul 16 sampai pukul 18 petang.
Karena alasan ekonomi, Komang berhenti sekolah formal. Ibunya juga jadi tukang suun di pasar. Bapaknya tukang parkir. ”Tiap hari paling banyak dapat lima belas ribu. Buat beli makan saja sudah kurang, apalagi sekolah,” kata ibu Komang. Maka, Komang kini sepenuhnya bekerja.
Namun meski tidak sekolah, Komang masih bisa belajar di sekolah alternatif tersebut. Tiap Selasa dan Kamis, dia belajar di sekolah yang buka dari pukul 12 sampai 2 sore itu.
Sekolah alternatif itu didirikan Yayasan Permata Bali sejak lima tahun lalu. Koordinator Street Kids Ministry Ernawati Patioran mengatakan sekolah itu berawal dari kurangnya pendidikan untuk anak-anak miskin di daerah tersebut.
Lima tahun lalu, tempat di mana kelas itu berada, masih berupa kebun piasang. Erna dan lima temannya kemudian membuka sekolah alternatif di sana atas permintaan orang tua murid. ”Tujuan kami sebenarnya lebih pada mendorong orang tua agar menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah formal, bukan dengan membuat sekolah formal sendiri,” kata Erna.
Karena itu pelajaran di sekolah alternatif itu pun tidak sama dengan pendidikan formal lain. Erna dan lima relawan lain lebih banyak mengajak anak-anak itu bergembira dengan bermain, menyanyi, menggambar, dan belajar Bahasa Inggris.
”Kami juga ingin agar anak-anak dan orang tuanya peduli pada kesehatan,” tambahnya. Pelajaran tentang kesehatan ini selalu diberikan di awal pertemuan. Misalnya tentang kebersihan gigi, kuku, dan badan.
Perkenalan Erna dengan orang tua anak-anak itu sudah dimulai sejak 1996. Saat itu para orang tua anak-anak masih tinggal di Kuta. Mereka bekerja sebagai tukang sampah, pemulung, atau gepeng di pusat pariwisata tersebut. Namun, kata Erna, peledakan bom di Kuta pada 12 Oktober 2002 juga berpengaruh pada mereka sehingga pindah ke Denpasar di tempat saat itu.
Setelah itu Erna diundang untuk memberikan kelas pada anak-anak yang sebagian besar dari daerah miskin seperti Karangasem itu. Sebagian besar murid di sekolah ini adalah anak jalanan. Mereka biasa mengemis di pasar, di jalan, atau di rumah-rumah. Sebagian ada pula yang bekerja sebagai tukang suun di pasar, termasuk Komang.
Jumlah murid di sekolah ini sampai sekitar 60 anak. Tapi karena tidak ada paksaan untuk ikut sekolah, maka murid-murid bebas saja untuk ikut atau tidak.
“Kami juga tidak berhak menghalangi mereka kalau mau berhenti ikut belajar di sini. Itu hak mereka,” kata Erna.
Tidak hanya anak-anak putus sekolah yang ikut belajar di sekolah tersebut. Beberapa anak lain pun ikut belajar sepulang sekolah. Makanya, kelas itu dimulai usai jam sekolah formal. Kadek Putra Wijaya, 9 tahun, salah satunya. Masih dengan pakaian sekolah batik, murid kelas IV SD 10 Pemecutan ini bergabung dengan belasan murid lain.
“Kadang-kadang saya juga menyelesaikan PR di sini,” katanya.
Ada lima relawan di sekolah itu. Beberapa di antara adalah warga asing, seperti Robert Wipf dan Sarah.
Robert, warga Amerika Serikat, tinggal di Jimbaran Bali sejak dua tahun. Dia pertama kali datang ke Indonesia untuk menjadi relawan di Aceh setelah tahu tentang bencana tsunami di provinsi tersebut. Sejak tinggal di New York, dia sudah biasa main bersama anak-anak jalanan.
Ketika jadi relawan di Aceh pun, web designer ini menyempatkan diri memberi pelajaran pada anak-anak korban tsunami, yang rata-rata sudah SMP atau SMA. Kini dia ikut jadi relawan di Street Kids Ministry bersama Erna dan relawan lain. Kamis pekan lalu untuk pertama kalinya dia ikut di sekolah itu.
“Saya tahu tentang sekolah ini melalui teman saya. Kemudian saya pikir akan menarik kalau saya bisa memberikan sesuatu untuk mereka dengan apa yang saya miliki,” kata Robert dalam Bahasa Indonesia yang lancar.
Siang itu, Robert ikut bermain, menyanyi, lalu mendampingi anak-anak menggambar lesehan di lantai. “Senang sekali melihat mereka jadi akan merasa memiliki harapan yang lebih baik,” ujarnya. [b]
membaca artikel diatas, melihat situasi dan kondisi indonesia zaman sekarang, membuat hati sedih dan geram.
ketika saya duduk dibangku sekolah rakyat negeri denpasar tahun 50-an, uang sekolah hanya rp. 1,- sampai rp.10,-,tergantung dari kemampuan orang tua. fasilitas sekolahan terjamin, buku tulis, pensil, pena dan tinta gratis. buku bacaan, berhitung dan atlas dipinjami oleh sekolahan gratis. bahkan untuk pelajaran ilmu alam kita memiliki tabung bejana berhubungan dan belahan bola magdeburg, semuanya ditanggung oleh Kementerian PD&K.
Kita tidak pernah minta belas kasihan kepada orang asing.
Kita memiliki harga diri.
Pejabat, ibu-dan bapak guru semuanya masih memiliki idealisme dan nasionalisme yang sangat kuat, terutama dipulau bali. bali waktu itu adalah lumbung padi indonesia. betul kita tidak kaya seperti orang jakarta, tetapi kita tidak ada yang kelaparan.
diseluruh denpasar hampir tidak ada warga yang terlantar, kecuali hanya dua warga, yaitu si-bancih dan si-lanus, walaupun demikian badan mereka siteng tidak kurus.
ditukad penuh dengan ikan, jeleg. nyalian, betok, julid, udang dan yuyu.
disawah penuh dengan kakul, lindung, dan katak.
didermaga benoa ikan laut besar2 kelihatan berenang hilir mudik.
kita anak2 muda bali semuanya bangga dengan pasukan mobrig kita, sebab pasukan ini DAHULU selalu membela rakyat, menumpas gerombolan, walaupun gaji kecil, tetapi tidak pernah memeras rakyat.
banyak manusia yang masih memiliki hati nurani, membantu tanpa pamrih, tidak ada udang dibalik batu, tidak ada istilah agamanisasi.
sayangnya manusia yang baik, berjiwa sosial,pro rakyat, achirnya habis, karena dicap komunis.
Jika tata sosial sudah kadung semerawut, seharusnya sekarang tiba saatnya presiden dan gubernur harus bertindak membenahi, sesuai dengan Pancasila, yaitu Keadilan Sosial. Komunistophobie sudah usang, sebab sudah tidak ada paham komunis, yang harus ada adalah perikemanusiaan dan hati nurani.
Ada peribahasa berkata : Ikan busuk mulai dari kepalanya.
TON, bisa gak digagas LSM yang khusus mencermati pendidikan. Sebetulnya carut-marutnya payah betul lo. Apa yang diomongin pemerintah jauh sekali di lapangan. Soal buku misalnya, iklannya pemerintah khan seolah-olah semua buku pelajaran bisa didapat gratis. Kenyataannnya lebih banyak yang mesti dibeli. Trus yang dipinjamkan ternyata tidak digunakan di kelas dan guru menggunakan buku lain. Gurunya sih hany menganjurkan alias tidak memaksa tapi murid khan pasti enggak nyaman karena buku itu meski esesinya sama tapi detailnya seperti contoh soal, halaman dan urutan itemnya beda. So itu pemaksaan terselubung. Ini pengalaman sebagai ornag tua nih. Yang kayak gini enggak mungkin dialporin ornag tua karena anaknya bakalan dimusuhi si guru, jadi mesti ada pihak lain yang mengadvokasi gitu. JADI ITU SATU LAGI PR KAMU TON.
Jangan lupa juga thaun depan, dana pendidikan dari APBD Bali akan mencapai sekitar 300 Miliar karena Gub Pastika sudha memastikan 20 persen APBD untuk pendidikan. itu naik 2 kali lipat lebih dari tahun 2008. Jadi mesti ada yang mengawasi gitu loh.
kasihan sekali sikomang meskipun dia cw tapi lumayan berani
wew..membaca artikel diatas saya sangat trsntuh dan dukung smangat mba’ Erna membantu anak anak yg kurang mampu.
saya dan tmen2 Beused Foundation diPekanbaru-Riau jg lg dalam program yg sama dngan mba’ Erna.
mungkin mas Anton bisa memberikan informasi tentang alamat Street Kids Ministry dan nomer telphon yg bisa dihubungi agar kami dari Beused Foundation bisa share pengalaman.
Hi teman-teman semua….dan hi Anton, thank’s ya uda mempublikasikan kondisi Street Kids dan senang bisa mengambil waktu dengan kamu sekalipun waktu itu sangat singkat dan begitu kebetulan aja ya..haha. Saya mau katakan bahwa saya sangat bersyukur untuk semua dukungan teman-teman yang turut prihatin akan kondisi anak-anak Bangsa kita yang sepertinya belum mendapatkan keadilan di atas bangsa kita ini. Sebenarnya kalau ditinjau dari segi bantuan pemerintah, mungkin itu sudah berjalan sekitar 30% atau mungkin lebih atau kurang dari pada itu, terbukti dari didirikannya sekolah gratis yang membebas tugaskan orangtua untuk tidak membayar SPP dan lain sebagainya,sekolah ini ada di beberapa tempat di pulau Bali ini, dan sekolah itu juga terdapat di daerah Denpasar dan ini sangat menolong anak-anak didik kami khususnya yang berada di slum area dimana kami membuka kelas alternative ini. Tapi yang
sangat saya harapkan bahwa setiap dari kita yang berjiwa sosial, mari singsingkan lengan baju kita dan mari mulai bergerak menyentuh setiap bagian dari sudut-sudut kota kita atau mari kita mulai meninjau daerah-daerah miskin yang yang memerlukan sentuhan tangan kita, kasih kita bahkan peran kita untuk memdidik generasi-generasi kita dalam bidang pendidikan, dimulai dari mengajar membaca saja itu adalah langkah awal yang menurut saya sangat efektif untuk membawa generasi kita selangkah diatas keterbelakangan kondisi yang sebenarnya. so sebenarnya masih ada banyak jalan menuju Roma, I mean msh ada banyak kesempatan untuk memperbaiki kesenjangan social yang memprihatinkan di atas Bangasa kita. Siapa lagi yang bisa memperbaikinya kalau bukan teman-teman semua dan saya. God Bless you all.
Erna
hallo kaka saya kiki kuliah disalah satu kampus swasta di jawa barat tepatnya didepok(BSI)
saya sangat tertarik melihat cerita diatas…
dan kalau boleh saya ingin membuat film dokumenter tentang sekolah tersebut…
sekalian minta alamat dan no tlpnya ya
terimakasih sebelumnya
halo kiki alamatnya di Banjar Penyaitan, Pemecutan, Denpasar Barat, Bali. kalo mau bikin filmnya, kontak aku aja. ntar aku anterin ke sana. 🙂 gutlak.
bagus nih artikel nya..
salam kenla ya,..
kak erna, saya salut sekali dengan kepedulian kk dengan pendidikan anak-anak trsebut,.
saya mahasiswi keperawatan,
kalo sya mau ikut jadi relawan atau pengajar di sana, bisa ngga ya mbak?