Oleh dr Oka Negara
Ada yang menarik terlihat waktu itu di sekitar rumah saya sehari menjelang Nyepi. Apa yang saya lihat ini menarik sebagai bahan diskusi tentang bagaimana anak-anak bekerja sama atas nama tradisi, terutama menjelang Nyepi.
Saat selesai posting di blog untuk memuat puisi Hari Nyepi yang dikirim Cok Sawitri beberapa waktu lalu, sekaligus juga memuat tulisan Ketut Wiana tentang Hari Nyepi, sekelompok anak berbaju merah, memakai udeng dan kamen, asik berembug di depan sebuah ogoh-ogoh. Ogoh-ogoh yang tidak terlalu besar, tampak kurus dan sama sekali tidak menyeramkan seperti ogoh-ogoh lain. Malah terlihat lucu dan imut.
Hari itu adalah hari “pengerupukan”, hari yang dikenal dengan pawai ogoh-ogohnya, hari yang sangat dinanti-nantikan, walau menurut saya mungkin tidak banyak yang mengerti makna sebenarnya.
“Om jadi ya fotoin Omang,” ujar Omang Yoga, yang paling kecil di antara kelompok anak ini. Dia satu-satunya yang tidak memakai udeng. Omang Yoga baru tujuh tahun, masih duduk di kelas satu, di SD Negeri 3 Panjer. Tadi memang saya mendadak dicari oleh anak-anak ini, diminta sekadar membuat foto-foto, buat dokumentasi mereka sore ini. Dan saya mengiyakan.
Anak-anak ini masih belum cukup besar untuk ukuran sebuah tim pengarak ogoh-ogoh. Tetapi mereka kompak sekali. Yang paling besar paling-paling baru berumur 11 tahun. Mereka; Candra-kakak kandung Omang Yoga, Dek Pong, Dek Agus, Surya, Tu Cahya, Kuduk, Asek, Erik dan Ancis. Rata-rata bersekolah di SD Negeri 3 Panjer dan sebagian lagi di SD Negeri 6 Panjer. Mereka tinggal di seputaran Jalan Waturenggong, masih satu banjar, Banjar Kaja Desa Pakraman Panjer. “Om Oka, yang bagus na?? fotonya..” pinta Omang Yoga dan Dek Agus hampir berbarengan.
Sebenarnya Desa Pakraman Panjer tahun ini mengambil keputusan untuk meniadakan lomba dan pawai ogoh-ogoh lagi. Hal ini dikonfirmasi oleh Ketut Sukanata, SH yang sempat ditemui. Bapak yang sehari-hari aktif di LSM PKBI Bali, juga menjadi Penyarikan II di Desa Pakraman Panjer. “Desa Pakraman Panjer tidak lagi mengadakan lomba dan pawai ogoh-ogoh. Setelah ditelusuri di sumber-sumber sastra agama memang tidak ada pengharusan untuk membuat dan melakukan pawai ogoh-ogoh,” katanya.
“Walaupun sebenarnya belum pernah terjadi hal-hal buruk yang ekstrim akibat pawai ogoh-ogoh ini di Panjer, tetapi karena sebagian besar yang membuatnya adalah anak muda atau dewasa muda, beberapa kali menjadi lepas kendali dan lebih fokus ke persiapan pawai ogoh-ogohnya dibandingkan dengan konsentrasi ke rangkaian tradisi upacara Nyepi di desa,” tambahnya.
Memang benar demikian adanya. Terlebih Desa Pakraman Panjer memiliki keunikan tersendiri di saat rangkaian pecaruan, yang disebut dengan ritual “meburu”, sebuah prosesi “nyomia butha kala”. Nyomia bhuta kala maksudnya adalah menenangkan butha kala dan kekuatan jahat lainnya agar tidak mengganggu prosesi menuju brata penyepian esok harinya dengan maksud agar tercipta kedamaian dan keheningan, terutama di lingkungan Desa Pakraman Panjer. Rentang wilayah spiritualnya mulai dari area Pura Bale Agung (tengah desa)-di Jalan Tukad Pakerisan, hingga Pura Tegal Penangsaran (perbatasan desa)- di wilayah barat Jalan Waturenggong.
“Tradisi ini penuh dengan ritual unik yang perlu dipersiapkan dengan baik, apalagi hari Sabtu setelah Nyepi adalah puncak Piodalan Pura Tegal Penangsaran,” tambahnya lagi.
Namun, kelompok anak ini dengan penuh semangat sejak jauh hari sebelumnya tetap bertekad untuk membuat ogoh-ogoh dan siap mengaraknya. Mereka bersemangat sejak dari merencanakan, membuat ogoh-ogoh dan sekarang sudah siap tempur untuk mengarak ogoh-ogoh bikinan mereka sendiri, tentunya di sana sini masih dibantu orang dewasa juga. Mereka telah memikirkan semua identitas mereka dalam “aksi” mereka malam itu. Mereka menyebut kelompoknya dengan nama “Sundari Laksana”, yang menurut Candra diambil dari nama kelompok mereka di kelompok gamelan anak di Banjar, karena tim ini memang punya aktivitas juga sebagai sekaa (tim) gamelan anak di Banjar Kaja.
Kelompok Sundari Laksana menyeragamkan dirinya dengan dress code merah-merah. Lucunya, semua pakaian atasnya dipakai secara terbalik. Bagian dalam keluar. “Merah kan berani. Terus bajunya supaya kelihatan seragam Om, biar nggak kelihatan gambar-gambar yang ada di baju,” ujar Dek Pong.
Ogoh-ogoh yang mereka buat, sekali lagi, jauh dari kesan menyeramkan. Ogoh-ogoh setinggi kurang lebih dua meter itu terlihat bersih, kepala dari bahan gabus dibuat rada besar dengan wajah diwarna merah, lugu, berekspresi dingin, bermata tiga, dan menggunakan udeng batik coklat (udeng yang dipakai ternyata udeng kakeknya Omang Yoga). Badannya kurus, bertelanjang badan, hanya menggunakan kamen pendek warna tridatu. Menggunakan asesoris keemasan dari kertas prada di leher, pinggang dan gelang kain tridatu di pergelangan tangan-kaki. Semua kuku dibuat besar-besar berwarna putih bersih. Seluruh telapak tangan dan kaki diwarna merah. Itu saja. Sangat sederhana.
Musik pengiringnya dipakai sebuah kentongan bambu saja. Omang Yoga nanti yang bertugas membawa kentongan ini. Tidak salah juga, karena kesederhanaan dan jauh dari kesan seram, nama yang dipilih untuk ogoh-ogohnya juga yang tidak seram. Namanya “Bhuta Kala Sangut Megel”.
Coba kita dengarkan apa jawaban mereka dari pertanyaan tentang aksi mereka hari itu. Saya memulai pertanyaan dengan kenapa mereka ingin sekali membuat ogoh-ogoh.
“Kepingin buat sendiri, Om! Biar nggak cuma nonton saja!” jawab Candra dan Dek Agus, yang dibenarkan oleh temannya yang lain.
“Buat ikut memeriahkan sebelum Nyepi, kan tradisi Om,” tambah Tu Cahya.
“Nggak dimarahin sama Bapak sama Ibu?” saya tanya lagi.
“Nggak!” jawab mereka kompak. “Kan kita bikinnya yang lucu, bukan yang bhuta kala biasa,” kata Candra. Memang mereka ini dapat dukungan dari orang tua mereka, terutama dari kakeknya Candra, Pekak Redon. Yang juga kakeknya Dek Pong, Dek Agus, Surya dan Omang Yoga. Mereka ini masih saudara sepupu. Mereka bilang pembuatan ogoh-ogoh ini dipantau oleh kakek waktu pengerjaannya.
“Terus, dapat duit dari mana buat bikin ogoh-ogohnya?” tanya saya lagi.
“Minta sumbangannnn…,” jawab mereka kompak. “Pakde Jeff nyumbang” kata Dek Agus. Pakde Jeff yang dimaksud adalah Made Suryanata, SH Kelian Mona Banjar Kaja.
Bapaknya Agus juga ngasi tiga puluh ribu” kata Dek Agus lagi. “Bapaknya Omang nyumbang nasi jingo sama air minum!” kata Omang Yoga menambahkan. “Pekak juga ngasi uang” kata Dek Agus. Dek Agus lebih banyak jawab karena bisa jadi dia “bendahara” kelompok ini.
“Terus, bahan-bahannya nyari di mana?” tanya saya.
“Kayu reng beli di Toko Dewi 15 ribu, kawatnya juga beli di Toko Dewi 9 ribu, cat beli di Toko Restu Alam Sanglah 10 ribu, bambunya beli di Pak Cager 18 ribu, udah itu aja Om,” kata Dek Agus lagi. “Kertas minyak kita pada sumbangan sendiri-sendiri Om,” kata Tu Cahya.
“Memangnya cukup?” saya pancing lagi.
“Masih kurang Om, sisanya kita semua urunan lagi dari uang sendiri-sendiri,” jawab Dek Agus. Luar biasa niat mereka ini, begitu yang ada di pikiran saya.
Ada juga yang membuat saya ingin tahu kenapa mereka mengambil tokoh Sangut yang kurus sebagai profil ogoh-ogohnya. Dek Pong yang menjawab, “Iseng awalnya Om. Milih Sangut karena lucu, terus dibikin yang kurus biar ikut prihatin, kan bangsa Indonesa sekarang sedang miskin, banyak yang kelaparan”.
Wah, memangnya nyambung ya. Tapi ini bisa menyentuh hati saya juga.
“Nah, supaya jadi lucu, gayanya Sangut dibuat berdiri ningkang, ceritanya lagi seneng karena bakal di foto,” kata Dek Pong dan Candra. Ada-ada saja. Rupanya Dek Pong dan Candra yang menjadi pengarah gaya untuk profil ogoh-ogohnya.
Sore itu mereka berkumpul dulu, semacam gladi resik untuk mempersiapkan segala sesuatunya agar tidak terburu-buru. Mereka menaruh sementara ogoh-ogohnya di depan ruko dekat pertigaan Jalan Waturenggong – Jalan Tukad Irawadi. Juga mengecek kentongan dan obor. Mencoba mengangkat bersama ogoh-ogohnya. “Test drive” ceritanya. Mereka sudah berpakaian lengkap termasuk sepatu.
Dari beberapa kelompok lain yang saya tahu juga membuat ogoh-ogoh, selama saya keliling mengintip ogoh-ogoh yang diletakkan sepanjang jalan Waturenggong, rupanya Sundari Laksana yang mempersiapkan diri paling awal. “Nanti Agus sama temen-temen mau pake gaya slorid Om, ” kata Dek Agus. Setelah beberapa kali tanya maksudnya, ternyata yang dimaksud adalah gaya “slow ride”. Walah, saya kira gaya apaan.
Memasuki pasca jam tujuh malam, setelah ritual “meburu”-yang dimulai dari Pura Bale Agung kemudian berakhir di Pura Tegal Penangsaran- selesai, dan juga setelah prosesi “natab” di rumah masing-masing selesai, mulailah geliat semangat itu muncul kembali. Sepanjang Jalan Waturenggong telah ramai kembali, dipenuhi dengan orang-orang yang mau menonton pawai ogoh-ogoh.
Walaupun keputusan Bendesa Adat meniadakan pawai ogoh-ogoh sudah disosialisasikan jauh hari sebelumnya, tetapi terlihat belasan ogoh-ogoh sudah siap untuk diarak. Suasana berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Ogoh-ogoh yang ada rata-rata berukuran lebih kecil dari ogoh-ogoh biasanya. Rupanya kali ini yang turun semuanya adalah anak-anak. Bukan orang dewasa. Jadinya ukuran ogoh-ogoh juga menyesuaikan. Sebagian besar menampilkan sosok raksasa sesuai pakem umum. Lebih banyak nuansa gelap dan hitam.
Pengarak ogoh-ogoh pun sebagian besar berbaju hitam-hitam. Mereka semua mengarak ogoh-ogoh di sepanjang jalan Waturenggong saja. Tidak ada yang spesial dari pergerakan pawai ogoh-ogoh itu. Semua hampir sama dengan tradisi sebelumnya. Cuma yang unik tahun ini semua pengarak adalah anak-anak. Kalaupun ada orang tua atau orang dewasa mereka hanya menemani arakan saja. Layaknya tim pelatih dan ofisial.
Malam itu Sunari Loka terlihat dominan, karena keputusan mereka memakai pakaian berwarna merah memang bisa terlihat menjadi nilai tambah penampilan mereka malam itu. Semua orang nampak bergembira, terkagum melihat kreativitas anak-anak dan larut dalam suasana “pengerupukan”. Malam itu semua berkeringat. Dan besok mereka semua akan beristirahat cukup lama, untuk menjalankan brata penyepian.
Hampir mendekati jam sembilan malam, pawai pun usai Semua berjalan lancar di sepanjang Jalan Waturenggong. Memang sempat ada beberapa mobil pemadam kebakaran lewat (entah di mana ada kejadian kebakaran), sehingga beberapa kelompok pengarak ogoh-ogoh mengubah formasi penampilannya. Malam itu Sunari Loka tampil luar biasa. Omang Yoga terlihat paling gembira sambil memukul-mukulkan kentongannya mengikuti tema-temannya yang berkeringat sebesar biji jagung mengarak ogoh-ogoh. Inilah semangat anak-anak.
Terlepas dari alasan tradisi yang memicu anak-anak ini untuk berkreativitas. Ada yang menarik untuk direnungkan. Saya sendiri sebenarnya tidak terlalu sepaham dengan adanya pembuatan dan pawai ogoh-ogoh. Karena di samping tidak jelas rujukannya, sering kali di pawai-pawai sebelumnya disertai keributan, ada minuman keras, padahal di saat pawai malam hari butha kala sudah disomia (dinetralisir). Jangan-jangan para butha kala lari ke diri para pengarak ogoh-ogoh.
Memang setelah ogoh-ogoh diarak ada tahapan akhir prosesi pralina (pemusnahan), tetapi alangkah lebih baik ini ditinjau dan diatur kembali, mungkin kreativitas bisa dikembangkan lagi dengan pemilihan waktu yang tepat, bisa saja siang hari diadakan sebelum senja. Hanya saja kali ini yang benar-benar menyentuh hati saya adalah, walaupun tradisi dijadikan alasan oleh anak-anak ini (bisa jadi karena mereka belum paham maknanya), tetapi di baliknya adalah bagaimana terdapat semangat yang luar biasa, semangat bekerjasama dan semangat untuk belajar merencanakan, mengorganisasi dan melakukan aksi bersama supaya bisa tampil menghibur masyarakat, termasuk menghibur diri mereka juga. Bagaimana mereka di saat mengalami keterbatasan yang ada, bisa juga bekerja sama dengan orang dewasa, bagaimana mereka juga belajar untuk menyumbang dan berkorban ketika dana tidak mencukupi, demi kepentingan bersama.
Mudah-mudahan anak-anak ini bisa belajar bekerjasama dengan lebih baik lagi sejalan dengan pertambahan usianya. Mudah-mudahan di Nyepi ini mereka bisa belajar menjadi calon penerus yang bisa juga bahu-membahu bekerja sama dengan kelompok yang lebih besar lagi, bisa di desa, di masyarakat maupun buat bangsa ini. Dan mereka juga bisa menjadi contoh yang baik bagaimana bekerjasama.
“Om, udah selesai foto-fotonya? Lihat Om..” pinta Omang Yoga saat ogoh-ogohnya dipralina. “Capek tapi seneng Om,” kata Omang Yoga lagi. “Selamat Nyepi ya Om..” kata anak-anak ini hampir berbarengan.
Note:
Udeng = kadang disebut destar, penutup kepala sebagai bagian busana adat Bali
Kamen = kadang disebut kamben, orang Jawa mungkin menyebut kemben, adalah kain yang dipakai dari pinggang ke bawah sebagi paket busana adat Bali
Ogoh-ogoh = patung semi permanen dalam ukuran besar, dari rangka kayu atau bambu ditutup dengan kertas dan kain, biasanya mengambil tokoh raksasa
Bhuta kala = mahluk alam lain yang biasa disebut sebagai perlambang kekuatan negatif (jahat, tidak baik, mengganggu manusia) yang biasa divisualisasi dengan gambaran raksasa seram
Pecaruan = prosesi upacara yang ditujukan buat butha kala
Brata penyepian = prosesi menjalankan kewajiban rohani di saat Nyepi (tidak bepergian, tidak beraktivitas, tidak menyalakan api/lampu dan mengendalikan nafsu)
Tridatu = komposisi tiga warna suci merah-hitam-putih
Bendesa Adat = pemimpin tertinggi adat di desa pakraman
Penyarikan = sekretaris adat
Kelian Mona = pemimpin adat senior
Pekak = kakek (bahasa Bali)
Ningkang = posisi kaki dilebarkan atau ngangkang
Andaikan anak-anak bisa dijadikan contoh orang tua jaman sekarang ya..
Mereka bisa berantem, ntarnya baikan lagi.
Mereka bisa kerjasama dengan baik tanpa pamrih..
Okeh deh nih artikel.Menginduksi set back pikiran saya bahwa anak-anak justru guru kita saat ini..mereka tulus.
Detil sekali artikelnya Pak Dokter.
Seperti kata Biyan, seandainya orang dewasa bisa belajar dari anak2??
wah, detail ya..tadinya rada panjang tapi kok jadi ingin nyimak detailnya…bagus lah buat pembangkit semangat orang dewasa..
tapi ada yang keliru pak dok.kok ditengah2 ada yang disebut sunari loka..padahal katanya sundari laksana.kali ngantuk ya…tapi salut pak dok masih sempat nulis juga.jangan lupa prakteknya.
DooKteL…weleh JAnGn2 maLaH dOc Yg di GotoNg Yach KemaRin..he hee..bCanda PiiZZZZ!!
KanGen Bnget sama Doc..Kpn MeriT?
> Artikel di blog ini sangat bagus dan berguna bagi para pembaca. Agar lebih populer, Anda bisa mempromosikan artikel Anda di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Telah tersediaa plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://infogue.com
http://infogue.com/seni_budaya/anak_anak_belajar_kerjasama_atas_nama_tradisi/