Oleh Luh De Suriyani
Balai Banjar Taensiat, Denpasar Utara bergemuruh sepanjang Sabtu pekan lalu dengan tawa dan senyum. Jalanan sekitarnya macet karena badan jalan dipenuhi parkir kendaraan.
Nyanyian dan yel-yel dalam Bahasa Bali terdengar dari pagi hingga sore. Wajah sumringah dan penuh senyum terlihat dari sekitar 200 guru taman kanak-kanak (TK) yang menjadi peserta lomba membuat dolanan, permainan tradisional.
Sebanyak 26 kelompok guru TK berkompetisi membuat scenario permainan tradisional dan mementaskannya. Semua dolanan harus menggunakan bahasa daerah Bali sebagai pengantar.
Misalnya melayangan (main layangan). Satu kelompok guru TK perempuan berlagak memainkan layangan di atas panggung. Laiknya anak-anak, meraka bercanda di atas panggung sambil mengadu layangannya.
Kelompok ini dipecah menjadi dua untuk berlomba mengadu ketangkasan memainkan layangan. Dalam permainan tradisional yang sudah mulai sulit dilakukan karena memerlukan lapangan luas ini, ada seni memainkan layangan. Misalnya bagaimana membuat layangan ngindang atau meliuk-liuk di angkasa. Juga berkompetisi membuat layangan lawan putus dengan keahlian mengadu benang layangan.
Guru-guru TK ini berteriak-teriak bebas di panggung dan mengumpat lawannya jika ada yang dicurangi. Mereka kini berperan sebagai anak-anak TK.
Usai bermain, sebelas guru TK perempuan ini lalu menyanyikan lagu-lagu tentang layangan dalam Bahasa Bali.
Permaianan lainnya yang mengundnag tawa adalah kabakan atau permainan melempar batu simbol senjata. Dua kelompok guru beradu jauh lemparan. Yang kalah harus menggendong temannya mengitari panggung.
Mereka saling meledek dengan nyanyian dan bahasa tubuh seperti anak-anak. Mereka memang berkompetisi membuat permainan yang mengeksplorasi gerak tubuh, lagu, daya kognitif, dan sportifitas anak-anak.
“Ini salah satu tantangan untuk guru TK membuat gaya pengajaran Bahasa Bali yang menarik,” ujar IA Ketut Suastini, ketua panitia lomba.
Suastini mengatakan saat ini sebagian anak-anak tidak mengenal Bahasa Bali karena tidak diperkenalkan di rumah, apalagi digunakan sebagai percakapan sehari-hari. “Anak-anak jadi sulit memahami Bahasa Bali. Jadi kami harus memperkenalkan melalui permainan yang atraktif,” ujar Ketua Kelompok Kerja Kepala TK Kota Denpasar ini.
Terdapat 205 sekolah TK di Denpasar. Pokja kini merekomendasikan hari khusus berbahasa Bali, sekali dalam seminggu. “Orang tua kini memang lebih senang anaknya berbahasa Indonesia dalam keseharian karena lebih modern dan lebih tinggi status sosialnya Kami tak ingin anak-anak bahkan tak mengenal bahasa ibu di Bali,” Ujar Suastini yang menjadi Kepala TK Taensiat.
Ia gemas melihat sebagian warga negara Suriname yang fasih berbahasa Jawa. Padahal akar Bahasa Jawa ada di Indoensia
I Made Taro, kreator permainan tradisional di Bali melihat muatan lokal di Bali tak banyak mengeksplorasi kemampuan siswa. Menurutnya tak heran bahasa Bali mulai tak disukai karena cara pengajarannya terlalu normatif dan tidak atraktif.
“Permainan tradisional adalah cara yang baik karena membuat senang, namun harus dilakukan secara kontinyu,” ujar Taro, yang membina sanggar bermain untuk anak-anak ini.
Karena itu ia tak setuju ujian nasional menjadi patokan bagi kelulusan siswa. “Lebih penting lagi membina kepribadian dan potensi diri anak-anak,” katanya.[b]
He… sepertinya saya pernah menulis tentang hal serupa.
Memang harus diakui dan disadari pula kalo yang namanya bahasa Bali sudah jarang digunakan pada anak-anak yang lahir yah, katakanlah sepuluh tahun belakangan ini.
Pertama karena Bahasa Bali dianggap kurang gaul, beda dengan bahasa Jakarta ‘-lu-gue’ yang lebih sering dilafalkan.
Begitu pula dikhawatirkan akan kesulitan untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Padahal tidak juga kalo ngliat generasi terdahulu…
Tapi satu pengalaman pribadi saat SD yang masih teringat sampe sekarang adalah…
“saat ulangan umum bahasa Indonesia kelas dua atau tiga, ada satu soal yang mengatakan ‘apa lawan kata/kebalikan dari gemuk ? saya jawab dengan pede (karena isian) ‘BERAG’.”
Huahahaha…
Sebenarnya hal ini bukan tanggung jawab pihak tertentu, tapi kita semua. Saya sangat salut dengan seorang teman saya yang membiasakan anaknya memanggil “Nanang” (ayah) kepada dirinya, bukan Bapak apalagi Papa, padahal keluarga mereka cukup berada.
Saya sendiri pacaran 9 tahun lebih dengan istri saya sekarang, sekitar 2 tahun pertama kami menggunakan bahasa Indoensia, tapi setelahnya sampai kini kami menggunakan Bahasa Bali halus, tapi tetap ada kalanya kami menggunakan bahasa Indonesia, misalnya ketika berbicara di depan teman yang tidak mengerti bahasa Bali, bahkan kadang dicampur.
Jadi, menurut saya walaupun anak-anak kini sejak kecil sudah diajarkan menggunakan bahasa Indonesia bahkan Inggris, tapi bahasa Bali tetap bisa diajarkan berbarengan kok, saya sudah membuktikannya kepada keponakan saya. Tergantung niat kita…
Just my opinion.
Saya malah bingung kalau ditanyain anak kecil yang berbahasa bali. Kemarin, ada gadis cilik datang ke meja kerja saya, dan berkata “om agung, dadi ngidih kertas besik?”
Saya jawab, “ambil saja di laci”. Hehe! Kagok banget soalnya.. 😛
Saya lebih sreg bercakap-cakap dengan anak-anak kecil di bali dengan Bahasa Indonesia. Maafkan saya. hehe!
saya koq apatis dengan soal-soal seperti ini ya? Perubahan adalah kepastian. Jika bahasa bali tergerus, ya sudah.., berarti bahasa bali gak cukup kuat untuk survive (atau ekspansi) dalam persaingan atau menggantikan yang lain. Bahasa melayu pada awal atau sebelum kemerdekaan berbeda dengan bahasa yang sekarang. Bahasa jawa sebelum amangkurat II juga berbeda dengan yang sekarang. Bahasa bali yang sekarang berbeda dengan bahasa bali pada abad 12 ketika bersentuhan dengan Kediri. Nah apa yang salah? hehehehe
bagi saya, tidak usah terlalu reaksioner untuk melakukan konservasi (baca: reservasi). perubahan itu pasti, tapi ada dua hal yang harus kita lihat dengan hati2, yaitu:
pertama: letakkan hal yang berubahan itu pada cara pandang yang kritis (bukan atas kesadaran naif atau magis). Jika hal yang berubah karena disebabkan karena kesadaran kritis, maka tidak jadi problem.
kedua: yang urgen dilakukan adalah dokumentasi. karena perubahan itu pasti, maka jangan sampai kecolongan untuk melakukan dokumentasi. blogging adalah salah satu caranya :).
hehehehe
ketika, kesempatan, saat, timing, adalah jangka waktu tertentu yang diberikan oleh Yang Maha Esa kepada setiap mahluk ciptaan-Nya. jangan sia2-kan timing tsb. siapa yang bisa memanfaatkan timing, disebut beruntung.
jika mau jadi koruptor, ketikanya pada zaman soeharto.
jika mau mendapatkan bea siswa ke eropa, ketikanya pada tahun 50- dan 60-an.
jika ingin belajar bahasa kesempatannya adalah masa kanak2, sebab daya ingat anak2 sangat kuat.
lebih banyak ragam bahasa yang dikuasai, lebih besar pula keuntungannya untuk masa depan anak itu. bukan hanya dalam segi materiel, tetapi juga dari segi pergaulan yang sangat penting untuk seorang manusia.
tidak ada bahasa yang jelek. yang jelek hanya manusianya.
tahun 1955 saya pertama kali menyeberang selat bali dengan kapal tongkang. dari denpasar ke gilimanuk naik bis gita. sampai sekarang saya masih heran, mengapa di gilimanuk waktu itu ada pos penjagaan duane dan polisi.
di banyuwangi saya dijemput oleh kakak, pertama kali dalam hidup saya melihat spoor. saya ber-jingkrak2 dan
ber-teriak2, spoor, spoor, spoor. kakak mengomel dalam bahasa bali, orang edan lihat spoor koq jerat jerit.
kakak tinggal dan bekerja disebuah desa di banyuwangi.
istrinya orang jawa, jadi saya dengan kakak ipar berkomunikasi dalam bahasa melayu ( bahasa indonesia ).
suatu pagi kakak ipar bilang kepada saya, kalau ada bibi jualan ayam kebetulan lewat didepan rumah, harap kau panggil. ya, jawab saya. setelah 2 jam kakak ipar bertanya, mana bibi penjual ayam. saya bilang banyak yang lewat, tetapi tidak ada satupun yang mau datang.
kamu panggilnya bagaimana ? saya jawab : saya sudah teriak2 dagang siap, dagang siap, tetapi mereka tidak bergeming. kakak melotot sambil tersungging, siapa yang ngerti kalau kamu teriak siap siap. lain kali kau teriak
pethek pethek !
dalam waktu 3 bulan saya sudah lancar berbahasa jawa logat banyuwangenan ( bahasa osing ). demikianlah secara tidak sadar, hanya karena keadaan yang memaksa, saya sekarang menguasai 7 macam bahasa. bali, indonesia, jawa,
inggris, cina mandarin, cina hokkien, jerman, sekelumit bahasa latein.
dari tujuh bahasa tersebut, tidak bisa disebut mana yang lebih penting, mana yang lebih keren. bahasa adalah alat untuk berkomunikasi, bukan untuk sok2-an atau keren2-an.
apa gunanya bahasa inggris, jerman, atau cina, jika saya ingin membeli ubi dipasar tabanan.
apa gunanya bahasa inggris, jerman, indonesia, bali dan jawa, jika saya di peking atau taipe ingin membeli bakmi.
kembali kepada bahasa bali, bagi saya, setiap orang bali harus bisa berbahasa bali, bukan hanya penting untuk komunikasi, tetapi bahasa ibu (muttersprache) sangat penting untuk ikatan kekeluargaan, kebudayaan, jatidiri
seseorang. demikian pula orang jawa berbahasa jawa, orang cina berbahasa cina, dll.
tanpa bahasa-ibu, maka kebudayaan akan lenyap. manusia apakah kita, tanpa budaya aslinya.
karena republik indonesia terbentuk oleh beragam suku bangsa, maka harus ada bahasa nasional, tetapi kita tidak boleh melupakan bahasa daerah. jika kita beranggapan bahwa bahasa daerah bisa memecah belah atau sukuisme, maka kita belum matang untuk menjadi warganegara. kita belum menyadari wajib dan hak sebagai warganegara.
saya ambil contoh kehidupan para pegawai KBRI diluar negeri. mereka semuanya orang2 pandai, lulusan universitas. Dikantoran mereka saling menghormati satu sama lain, bersatupadu demi bangsa dan negara indonesia.
diluar dinas, waktu liburan, mereka membuat kelompok masing2, batak sama batak, jawa akrab sama jawa, padang baik sama padang, yang kristen kegereja bersama, yang islam beribadah bersama. apa salahnya ? itu kenyataan !
karena bergurau dengan selipan bahasa daerah memang lebih akrab dan asyik. mereka sudah sadar berbangsa dan bernegara.
wah, pak made oken ini sungguh sering memberi perspektif baru.
kapan2, semoga kita kopdar ya, pak.