Kenapa warga masih enggan beralih dari JKBM ke JKN?
Banyak alasan mengapa pengguna Jaminan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) belum mau menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Ada yang memang karena menganggap JKBM adalah haknya.
Tetapi banyak pula alasan praktis yang menyebabkan mereka masih enggan menggunakan layanan JKN ini.
Beberapa pendapat dari pasien JKBM yang saya temui di Puskesmas II Denpasar Timur minggu lalu merasa masih nyaman menggunakan JKBM. Alasan-alasan tersebut dirangkum berikut ini.
Kadek Suli salah satu pengunjung Puskesmas hari itu telah lama menggunakan JKBM. Warga daerah Tembau ini sudah beberapa kali menggunakan JKBM untuk mencari layanan kesehatan. Istrinya pernah menggunakan saat operasi dan melahirkan sementara dia sendiri pernah menggunakan saat menderita demam berdarah.
Kadek Suli mengaku memang tidak semua obat ditanggung. “Tapi hanya sedikit kok selisih bayarnya,” katanya.
Bapak yang sedang mengantarkan anaknya itu malah mengatakan kalau Bali membuat asuransi kesehatan yang mengharuskan peserta membayar premi, orang Bali akan banyak yang memilih asuransi kesehatannya Bali.
Mengenai JKN ini, Kadek Suli meragukan pengelolaan uang pembayaran premi tiap bulan, “Uang itu ke mana?” katanya.
Ada juga yang belum menggunakan JKN karena alasan ribet dengan urusan rujukan berjenjang. Padahal ini sama sekali bukan alasan yang tepat. Pasalnya dalam JKBM juga ada rujukan berjenjang.
Gede Jefri, warga jalan Siulan yang berasal dari Karangasem. Dia sudah memiliki akses JKN yang didaftarkan dari tempatnya bekerja, tetapi masih terdaftar dalam JKBM juga. Gede Jefri mengaku lebih suka menggunakan JKBM nya yang bisa digunakan diseluruh Puskesmas daripada mengganti faskes (fasilitas kesehatan) rujukan pertamanya.
“Selama masih bisa menggunakan JKBM, menggunakan ini saja,” katanya.
Alasan pasien lain karena belum memahami system dalam JKN ini. Seorang pasien yang sedang menunggu di layanan kesehatan tersebut adalah Komang Sri. Pada saat ini Komang Sri masih menggunakan JKBM. Komang Sri tidak banyak tahu terkait system dalam JKN. Dia hanya sering dengar mendengar dari para tetangga mengenai ketersediaan kamar terbatas untuk pasien JKN.
“Tetangga sering bilang, kalau perlu segera dirawat mending pakai umum dulu saja, kalau pakai JKN lama,” kata Komang Sri.
Seorang lagi adalah seorang ibu rumah tangga yang mengantarkan saudaranya berobat ke layanan kesehatan ini. Erni namanya, dia menjadi bagian peserta JKN yang ditanggung oleh suaminya yang bekerja sebagai PNS/ Polri.
Suami Erni bertugas di Klungkung, faskes rujukan pertama yang ditunjuk tempat suaminya bekerja di Klungkung. Sementara keluarga mereka tinggal di Denpasar. Erni mengaku selama ini lebih memilih berobat dengan membayar melalui kantong sendiri (Out Of Pocket) melalui dokter atau bidan praktik daripada mesti ke Klungkung ataupun mengurus kembali fasilitas rujukan pertamanya.
Paradigma kesehatan hingga saat ini belum berhasil diubah, tetap saja masyarakat memandang sehat-sakit dari segi kuratif atau rehabilitatif. Padahal yang diharapkan dari JKN ini adalah bagaimana menciptakan paradigma promotif dan preventif di masyarakat.
Dari fasilitas kesehatan tingkat pertama selain untuk mengurangi penumpukan pasien di rumah sakit, juga diberikan porsi pendanaan untuk upaya pencegahan pada masyarakat. Selain itu juga melalui JKN dapat tercipta jaminan kesehatan yang setara untuk semua warga negara apabila JKN sudah berjalan optimal. [b]