Papan bertuliskan “Papua Bukan Tanah Kosong” yang dibawa oleh peserta aksi. Foto oleh: I Gusti Ayu Septiari
Siang itu, di bawah terik yang menyapa Kota Denpasar, puluhan orang meneriakkan seruan penolakan. Hari Sabtu, 9 November, pukul 09.00 WITA, saat orang-orang sedang menikmati hari libur, mereka berseru keras memperjuangkan hak mereka. Mereka-mereka itu adalah masyarakat asal Papua yang tergabung dalam Ikatan Mahasiswa dan Masyarakat Papua (IMMAPA) dan Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota (AMP) Bali.
“Hanya satu kata, lawan. Angkat tangan kiri kawan-kawan.”
“Papua bukan tanah kosong.”
“Katanya Papua adalah surga, tapi bagiku dan bagi kawan-kawan yang hadir, surga itu sudah disusupi oleh orang berwatak iblis.”
Seruan-seruan itu diucapkan dengan lantang. Secara bergantian mereka meneriakkan tuntutan dan penolakan di hadapan para aparat kepolisian yang tengah mengawasi aksi. Aksi damai itu berlangsung di bundaran depan Plaza Renon, Kota Denpasar.
Peserta aksi membagikan selebaran kepada orang-orang yang melintas. Foto oleh: I Gusti Ayu Septiari
Puluhan mata yang merasa penasaran menonton aksi tersebut dari Plaza Renon. Sebagian merasa iba, sebagian lagi tak acuh. Selebaran berjudul “Tolak Program Transmigrasi Pemusnah Rakyat Papua” dibagikan kepada orang-orang yang melintas. Selebaran tersebut berisi 12 pernyataan sikap mereka kepada Pemerintah Republik Indonesia, yaitu:
- Menghentikan program pengiriman transmigrasi ke Papua, baik itu transmigrasi legal yang dibiayai negara maupun transmigrasi yang diberangkatkan secara spontan ke Papua.
- Cabut dan tolak otonomi khusus dan hentikan pembentukan DOB-DOB baru.
- Buka akses jurnalis seluas-luasnya di West Papua.
- Tarik militer organik dan non-organik dari West Papua.
- Hentikan Proyek Strategis Nasional berupa cetak sawah dan penanaman tebu di Kabupaten Merauke yang merampas tanah adat rakyat Papua di wilayah Merauke.
- Tutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh serta tolak pengembangan Blok Wabu dan Migas di Timika.
- Hentikan pembangunan 4 kodam tambahan, 4 Polda dan pengiriman 5 batalion penyanggah tambahan serta pembangunan berbagai fasilitas militer yang justru menjadi dalang dari kekerasan kemanusiaan di Papua.
- Tangkap, adili, dan penjarakan jenderal pelanggar HAM.
- Hentikan operasi militer di Nduga, Intan Jaya, Maybrat, Yahukimo, dan seluruh wilayah West Papua lainnya.
- Cabut dan tolak Omnibus Law, RUU KUHP, UU ITE, seluruh kebijakan kolonial yang tidak memihak kepada rakyat.
- Mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan kolonial Israel.
- Berikan hak penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua.
Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa dan masyarakat asal Papua ini adalah wujud keresahan mereka terhadap program transmigrasi yang akan dicanangkan pada pemerintahan Prabowo – Gibran. Program ini sebenarnya sudah dilakukan sejak era Orde Lama pada tahun 1964, tepatnya tiga tahun sejak Trikora dikumandangkan. Era reformasi membawa angin segar bagi rakyat Papua, program transmigrasi dihentikan melalui Undang-Undang Otonomi Khusus.
Dalam siaran persnya, IMMAPA dan AMP Bali menuliskan bahwa pemerintahan Prabowo – Gibran melanjutkan program yang jelas bertentangan dengan kondisi Papua saat ini. Pasal 61 ayat 3 dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus menyatakan, “program transmigrasi hanya dapat dilaksanakan jika ada Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) dan atas persetujuan gubernur.”
Papan bertuliskan “Tolak Transmigrasi” dibawa oleh peserta aksi. Foto oleh: I Gusti Ayu Septiari
“Kita mengantisipasi genosida yang akan terjadi ke depannya di tanah Papua. Kami mengambil langkah untuk melakukan aksi, aksi damai untuk menolak dengan tegas bahwa transmigrasi tidak boleh terjadi di tanah Papua sebelum hal itu terjadi,” ungkap Karel Uropmabin, juru bicara IMMAPA dan AMP Bali ketika ditemui ketika aksi berlangsung. Mereka khawatir program transmigrasi ini akan menyingkirkan Orang Asli Papua (OAP).
Seorang peneliti dari University of Sydney, Jim Elmsley meneliti fenomena depopulasi dan genosida perlahan yang terjadi di Papua. Ia menemukan perbandingan populasi Orang Asli Papua dengan migran, pada tahun 1960 tercatat 99% OAP dan 1% migran. Angka ini berubah drastis pada tahun 2021, yaitu 50% OAP dan 50% migran.
Angka di atas menciptakan kekhawatiran rakyat Papua akan tersingkirkan di tanahnya sendiri. Hal ini semakin diperparah oleh masifnya pemekaran DOB (Daerah Otonomi Baru) yang menjadi sasaran empuk migrasi penduduk dari luar Papua. Pada tahun 2022 telah disahkan tiga DOB di Papua, yaitu Provinsi Papua Tengah, Provinsi Papua Pegunungan, dan Provinsi Papua Selatan. Dalam siaran persnya juga disebutkan bahwa masyarakat Papua kesulitan untuk membuat KTP. Di sisi lain, orang luar Papua yang datang tanpa KTP langsung memiliki KTP Papua hanya dalam waktu sebulan.
Selain kekhawatiran terhadap genosida, Karel turut mengungkapkan bahwa program transmigrasi ini mengancam adat dan budaya Papua. Layaknya di Bali, adat Papua juga menjaga alam dan segala isinya. “Apabila terjadi transmigrasi, mereka tidak mengenal budaya kami dan mereka akan masuk menghabiskan semua yang ada di alam Papua, dan juga tanah-tanah kami, maupun kebiasaan kami. Kehidupan kami di tanah Papua akan berubah 100%,” imbuh Karel.
Aksi ini merupakan aksi pertama yang serentak dilakukan oleh mahasiswa Papua di seluruh penjuru Indonesia. Mereka akan terus menyerukan tuntutan dan penolakan hingga suara mereka didengar.