Karena satu tanda tangan juga sebuah penolakan.
Di antara riuhnya perdebatan di dalam Gedung Wismasabha milik Pemerintah Provinsi Bali hari ini, sekitar 30 warga melaksanakan aksi penggalangan tanda tangan untuk menuntut keadilan investasi di Bali.
Kelompok tanpa nama ini diikuti warga terutama dari kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat, mahasiswa, pegawai swasta, ibu rumah tangga, dan warga lainnya.
Selama dua hari, Jumat dan Sabtu, kelompok ini menggalang tanda tangan di Lapangan Renon, Denpasar. Mereka membawa dua spanduk dengan tulisan besar “Ngurug Pasih = Ngurug Bali. Tolak Reklamasi” dan “Sayangi Bali, Tolak Reklamasi”.
Spanduk putih tersebut kemudian dibawa keliling Lapangan Renon, tempat warga Denpasar berolahraga, untuk menggalang tanda tangan penolakan terhadap reklamasidan keadilan investasi.
Beberapa warga kemudian membubuhkan tanda tangan di spanduk putih tersebut. Sebagian di antara mereka juga menuliskan penolakannya.
Cok Sawitri, penyair di Bali, misalnya, menuliskan puisi di spanduk tersebut. “Kacau pulauku. Kacau lautku. Hendak kau jajah atas nama kesejahteraan. Maka, aku putuskan akan melawan sampai mati,” tulis Cok Sawitri.
Warga lain ada yang menulis, “Nanti yang untung investor. Begitu Bali kering, tenggelam, kelelep, investor terbang lagi ke pulau lain.”
Menurut sejumlah warga, ketidakmerataan investasi di Bali bisa membuat ikutan masalah lain seperti urbanisasi, kemiskinan, dan lainnya.
Tak hanya warga lokal, beberapa warga asing yang sedang jogging atau jalan-jalan di Lapangan Renon pun turut memberikan dukungan lewat tanda tangan. Seperti warga pada umumnya, warga asing ini pun terlebih dulu bertanya kenapa harus menolak reklamasi sebelum kemudian memberikan tanda tangan.
Tanpa orasi
Hari ini, ketika Gubernur Bali mengadakan simakrama di kantornya, puluhan warga ini kembali melanjutkan aksi penggalangan tanda tangan. Setelah terkumpul sekitar 500 tanda tangan, mereka membawa spanduk tersebut ke depan kantor Gubernur. Selama pertemuan gubernur, puluhan warga yang tak menggunakan nama kelompok apa pun ini lebih banyak bernyanyi. Tidak ada orasi sama sekali.
Beberapa musisi muda menyanyikan lagu, dengan lirik yang sederhana tapi kontekstual. “Bangun Bali, subsidi petani. Kita semua makan nasi, bukannya butuh reklamasi,” demikian kutipan lirik yang dikomando anak muda personil band Nosstress ini.
Meskipun demikian, peserta aksi aktif menggalang tanda tangan dan memberikan penjelasan kepada warga yang bertanya.
Agus Januraka, salah satu warga yang menggalang tanda tangan tersebut mengatakan, aksi tersebut merupakan bentuk penolakan dari warga terhadap rencana reklamasi di Teluk Benoa yang diizinkan Gubernur Bali.
Menurut Agus, karyawan sebuah perusahaan perjalanan pariwisata, Bali selatan saat ini tidak perlu lagi membangun fasilitas pariwisata baru dengan skala besar karena sudah banyaknya hotel di daerah tersebut. Di sisi lain, pembangunan fasilitas pariwisata baru di Bali selatan juga tidak mengindahkan fungsi Teluk Benoa yang selama ini menjadi campuhan atau pertemuan sejumlah sumber air yang mengaliri kawasan Kuta Selatan ini.
Agung Wardana, yang fokus pada studi hukum lingkungan dan sedang kuliah S3 di Australia ini juga memberikan pendapatnya melalui email. Menurutnya invetasi raksasa ini tak hanya sekadar dilihat dari dampak lingkungannya tapi juga analisis kelas dan risiko.
“Siapa yang berhak mengakses dan memanfaatkan kawasan yang direklamsi, tentu saja bukan orang Bali kebanyakan,” kata pria muda mantan Koordinator Walhi Bali ini.
Ia mengingatkan sejumlah proyek sejenis yang mangkrak dan cenderung menguasai sumber daya alam secara masif. Misalnya Bali Turtle Island Development (BTID) Serangan dan Bali Benoa Marina milik keluarga Cendana.
Semua megaproyek tersebut saat ini justru terbengkalai dan meminggirkan warga lokal. Padahal, dulu juga proyek-proyek ini digembar-gemborkan akan mendatangkan kesejahteraan. [b]