Ada harapan dari 2 kasus di Pulau Bali dan Lombok. Walau belum final, solidaritas dan dukungan hadir menyuarakan keadilan bagi korban.
Belasan lembaga hukum dan pendampingan perempuan menyampaikan petisi ke hakim-hakim Pengadilan Tinggi (PT) Denpasar, Senin (19/11). Mereka minta penegak hukum mempertimbangkan aspek sosial dan psikologis dalam pemutusan perkara terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Petisi ini dipicu kasus Ni Luh Putu Septyan, seorang guru dan ibu dari mendiang 3 anak perempuan dan laki-laki berusia 2-6 tahun yang terjadi di Sukawati, Gianyar. Saat ini proses hukumnya ditangani oleh Pengadilan Tinggi Bali, sebelumnya oleh Pengadilan Negeri Gianyar diputus 4 tahun 6 bulan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum selama 19 tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) mengajukan banding.
Sebanyak 12 orang aktivis dan advokat dari 13 lembaga yang tergabung dalam Solidaritas Lawan KDRT ini menyampaikan petisi ke pimpinan PT Denpasar. Jaringan ini terdiri dari Bali Woman Crisis Center (Bali WCC), Lembaga Advokasi dan Bantuan Hukum Indonesia (LABHI) Bali, Tim Advokasi Perlindungan Anak (TAPA), Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI), LBH APIK Bali, Lady Lawyers Bali, Luh Bali Jani, Lentera Anak Bali, Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) Bali, Bali Sruti, Forum Perempuan Mitra Kasih, LBH Panarajon, dan OBH KPPA Bali.
Dalam petisinya disebutkan kasus yang terjadi di Gianyar atas nama Ni Luh Putu Septyan sebenarnya adalah korban KDRT yang kemudian melakukan bunuh diri dengan tujuan mengakhiri hidupnya bersama-sama dengan anak-anaknya. Namun karena bunuh diri yang gagal sedangkan nyawa anak-anaknya tidak tertolong, akhirnya Septyan yang awalnya adalah korban KDRT berubah menjadi pelaku tindak pidana.
Oleh hakim, terdakwa diputus bersalah sesuai Pasal 80 ayat (3) dan ayat (4) UU RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Namun hakim mempertimbangkan hasil persidangan terkait latar belakang peristiwa yang akhirnya menghilangkan nyawa ketiga anaknya.
I Made Somya Putra, salah seorang pendamping hukum Septyan memaparkan banyak hal yang dijadikan pembenar untuk melakukan berbagai kekerasan. Di antaranya kekerasan fisik (physical abuse), kekerasan psikis (phychological violence), maupun kekerasan seksual (sexual violence).
Menurutnya 14 tahun Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga belum mampu memberikan perlindungan terhadap kaum rentan seperti perempuan dan anak-anak sehingga penegak hukum diharapkan lebih peka menyikapi persoalan ini. “Korban wajib dilindungi baik dari sisi hukum maupun melakukan rehabilitasi kesehatan psikisnya,” ujar Somya.
Rekomendasi petisi ini adalah mendorong pemerintah dan DPR melakukan penyempurnaan UU No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT khususnya perlindungan atas korban yang menjadi pelaku tindak pidana. Berikutnya mendukung korban mendapatkan rehabilitasi atas proses hukum yang berlangsung.
Peristiwa seperti yang dialami Septyan kerap terjadi, namun perspektif latar belakang yang diawali sebagai korban KDRT menjadi pelaku dinilai sering dikesampingkan. Luka Psikis yang diperoleh tidak mendapat perhitungan yang baik oleh penegak hukum serta justru berusaha dihukum penjara seberat mungkin tanpa memikirkan rehabilitasi luka psikis korban yang menjadi pelaku.
Ni Luh Sukawati dari Tim Advokasi Perlindungan Anak (TAPA) dan pengacara Septyan menyebut persidangan membuktikan KDRT oleh suami dan keluarganya sejak menikah. “Kami berharap tak hanya nilai hukum tapi latar belakang korban, psikologis, dan sosiologisnya,” urai Sukawati. Tindakan bunuh diri mengajak anak-anaknya dibuktikan di persidangan sebagai akumulasi KDRT di internal keluarganya. Misalnya dengan melakukan serangkaian pemeriksaan psikologis dan kejiwaan oleh psikiater.
Ketua PT Denpasar I Ketut Gede bersama Wakil Ketua Sutoyo menerima petisi ini dan menyampaikan Senin pagi sesaat sebelum menerima audiensi jaringan solidaritas ini sudah membuat keputusan menguatkan putusan PN Gianyar. Pernyataan ini disambut tepuk tangan peserta audiensi.
“Sudah diputuskan jika pertimbangan PN Gianyar sudah tepat. Saya tambah pertimbangan yang lebih tajam antara lain menimbang JPU kurang memahami kondisi psikis kejiwaan jika terdakwa melakukan tindak pidana pada anak kandungnya karena trauma mendalam di pernikahan pertama dan berulang di pernikahan kedua,” papar Sutoyo yang menjadi hakim sidang banding kasus ini. Sutoyo menyontohkan kekerasan seperti tindakan membentak, pemukulan kelapa, dan tak menafkahi istri.
Pria ini melanjutkan, ada akumulasi KDRT yang membuat terdakwa depresi berat sehingga goncangan jadi katarsis, pelepasan kecemasan dari beban yang dipikulnya. “Dalam konteks penegakan hukum memang memenuhi unsur pidana tapi konteks sosial dan kultural harus mendapat pertimbangan matang dari hukum yang mendiskreditkan perempuan,” sebut Sutoyo.
Kegagalan bunuh diri dan kehilangan anak menurutnya sudah jadi sanksi berat dan terdakwa sudah tidak memiliki apa pun. Tuntutan penjara terlalu lama dianggap bisa jadi trigger dan destruktif di masa depan bagi korban. Sutoyo mengingatkan, jika dalam HAM ada genocide maka dalam konteks KDRT ada fenomena familycide seperti kasus di Palembang. Penyebabnya masalah rumah tangga, ekonomi, kekerasan, dan lainnya.
Pihak PT Denpasar juga menerima surat dari Komnas Perempuan yang meminta keadilan dan keringanan hukuman bagi korban. Putusan penjara 4 tahun, 6 bulan belum final, JPU bisa mengajukan kasasi atas kelanjutan kasus ini.
Korban pelecehan seksual di Lombok
Pada Minggu (18/11) pagi di Lapangan Renon, Denpasar, puluhan warga bersimpati dengan kasus seorang perempuan korban pelecehan seksual yang ajaibnya malah dipidana sebagai pelaku penyebaran konten asusila.
Yoga dan Nada untuk Ibu Nuril dan korban-korban pelecehan seksual lainnya. Demikian judul besar kampanye publik yang dihelat spontan ini. Ada spanduk putih yang mengundang respon dan tanda tangan warga yang mendatangi aksi yoga ini.
Kegiatan utama adalah mengirimkan energi dan dukungan pada Ibu Nuril melalui yoga dan refleksi bersama. Yoga dipandu Narcis, instruktur yoga berpengalaman yang menutup dengan merefleksikan perasaan hari ini.
Setelah itu peserta duduk melingkar dan menceritakan pendapatnya soal kasus Ibu Nuril dan berbagi pengalaman kasus-kasus di Bali.
Korban kekerasan seksual malah terjerat pidana UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) memutuskan vonis enam bulan penjara dan denda Rp500 juta. MA memvonis Nurul melanggar aturan UU ITE dengan menyebarkan informasi elektronik yang mengandung muatan kesusilaan.
Luh Putu Anggreni, aktivis LBH APIK dan Ketua P2TP2A Kota Denpasar dalam refleksi mengatakan tak sedikit korban jadi pelaku dalam kasus terkait kekerasan dan KDRT. “Tak banyak perempuan yang mau membawa kasusnya ke persidangan, banyak pertimbangan,” katanya.
Hal ini diamini Ni Putu Candra Dewi, advokat LBH Bali yang juga mendampingi kasus kekerasan seksual. Penanganan barang bukti menurutnya sangat penting agar tak disalahgunakan.
Catatan Tahunan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Komnas Perempuan 2017 menunjukkan 76% kekerasan terhadap perempuan di ranah publik atau komunitas adalah Kekerasan Seksual yang terdiri dari kasus Pencabulan (911), Pelecehan Seksual (704) dan Perkosaan (699).
Dalam pernyataan sikapnya terkait putusan kasasi MA Ibu Nuril ini, Komnas Perempuan menilai tingginya angka pelecehan seksual ini belum diimbangi dengan perlindungan hukum yang memadai bagi korban. Tidak dikenalnya tindakan pelecehan seksual oleh KUHP (kecuali jika memenuhi unsur pencabulan), telah menyebabkan banyak korban pelecehan seksual bungkam, atau jikapun kasus itu diungkapkan, hanya kepada orang-orang terdekat saja.
Ungkapan kepada orang-orang terdekat ini, kerap digunakan oleh pelaku untuk melaporkan korban ke Kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik, melanggar UU ITE, dll yang dalam ini perlu dilihat sebagai upaya ‘memindahkan’ pertanggungjawaban hukum pelaku pelecehan seksual, kepada korban dari tindakan pelecehan seksual itu sendiri. Pola ini terus berulang, sehingga impunitas terhadap pelaku pelecehan seksual berjalan bersamaan dengan dikriminalkannya para korban.
Berikut kronologis yang dirangkum jaringan kebebesan berekspresi di internet SAFENET.
Baiq Nuril Maknun adalah pegawai honorer yang sudah bekerja di sebuah SMA di Lombok sejak 2010. Ia dipecat pada 2015 dan lantas dilaporkan ke polisi dengan menggunakan Pasal 27 Ayat 1 UU ITE dengan tuduhan menyebarkan rekaman bermuatan melanggar kesusilaan. Di Pengadilan Negeri Mataram, Nuril diputus tidak bersalah. Tapi ia kalah dalam proses banding di Mahkamah Agung dan dihukum enam (6) bulan penjara dan denda 500 juta rupiah.
Agustus 2012
Suatu hari di bulan Agustus 2012, sekitar pukul 16.30 WITA, Ibu Nuril menerima telepon dari Muslim (M), Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram. Saat itu M bercerita tentang perselingkuhannya.
Ibu Nuril merekam pembicaraan M tersebut dengan HP Nokia miliknya. Perekaman tersebut dilakukan Ibu Nuril dengan niat semata-mata untuk dijadikan bukti bahwa dirinya tidak memiliki hubungan khusus dengan M. Di sekolah sudah berhembus kabar bahwa Ibu Nuril memiliki hubungan khusus dengan M lantaran sering lembur bertiga bersama Ibu L (Bendahara sekolah) juga.
Ibu Nuril mengaku hampir setiap hari M meneleponnya. Awalnya memang membicarakan soal pekerjaan, tapi ujung-ujungnya pasti M membicarakan hal-hal yang mengarah ke pelanggaran kesusilaan.
M diketahui beberapa kali merayu dan mengajak Ibu Nuril untuk menginap di hotel. Ajakan ini selalu ditolak Ibu Nuril. Ibu Nuril juga sempat menceritakan keberadaan rekaman ini pada F, rekan kerja di Mataram.
Antara Desember 2014 – Januari 2015
Ibu Nuril meminta kembali HP Nokia-nya yang dititipkan pada LAR, kakak iparnya, yang bekerja di Dinas Kebersihan Kota Mataram dan menyerahkannya ke HIM (pegawai sekolah) yang selama kurang lebih 2 minggu selalu meminta HP berisi rekaman tersebut.
Kemudian, HIM membuat copy rekamannya ke laptop miliknya. Hal ini berlangsung tanpa disaksikan oleh Ibu Nuril. HIM lalu mengirimkan rekaman tersebut ke MHJ dan MHK. Rekaman tersebut diteruskan MHJ kepada SKR dan ID (Pengawas sekolah).
M lalu dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram dan dimutasi menjadi Kepala Seksi Pendidikan Luar Sekolah Dispora Kota Mataram. Sebelum dimutasi menjadi, M memecat Baiq Nuril yang saat itu berstatus sebagai guru honorer. Empat hari sebelumnya, Ibu Nuril sempat dipanggil oleh Kepala Dispora Kota Mataram.
17 Maret 2015
M resmi melaporkan Ibu Nuril ke Polres Mataram dengan Nomor Laporan: LP/K/216/III/2015 dengan Pasal 27 Ayat 1 UU ITE juncto Pasal 45 UU ITE. Setelah itu, mediasi antara Ibu Nuril dan M untuk damai dilakukan, tapi tidak berhasil karena M meminta jabatannya sebagai Kepala Sekolah dikembalikan dulu, baru laporannya tidak dilanjutkan.
27 Maret 2017
Ibu Nuril dipanggil Penyidik Polres Mataram dan langsung ditahan. Ibu Nuril ditahan penyidik kepolisian dengan Surat Perintah Penahan Nomor: Sprin – Han/35/III/2017/Reskrim dari Polres Mataram tertanggal 24 Maret 2017 sampai dengan 15 April 2017.
12 April 2017
Penahanan Ibu Nuril oleh Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Mataram sejak tanggal 12 April 2017 sampai dengan 1 Mei 2017
4 Mei 2017
Sidang perdana kasus di Pengadilan Negeri Mataram dengan agenda pembacaan Surat Dakwaan dari Jaksa Penuntut Umum.
26 Juli 2017
Ibu Nuril dinyatakan bebas melalui Putusan Pengadilan Negeri Mataram Nomor 265/Pid.Sus/2017/PN.Mtr yang menyatakan Ibu Nuril tidak terbukti telah melanggar Pasal 27 Ayat 1 UU ITE. Seusai putusan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan banding hingga kasasi ke Mahkamah Agung.
26 September 2018
Mahkamah Agung memutuskan Ibu Nuril bersalah. Petikan Putusan Kasasi Nomor 574K/Pid.Sus/2018 yang baru diterima pada 9 November menyatakan Ibu Nuril telah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 27 Ayat 1 UU ITE oleh Mahkamah Agung.
16 November 2018
Terbit Surat Panggilan Terdakwa Nomor B-1109/P.2.10/11/2018 untuk melaksanakan Putusan MA yang menyatakan Ibu Nuril harus menghadap Jaksa Penuntut Umum pada 21 November 2018.
Kabar terakhir kasus ini adalah:
19 November 2018
Pengacara mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. Juga melaporkan pelaku pelecehan seksual ke Kepolisian NTB.
MA menyatakan menunda eksekusi dengan pertimbangan dukungan masyarakat. Presiden Joko Widodo juga menyatakan mendukung Nuril jika mengajukan PK.