Teks dan Foto Luh De Suriyani
Selama tiga dekade, Bali dinilai gagal menanggulangi gepeng dan eksploitasi anak di jalanan. Hasil riset dua lembaga menyebutkan pelaku eksplotasi anak dan kekerasan adalah orang tua atau orang dewasa dari desa yang sama. Sementara itu DPRD Bali berencana membuat Perda penanggulangan gepeng.
Hal ini terungkap dalam diskusi soal penanganan korban-korban kekerasan anak dan mengkritis Ranperda gepeng di kantor Komisi Penanggulangan Anak Indonesia (KPAID) Bali, Kamis. Diskusi ini diikuti semua instansi yang terkait dan LSM, seperti Satpol PP, kepolisian, Dinas Sosial, anggota dewan, dan kepala adat. KPAI Bali mempresentasikan hasil risetnya terhadap gepeng dan pekerja anak yang menjadi tukang suun (buruh angkut) di Pasar Badung selama akhir 2009.
Diketahui, sedikitnya terdapat 300 tukang suun dan gepeng anak yang beroperasi di Pasar Badung. Hanya 31 orang anak berusia 7-18 tahun yang berhasil diwawancara mendalam. Ratusan anak-anak ini bekerja dalam tiga shift selama 24 jam. “Sebanyak 95% tidak pernah sekolah, sisanya pernah sekolah kelas 1-2 SD saja,” ujar dr Sri Wahyuni, Ketua KPAID Bali.
Semua anak tinggal bersama saudara atau teman di kos-kosan di Denpasar, namun kondisinya mengenaskan. “Mereka menyewa satu kamar kecil berisi 3-5 orang, dan beracampur antara anak dan dewasa,” kata Sri. Di sisi lain, seluruh pekerja anak dan orang tuanya ini tak bisa mengakses program kesehatan gratis, Jaringan Kesehatan Bali Mandara (JKBM) karena tak punya KTP dan kartu keluarga.
Anak-anak ini harus menyetorkan sebagian penghasilan pada orang tua atau wali yang menampung di Denpasar. Kekerasan dialami nyaris tiap hari dari teman seprofesi dan orang dewasa karena rebutan lahan pekerjaan.
Solusi penanganan yang ditawarkan KPAI adalah melakukan pendampingan, dukungan pendidikan di luar jam kerja anak-anak, dan memberikan alternatif keterampilan tambahan.
Sementara presentasi kedua dilakukan organisasi Im An Angel (IAA) soal pekerja anak di sekitar kawasan wisata Kuta, Badung. Diperkirakan sedikitnya ada 100 pekerja anak saja yang beraktivitas sejak sore hingga dini hari. Nyaris semuanya juga buta huruf.
Bedanya, di kawasan Kuta ini para pekerja anak dinilai terorganisir atau memiliki bos yang melindungi. Kelompok-kelompok anak yang terlihat berjualan gelang ini tersebar di Seminyak, Legian, dan sekitar Pantai Kuta. “Ini bentuk perbudakan anak yang dibiarkan karena sarat kepentingan beberapa pihak,” ujar Asana Viebeke Lengkong, pendiri IAA. Organisasi donor ini dihidupi oleh ekspatriat dan donatur yang dilakukan dalam event-event fund rising di Kuta. Menurutnya ia kerap melaporkan situasi perbudakan anak ini ke Kantor Lurah Kuta namun belum berhasil diatasi.
“Ada beberapa sudut pantai yang terlihat banyak orang asing dewasa mengajak atau mendekati anak-anak jalanan itu. Ini ancaman pedofili yang serius,” ujarnya.
Ratusan anak-anak yang ditemui di pasar tradisional, jalanan, dan Kuta sebagai pekerja anak atau menggepeng disebut seluruhnya warga Bali yang berasal kebanyakan dari Karangasem.
“Menurut hasil identifikasi kami, hanya ada sekitar 80 kepala keluarga di Karangasem yang menjadikan pengemis dan pekerja anak sebagai profesi turun menurun selama tiga dekade ini,” tambah Viebeke. Ia menyebutnya experience beggars yang tumbuh dari temprary beggars sebelumnya.
Kondisi ini, diakui Dinas Sosial dan Satpol PP sulit diatasi. “Kita bekerja parsial, karena itu kami sudah membuar riset akademis rencana pembuatan Perda Gepeng,” ujar Ida Bagus Pancima, Kepala Bidang Pelayanan Rehabilitasi Sosial Dinsos Bali.
Naskah akademis ini sudah selesai dibuat tim hukum dari Fakultas Hukum Universitas Udayana. Lalu didukung percepatannya oleh DPRD Bali, untuk dianggarkan pada 2011. Pemerintah mengakui formula koordinasi antar kabupaten mandul dan egosentris. Pemkot Denpasar misalnya selalu mengusir gepeng keluar dari Denpasar. Kabupaten Karangasem dinilai harus bertanggung jawab pada masalah sosialnya sendiri.
Namun, Ranperda Gepeng ini dinilai terlalu terburu-buru karena Perda terkait yang sudah ada seperti Perda soal Pencegahan Perdagangan Orang di Bali malah belum disosialisasikan. “Tidak ada anggaran untuk itu tahun ini,” keluh Pancima.
Bahkan, dua anggota DPRD dari Provinsi Bali dan Kabupaten Badung yang ikut diskusi tidak mengetahui ada Perda soal perdagangan orang yang disahkan 2009 lalu oleh DPRD sebelumnya. “Kami memang tidak pernah membahas serius soal gepeng ini,” ujar I Gede Sudarma, anggota DPRD Bali yang membidangi kesejahteraan rakyat ini. [b]