Oleh I Nyoman Winata
Perjalanan panjang Pak Harto akhirnya usai. Media televisi memenuhi tayangannya dengan berita-berita meninggalnya sang diktator berwajah penuh welas asih ini. Ulasan-ulasan dari media-media televisi banyak memberi gambaran tentang jasa besar Pak Harto selama hidupnya. Seorang ibu dari rakyat biasa yang diwawancarai menyatakan bahwa Pak Harto adalah seorang pemimpin yang lebih berhasil dibanding presiden lainnya di Indonesia. Pengalaman empirisnya seperti menuntunnya untuk berkata bahwa hidup dijaman Pak Harto jadi Presiden, semuanya lebih mudah. Dan memang ungkapan ibu ini benar.
Saat Pak Harto Berkuasa, tidak pernah ada misalnya berita tentang rakyat yang susah. Negeri ini yang bisa dilihat dari media massa ketika itu adalah Indonesia yang Gemah Ripah Loh Jinawi.
Saya tidak bisa berdebat jika menyimak kata-kata ibu itu. Namun ada sesuatu yang meliuk-liuk dipikiran saya. Sungguhkah semua itu adalah kebenaran yang nyata atau hanya sekedar ilusi? Tidakkah Hidup bangsa ini ketika Pak Harto menjadi presiden tidak lebih hidup didunia indah tetapi dibangun di atas dasar yang rapuh?
Saya jadi berpikir bahwa ketika orde baru sebagian rakyat sebenarnya ibarat hidup dalam pengaruh candu yang memabukkan.Pak Harto adalah penyebar “candu” yang biaya untuk memenuhi kebutuhan “candu” itu berasal dari hutang luar negeri. Sebagian besar rakyat di masa Orde Baru dibuat “mabuk Kepayang” dengan banyak kemudahan hidup, dimanjakan dan tidak pernah dibiarkan untuk melihat realitas sesungguhnya.
Rakyat tidak pernah dihadapkan pada kenyataan bahwa hidup itu haruslah dijalankan dengan penuh perjuangan. Misalnya harga beras dan BBM dibuat murah lalu nilai tukar rupiah dibuat tinggi. Padahal sesungguhnya harga beras itu mahal sama dengan BBM. Nilai rupiah juga tidak setinggi kenyataannya karena fondasi ekonomi Indonesia dibangun di atas bertumpuknya hutang luar negeri. Rakyat Indonesia, seperti anak yang dimanja orangtuanya. Rakyat Indonesia dibiarkan hidup di negeri dongeng, dimana dongeng-dongeng itu dicekoki terus menerus melalui media massa ketika itu.
Mereka yang mencoba untuk tetap sadar, tidak mau terpengaruh “candu” dibungkam oleh antek-antek Pak Harto. Banyak dari mereka yang nyawanya dihabisi, dibantai bahkan tidak sedikit yang disiksa dan diperkosa sebelum dilenyapkan. Jumlah mereka mungkin mencapai ratusan bahkan ribuan nyawa.
Ibu yang diwawancari stasiun TV itu mungkin terlalu lama dibawah pengaruh “Candu” bikinan Pak Harto. Karena itulah ketika sang Juragan “Candu” itu tutup usia, ada semacam kesedihan dan cerita betapa indahnya hidup di bawah pengaruh “candu” itupun meluncur melalui bibirnya. Ibu itu mungkin tidak pernah melihat langsung bagaimana banyak rakyat Indonesia hidupnya dibuat susah, dirampas hak hidupnya bahkan sampai kehilangan nyawa mereka.
Saya sedih, karena candu itu ternyata hingga kini masih demikian kuatnya mencengkram pikiran rakyat Indonesia. Bahkan cerita hidup di masa “candu” itu kini mulai diturunkan kepada anak-anak mereka. Mereka akan bercerita, semasa hidupnya Pak Harto adalah, seorang pemimpin yang hidupnya untuk membahagiakan rakyatnya. Berterima kasihlah kalian padanya. Ia layak jadi Pahlawan. Kalaupun ada cerita buruk tentang pemimpin itu karena telah merampas hak rakyat, membiarkan pikiran rakyat teracuni dan membunuh ribuan rakyat Indonesia yang menentangnya, itu adalah kewajaran, karena semua keburukan itu atas nama kepentingan yang lebih besar. Lalu cerita orang yang terlalu lama mabuk “candu” dipenuhi dengan cerita tentang nikmatnya hidup saat Pak Harto menjadi Pemimpin mereka. Ironisnya, mungkin cerita orang-orang mabuk “candu” ini sepertinya akan dipercaya anak cucu mereka.
Saya lalu bertanya, di manakah sekarang orang-orang yang masih waras di negeri ini? Mereka yang masih bisa melihat segala sesuatunya dengan jernih dan tak terkontaminasi “candu”. Mungkin mereka masih ada, tetapi bukan lagi dikenal sebagai orang waras karena ketika orang waras berada dikerumunan orang gila, siapakah sebenarnya akan lebih dicap Gila?? Dan sang pemimpin para pe”candu” itu— ia yang telah meracuni pikiran-pikiran rakyat Indonesia dan ia yang telah melemahkan aliran darah keperkasaan Burung Garuda ditubuh orang Indonesia– saat tiba diakhir perjalanan hidupnya, justru ada yang mengusulkan diberi gelar Pahlawan Nasional. Ah, Saya pun menjadi semakin sedih.
Gak cuma juragan candu tp juga bakul budak alias mucikari. Dah berapa tkw yg dia jual ke arab, malingsia, eropa dan hongkong.
Parahnya lagi di juga ‘madek’ jd dukun ngalahin mbah maridjan. Malah jd bigbos dukun, yg suka ngumpulin dukun dgn bendera ‘dukun istana’
Berapa banyak pusaka dia timbun.