Lebih dari 60 orang Akademisi Muda Bali (AMUBA) menandatangani pernyataan sikap atas intimidais pada forum diskusi air untuk rakyat. Sejumlah inisiator di antaranya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi IDG Palguna, Ngurah Suryawan, akademisi Universitas Warmadewa, Yogi Paramitha Dewi, Murdoch University & Universitas Atmajaya Yogyakarta, dan lainnya.
Berikut isi pernyataan tersebut. Saat ini tengah berlangsung perhelatan internasional World Water Forum (WWF) bertajuk Water for Shared Prosperity. Dalam forum tersebut para pengambil kebijakan membicarakan tentang permasalahan air yang sering kali dinilai sebagai emas masa depan yang diperebutkan oleh banyak kepentingan. Dari agenda dan delegasi yang hadir tampak bahwa permasalahan air diarahkan untuk diselesaikan melalui pendekatan ekonomi, yakni komodifikasi, di mana uang menjadi kursnya.
Bali yang merupakan lokasi di mana WWF diselenggarakan juga sedang mengalami permasalahan air. Hal ini kontradiktif dengan slogan dan ritus tanpa makna semacam nangun sad kertih loka Bali atau pun tri hita karana karena kenyataannya air di Bali tidak sedang baikbaik saja. Telah banyak penelitian menunjukkan bahwa air di Bali mengalami penurunan yang mengarah pada krisis air di masa depan.
Selain itu, air menjadi medium ketidakadilan lingkungan di mana terdapat kesenjangan distribusi dan konsumsi air antara masyarakat lokal dengan wisatawan: konsumsi satu kamar hotel setara dengan kebutuhan air 15 orang penduduk lokal. Artinya, di tengah keterbatasan air sebagai akibat dari krisis iklim dan pencemaran, kita dihadapkan pada pilihan apakah air akan diperuntukkan bagi pemenuhan kebutuhan dasar penduduk atau diarahkan untuk sekedar melayani kepuasan pengalaman wisatawan dalam berwisata.
Ironisnya, ketika masyarakat Bali, bersama masyarakat sipil lainnya, berusaha untuk membuat ruang untuk mendiskusikan isu air yang semakin mengkhawatirkan, justru diintimidasi, dibungkam dan dibubarkan oleh organisasi massa (ormas). Tindakan ormas ini tampak didiamkan atau bahkan terkesan difasilitasi aparat negara. Pembubaran forum diskusi merupakan bentuk tindakan yang semakin meneguhkan bahwa rezim saat ini cenderung antiintelektual.
Dalam kondisi ini, seperti yang dilakukan sejak era kolonial, nalar kritis dalam masyarakat Bali ditumpulkan dengan membuat kita sekedar bangga menjadi objek tontonan dalam industri pariwisata beserta turunannya, yakni industri Pertemuan, Konferensi dan Eksibisi (MICE). Bahkan, pada pertemuan internasional yang sebenarnya berdampak pada kehidupan kita sehari-hari, salah satunya air, kita tidak diberikan ruang untuk menyampaikan dan berkeluh kesah atas kekhawatiran tersebut. Forum mandiri bernama People’s Water Forum 2024 yang bertujuan sebagai ruang berbagi keluh kesah justru di-delegitimasi dengan tuduhan sebagai antek asing.
Kalau kita tengok lebih dalam, sebenarnya yang justru antek asing adalah WWF yang mendatangkan pemodal internasional dan multinasional untuk bermain di sektor air yang merupakan kebutuhan dasar yang semakin diperebutkan di masa depan. Forum diskusi tersebut seharusnya tidak saja dilihat sebagai bentuk ekspresi hak atas kebebasan berpendapat namun juga merupakan bentuk pelaksanaan atas kewajiban dalam mempertahankan kehidupan. Hal ini karena air merupakan kebutuhan hidup yang paling mendasar dan tidak tergantikan. Mempertahankan air dan mewujudkan keadilan atas air merupakan tanggung jawab setiap orang.
Represi pada kegiatan People’s Water Forum 2024 ini juga harus dilihat dalam konteks politik nasional. Pertama, represi ini dilakukan oleh pemerintahan Joko Widodo yang akan mengakhiri pemerintahannya pada akhir tahun ini. Sebagai perhelatan internasional terakhir, rezim Jokowi ingin memastikan bahwa perhelatan ini berjalan lancar dan tidak ada gangguan sehingga rezim dapat lengser dengan mulus.
Kedua, represi ini juga menjadi peletakan pondasi bagi rezim berikutnya dalam merespon suara-suara yang dianggap sumbang oleh rezim. Apabila hal ini dibiarkan, maka represi akan dapat menjadi norma di bawah Rezim Prabowo-Gibran dan membawa kita kembali pada otoritarianisme. Mencermati perkembangan yang terjadi di Bali, kami dari Akademisi Muda Bali, menyatakan sikap:
1. Mengutuk keras pembungkaman, intimidasi, kekerasan dan pembubaran yang dilakukan oleh pihak manapun atas pelaksanaan People’s Water Forum 2024;
2. Mengajak kaum terdidik di Bali harus bangkit, bersikap tegas dan mengambil langkah di depan dalam membangun kesadaran kritis masyarakat Bali dalam melawan segala bentuk pembungkaman dan peminggiran hak masyarakat atas ruang hidup dan hak atas air.
3. Menyerukan masyarakat Bali harus berani bersuara untuk melawan pembodohan yang telah menyejarah ini dan berjuang untuk merebut ruang dan mempertahankan apa yang mereka miliki dari upaya eksploitasi dan pencaplokan dari pihak mana pun.
4. Mendorong masyarakat Bali untuk mengaktifkan kembali banjar dan forum-forum lokal sebagai medium pabligbagan tentang permasalahan air dan tanah, hak asasi manusia, dan pencaplokan ruang hidup di Bali.
Bali sedang tidak baik-baik saja. Oleh karena itu, mari bangkit dari romantisme Bali yang telah menidurkan kita atas kenyataan Bali sebenarnya. Saatnya bergerak bersama mempertahankan ruang hidup dan kehidupan di Bali.
Denpasar, 21 Mei 2024.