Tepi Danau Malta menjadi tempat bertanding bagi Wayan Arya Wenawa.
Selama delapan hari, mantan pengguna narkoba suntik (penasun) tersebut menjadi salah satu anggota tim Indonesia dalam pertandingan setingkat Piala Dunia. Agus, panggilan akrabnya, satu dari delapan orang dari tim Indonesia dalam Homeless World Cup (HWC) 2013.
HWC adalah kejuaraan sepak bola untuk kelompok marjinal. Melalui kejuaraan ini, panitia berharap bisa memberikan dukungan bahwa mereka yang marjinal pun berhak mendapatkan dukungan dan tempat setara.
Kejuaraan tiap tahun ini diikuti 45 negara dari seluruh dunia yang lolos seleksi. Bisalah disebut semacam Piala Dunia dalam versi berbeda.
Tahun ini, HWC diadakan di Poznan, Polandia. Tempatnya persis di samping Danau Malta yang dingin. Tim Indonesia, dikoordinir oleh organisasi dukungan untuk mantan penasun maupun orang dengan HIV/AIDS (ODHA) Rumah Cemara Bandung, mengikuti HWC sejak tiga tahun silam.
Agus, yang juga staf Yayasan Dua Hati, organisasi dukungan untuk penasun dan ODHA di Bali, turut serta dalam kejuaraan tersebut. Dia justru terpilih sebagai salah satu pemain dalam kejuaraan tersebut melalui Yakeba, organisasi lain di Denpasar.
Selain Agus, anggota tim Indonesia lainnya adalah Ujang Yakub, Ahmad Faizin, Dimas Saputra Ramadhan, Mifta Sano Sudrajat, Riki Irawan, Nico Pernando, dan Sendi. Mereka berasal dari berbagai daerah seperti Bandung, Jakarta, Jepara, dan Bali. Latar belakang mereka juga beragam. Ada orang miskin kota, penasun, juga ODHA.
Seleksi
Perbedaan latar belakang anggota tim tersebut disatukan oleh semangat mereka untuk mengalahkan tim. Mereka terpilih melalui seleksi oleh tim Rumah Cemara setelah sebelumnya mengikuti kejuaraan tingkat nasional di Bandung pada 1 – 12 Maret lalu.
Agus yang ikut pertandingan bersama ODHA dan mantan penasun lain dari Bali kemudian terpilih sebagai anggota tim. Selama sebulan, dia kemudian dilatih di Bandung bersama anggota lain.
“Tak hanya soal kemampuan bertanding tapi juga mental dan kekompakan sebagai tim,” kata Agus yang lahir di Tabanan 34 tahun lalu ini.
Pada malam Takbiran 7 Agustus lalu, tim Indonesia pun berangkat dari Jakarta ke Polandia.
Dalam pertandingan tersebut, mereka berada satu grup dengan tim-tim dari negara besar, seperti Skotlandia, Argentina, Wales, dan India. Toh, satu-satunya wakil dari Asia Tenggara ini justru bisa menjadi juara grup G dengan total 13 poin. Padahal Argentina, negara tempat lahirnya Lionel Messi, cuma di urutan ketiga dengan 11 poin.
Bahkan Agus dan kawan-kawan pun bisa mengalahkan Italia, langganan Juara Piala Dunia dengan skor telak, 10-2! Mereka sempat kalah 13-2 pada perempat final melawan juara bertahan Chili. Namun mereka masih mendapat urutan ke-7 setelah kalah adu penalti dengan Rumania 7-8 (3-5).
Senang-senang
Jumat pekan lalu, Agus sudah di Bali. Sambil duduk santai di kantor Yakeba, dia bercerita kepada saya tentang pengalamannya selama di Poznan, Polandia.
“Kejuaraan ini bukan untuk cari kemenangan tapi persahabatan,” ujar bapak dua anak ini.
Agus mengaku belajar banyak hal selama persiapan maupun pertandingan HWC ini. Selama persiapan, misalnya, dia dan anggota tim lain harus mengikuti diklat yang diadakan tim Wanadri di tengah hutan. Selama lima hari mereka belajar bertahan di tengah hutan dengan bekal terbatas.
Di sana dia belajar perlunya kekompakan. “Dalam tim, kita harus menekan ego kita demi kepentingan bersama,” katanya.
Karena itulah mereka mengaku lebih banyak bersenang-senang dan bergaul selama di Poznan, tidak selalu tertekan karena harus menang. Selama di Poznan, tim dari Indonesia juga paling seru.
Misalnya pas pembukaan, mereka satu-satunya tim peserta yang memakai baju adat masing-masing daerah. Menurut Agus, mereka mendapat sambutan paling meriah dari penonton, termasuk orang-orang Indonesia yang di sana.
Gara-gara baju daerah itu pula, maka tim Indonesia jadi laris manis ditonton tiap kali bertanding. “Itulah salah satu kebanggan bisa ikut bertanding di sana, kami ikut menyebarkan kegembiraan,” ujar Agus.
Mantan
Bisa ikut bertanding di Poznan sendiri bukan sesuatu yang pernah dibayangkan oleh Agus. Apalagi dia adalah mantan penasun alias pengguna heroin dengan jarum suntik.
Agus yang saat ini petugas program pertukaran jarum suntik untuk penasun Yayasan Dua Hati mengaku sudah pakai heroin sejak masih SMA. Dia awalnya mulai dari rokok dan obat-obatan depresan. Dari pergaulan sesama teman dia kemudian memakai heroin.
Padahal, dia mengaku sebenarnya termasuk anak teladan. Misalnya Juara 1 saat sekolah dan mendapat beasiswa ketika kuliah di Politeknik Negeri Bali. “Salah satu pemicunya mungkin karena kurang perhatian dari orang tua,” akunya.
Tapi sejak sebelas tahun lalu, Agus mengaku sudah total berhenti memakai heroin. Kini, dia justru memberi dukungan untuk para penasun yang masih pakaw, bahasa slang untuk menggunakan heroin. Dari pengalaman itu pula dia bisa ikut HWC, kejuaraan sepakbola untuk mendukung mereka yang papa, terpinggirkan oleh lingkungannya. [b]