Di halaman rumah sendiri, di Antida Sound Garden Denpasar, Sabtu, 6 September 2014 pukul 20:00 Medusa, sang dewi berkepala ular akan membebaskan dirinya dari gosip-gosip lampau akan dirinya.
Yunani, asal kisah ini, Medusa dengan kekuatan dimatanya akan membatukan siapa saja yang membalas matanya lalu peradaban yang memerlukan kejayaan penguasa yang beringas melengkapkan Perseus untuk memenggal kepada Medusa, dijadikan senjata, setelah itu diserahkan kepada Athena, nasib kepala Medusa berakhir di sebuah perisai perang bernama Aigis. Tetapi Bob Teguh, dari kelompok teater Creamer Box, yang sejak tahun 2000 didirikan memang dengan tujuan ‘sewenang-wenang’ memperlakukan teks. Teks literal ‘dibunuh’ dan jasadnya dicincang demi penghadiran pentas yang berwajah lain. Bahkan teks dengan jahitan plot yang rapat dieksekusi hanya jadi komposisi bunyi. Medusa di halaman rumah sendiri, pada tanggal 6 september 2014, akan menjadi pledoi menarik dari pihak Medusa, siapa tahu kepalanya tak pernah copot dari lehernya, atau sebenarnya gambar medusa di semua perisai hanyalah tatoo temporer.
CreamerBox memiliki riwayat panjang sebagai kelompok teater yang bercorak ‘jalanan’. Tidak terkonsentrasi secara ajek pada lokasi tertentu tetapi senantiasa berkeliling dengan mencoba keluar dari kecenderungan teater mainstream yang populis. Produksi perdananya, Waiting for Godot, karya Samuel Beckett (2001-2002), langsung mempertontonkan ‘kesewenangan’ watak eksploratifnya. Peran yang seharusnya empat, diubah jadi dua. Kelompok asal Bandung yang resmi berdiri pada 2000 ini, dalam garapan selanjutnya tak memperdulikan perfeksionisme perwujudan pentas, rambu-rambu normatif, ataupun otoritas teks. Lalu Underdog The End (2003), misalnya, jauh dari teks Lawan Catur karya Kenneth Sawyer Goodman yang dirujuknya. Teks dan narasi verbal ditransformasikan ke dalam bahasa visual gerak. Pentas To Be or Not To Be (2003) yang merujuk pada Hamlet, karya William Shakespeare, lebih menekankan aspek kegilaan. Pendekatan karakter, menghadirkan sajian perilaku para penghuni rumah sakit jiwa.
Riwayat pentas-pentas CreamerBox banyak memperlihatkan visualisasi aksi yang kental. Bahasa visual gerak dihidupkan untuk melawan hegemoni teks dan narasi verbal. Akrobatik: salto, jumpalitan serta eksplorasi gerak dan ekstremitas tubuh menjadi salah satu model eksplorasinya. Mewujudkan komposisi rupa yang bergerak. Radikalisasi gerak yang seakan sudah menjadi trend mereka, kemudian tak dipertahankan. Mereka coba mewujudkan pentas tanpa manusia aktor. Para pemainnya, patung dengan visualisasi bentuk yang besar dan aneh. Memperlihatkan keseraman dan rasa “jijik” tertentu. Patung-patung dengan kepala bolong, mengeluarkan semacam getah dari sekujur tubuh. Itulah cara mereka menafsir dan mentransformasikan lakon Pintu Tertutup (2006) karya Jean Paul Sartre. Meniadakan manusia aktor dan mengaktorkan benda.
Pertunjukan Save Me (2008), yang berisi protes terhadap maraknya aneka game anak-anak dewasa ini, dihadirkan lewat kreasi seni origami. Seni origami menjadi aspek penting pertunjukan. Tak hanya itu, mereka juga menggarap teater terapi untuk pasien rumah sakit jiwa dan kaum difabel. Salah satu tujuannya, menjelajah berbagai kemungkinan komunikasi pentas. Ketika menggarap drama suara bersama tunanetra, segala aktivitas dan kejadian dalam sehari dihadirkan lewat bunyi. Bagi CreamerBox, teater punya potensi komunikasi yang kompleks, memiliki bahasa yang tidak terbatas. Bisa dimainkan oleh siapa pun dan dapat diapresiasi pelbagai kalangan. Tidak hanya interaksi antar manusia tetapi interaksi manusia dengan bunyi, benda, ruang bahkan dengan manusia yang mengalami problem kesadaran alias sakit jiwa.
Beberapa karya CreamerBox merupakan hasil kolaborasi. Ini menegaskan wataknya yang tak betah dengan keajekan. Hadir dan bergerak. Saling menyelami. Creamerbox, diantaranya sering berkolaborasi dengan membuat jaringan salah seorangnya adalah Di Bali, Cok Sawitri. Di Makasar, dengan Shinta Febriany. Di Padangpanjang, dengan Enriko Alamo. Dan di Jakarta, dengan Rizaldi Siagian.
Profil
TEGUH SETIAWAN, lazim dipanggil Bobteguh, adalah pendiri dan figur di balik kelompok Teater CreamerBox. Pria kelahiran Bandung, 24 Januari 1972 ini, mengawali kariernya sebagai sutradara pada 2001 dengan menggarap Waiting for Godot, karya Samuel Beckett (2001-2002).
Kecenderungan karya-karya CreamerBox, termasuk pilihan dan minat artistiknya, tak lepas dari pencarian dan kegelisahan panjang Bobteguh sebagai sutradaranya. Bobteguh mulai meminati dunia teater pada tahun 1987 saat bersekolah di Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR).
Latarbelakang pendidikan dan aktivitasnya di dunia seni rupa banyak menjejak di dalam karya-karya penyutradaraannya. Dia pernah aktif di Kelompok Debu Putih dan di Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi termasuk menggelar pameran bersama Aendra H. Medita, Imran, Deden Sambas. Awal kariernya di dunia teater adalah sebagai penata artistik. Sehingga bahasa rupa begitu kental dalam setiap karya penyutradaraan Bobteguh.
Penjelajahan Bobteguh tak hanya berhenti di dunia rupa. Ketika kuliah di Akademi Seni Tari (ASTI) Bandung, dia sempat pindah-pindah jurusan, seni rupa, karawitan, tari dan teater.Dan akhirnya dia memutuskan selesai untuk mencari jatidiri ilmu yang dicari di ASTI/STSI dengan sangat focus terjun dibidang teater. Di samping itu, dia juga pernah terlibat dalam beberapa produksi televisi sebagai penata artistik dan asisten sutradara. Bobteguh kemudian memilih teater, karena baginya, teater adalah seni yang paling bisa mengakomodir segala hasrat dan minat artistiknya.
Sebelum membentuk CreamerBox, Bobteguh sempat terlibat di beberapa kelompok teater antara lain: Teater Payung Hitam dan Teater Alibi. Ketidakpuasan terhadap kecenderungan umum ekspresi termasuk ekslusivisme teater lantas mendorong Bobteguh mendirikan CreamerBox. Sehingga, akhirnya, dia memiliki kendaraan untuk mewujudkan pelbagai obsesi artistiknya. Di samping CreamerBox, dia juga memiliki tiga kelompok teater asuhan khusus untuk kaum difabel, yakni; Teater Bhani, Teater Pentas dan Teater Palagan.
Akibat pernah berkecimpung di dunia tari, dan punya hobi bermain musik, membikin Bobteguh menyimpan banyak kepekaan komunikasi artistik. Dia tidak hanya mumpuni dalam mengolah rupa dan gerak tetapi juga bahasa bunyi. Membuat dia mampu mewujudkan obsesinya untuk menjadikan teater milik siapa pun dan dapat dinikmati oleh siapa saja termasuk kaum difabel dan penghuni rumah sakit jiwa.
Penolakan terhadap stagnasi, kebakuan dan kemapanan membuat Creamer Box yang diasuhnya tidak berwatak konsentrik-kelompok. Dia lebih cenderung sebagai kelompok yang senantiasa tergugah untuk melakukan perjalanan, petualangan. Kelompok yang dibaca bukan dari apa yang dibangun dan dipertahankan melainkan apa yang ditemukan dan dicari secara terus-menerus.
Teater bagi Bobteguh adalah pertemuan. Oleh karena itu, penjelajahan, kolaborasi karya dan kunjungannya ke pelbagai daerah adalah upaya pencarian secara terus menerus untuk menemukan kompleksitas dan kekayaan bahasa ucap teater. Teater yang mencurigai dan menggugat segala bentuk konstruksi gagasan, nilai, struktur ataupun konvensi mapan agar dapat menemukan bahasanya yang paling efektif dan aktual.