Dari atas bukit, pemandangan pantai Amed indah sekali.
Bukit persis di pinggir jalan Banjar Amed, Desa Purwakerti, Kecamatan Abang ini tingginya sekitar 30 meter. Dari bukit dengan batu-batu besar yang bisa jadi tempat duduk ini, air laut di pantai timur Bali ini telrihat membiru.
Di sisi agak barat, pasir hitam berkilauan oleh sinar matahari pagi akhir pekan lalu. Deretan perahu kecil atau jukung di sepanjang pantai membuatnya lebih menarik. Ratusan jukung itu warna-warni. Mereka membatasi birunya laut dengan hijaunya perkampungan dan bukit sepanjang pantai itu.
Minggu pekan lalu, untuk kedua kalinya saya ke Amed, salah satu penarik turis di sisi timur Bali selain Tulamben. Sekitar tiga tahun lalu saya hanya mampir sebentar di tepi pantai. Kali ini saya dan anak istri menikmatinya hingga ke atas bukit.
Dari atas bukit itu, saya mengiyakan perkataan seorang teman, Amed memang terlihat lebih cantik. Wajarlah jika desa ini menjadi salah satu pusat pariwisata di Karangasem, salah satu daerah paling miskin di Bali.
Dari atas tempat kami duduk menikmati Amed pagi itu puluhan turis asing sedang asyik snorkling, menyelam, ataupun sekadar mandi di pantai. Di air laut yang membiru itu sesekali gerombolan ikan meloncat-loncat ke permukaan. Puluhan perahu nelayan juga sedang mencari ikan di tengah laut sana.
Sepanjang jalan sejak masuk Amed hingga Banjar Bunutan, sekitar 3 km, berbagai hotel, restoran, ataupun penginapan (cottage) beroperasi.
Namun, ada yang menggelitik pikiran saya. Satu dua hotel itu membuat papan keterangan, “Local Own”. Saya heran. Kenapa harus berisi tulisan bahwa hotel atau penginapan tersebut milik warga lokal?
Nganggur
Ketika tiba di Bunutan dan ngobrol dengan beberapa warga, kami baru menemukan jawabannya. Hampir semua fasilitas pariwisata tersebut adalah milik orang dari luar desa di mana restoran, hotel, dan penginapan tersebut berada.
“Pekerjanya juga dari luar desa semua,” kata Komang Putu, salah satu warga yang kami ajak ngobrol di Banjar Bunutan.
Pagi itu Putu sedang duduk di gardu. Di gardu lainnya, sekitar lima pemuda juga duduk santai sambil ngobrol. “Rata-rata mereka tidak bekerja. Nganggur,” Putu menambahkan.
“Kenapa tidak bekerja di hotel di sini. Kan banyak?” tanya istri saya.
“Tidak bisa. Pemuda di sini tidak punya skill,” jawab Putu.
Menurut Putu, warga setempat tak bisa bekerja di hote atau restoran di sana karena mereka memang tidak punya kemampuan. Misalnya, Bahasa Inggris. Seperti juga Putu, rata-rata pemuda di sana hanya lulus SD. Padahal, pekerja pariwisata biasanya minimal lulusan SMK.
Maka, menurut Putu, warga setempat hanya menjadi penonton dari kemajuan pariwisata Amed dan desa-desa di sekitarnya. [pullquote]Sekitar 90 persen hotel dan restoran di sana milik warga dari luar desa. Begitu pula dengan pekerjanya.[/pullquote]
Saya tidak sempat memeriksa ke tempat lain. Namun, beberapa hari kemudian, istri saya yang juga wartawan menelpon kelian banjar setempat. Jawabannya tak jauh beda. Sekitar 90 persen hotel dan restoran ataupun pekerja di desanya adalah milik orang luar. Warga setempat cuma menonton.
Lapangan Golf
Dari Amed, saya dan keluarga melanjutkan perjalanan hari itu ke pantai Bias Putih di Desa Bugbug, Kecamatan Karangasem. Jaraknya sekitar 30 km dari Amed.
Kunjungan kali ini pun yang kedua. Kunjungan pertama saya pada tahun 2008 adalah untuk liputan tentang rencana pembangunan lapangan golf di sini.
Dibanding empat tahun lalu, situasi di pantai berpasir putih ini lebih ramai. Meskipun bulan-bulan ini bukanlah peak season pariwisata Bali, namun deretan kursi berjemur ataupun kafe-kafe sepanjang pantai lumayan terisi turis lokal ataupun asing.
Pantai sepanjang sekitar 200 meter menghadap ke Selat Badung ini terapit dua bukit. Tinggi ombak sekitar setengah hingga 1 meter. Belasan turis mandi dan berenang di antara ombak-ombak itu.
Di pinggir pantai, jumlah kafe terus bertambah. Ketika saya ke sana empat tahun lalu hanya ada delapan kafe, sekarang sudah sekitar dua kali lipat. Bentuknya juga lebih permanen dan besar. Lebih profesional.
Selain kafe juga ada beberapa warung kecil dan toko suvenir milik warga setempat.
Namun, kegelisahan warga di sana tetap tidak berubah dibanding empat tahun lalu. Mereka terancam rencana pembangunan pariwisata di pantai tersebut.
Jika tidak ada perubahan seperti empat tahun lalu, maka di sini akan dibangun lapangan golf seluas 124 hektar. Selain lapangan golf dengan 18 hole, di sana juga akan dibangun fasilitas pendukung seperti garden, pool, shoping arcade, dan hotel berbintang lima. Total investasi Rp 1,427 triliun.
Pengelola lapangan golf ini adalah PT Sanggraha Bias Putih. Dalam surat perjanjian antara Desa Adat Bugbug dengan investor sih tertulis bahwa perusahaan ini dibentuk oleh PT lain, PT Lupita Pustaka.
Terancam
Ni Made Bintang, salah satu pedagang di sana, mengaku pernah mendengar rencana tentang pembangunan tersebut. Namun, dia tak pernah tahu kelanjutan proyek tersebut. “Mungkin sudah ditolak desa,” kata Bintang.
Namun, Gede Oka Semantara, salah satu anak pantai (dia memang terlihat bangga menyebut istilah ini), mengatakan bahwa proyek tersebut tetap berlanjut.
“Setahu saya kafe-kafe di sana (dia menunjuk ke sisi barat) sudah ngontrak di tanah milik perusahaan tersebut,” ujarnya.
“Kalau punya bos saya sih di tanah sendiri,” pemuda dari Desa Jasri ini menambahkan.
Meskipun demikian, seperti juga Bintang, Semantara juga merasa terancam jika lapangan golf tersebut jadi dibangun di tempat usahanya saat ini.
“Kami tak ingin surga kecil ini kami hilang karena investor,” ujarnya.
Suara-suara warga di Amed dan Bias Putih ini semua didengar penentu kebijakan di Bali. Semoga investor rakus tidak dibiarkan mencaplok milik warga dan justru meminggirkan mereka. Pariwisata haruslah memberi tempat kepada warga dengan melibatkan mereka. Agar warga tak hanya menjadi penonton atau malah korban semata. [b]
Pak. Arahnya ke Pantai Bias Putih kalo dari arah Candi Dasa/Denpasar bagaimana ya?