Memperbaiki lingkungan sejalan dengan pesan semua agama dan keyakinan.
Indonesia Climate Change 2015 digelar di Jakarta Convention Center (JCC) kelima kalinya pada 14-17 Mei 2015. Temanya “Penguatan Pembangunan Rendah Emisi untuk Masa Depan Berkelanjutan”.
Berbagai kegiatan dilakukan seperti pameran, karya ramah lingkungan, permainan, pentas seni, talkshow, pemutaran film serta lainnya. Kegiatan ini diselenggarakan atas kerja sama Kementerian Kordinator Bidang Kemaritiman Republik Indonesia serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia.
Salah satu hal menarik dari kegiatan ini adalah dialog interaktif pada Jumat, 15 Mei 2015. Dialog interaktif oleh Indonesia Forest and Climate Support (IFACS) ini mengusung tema Peran Agama dalam Perubahan Iklim. Hadir di atas panggung tujuh tokoh agama dan penggiat lingkungan, baik di tingkat nasional maupun di tingkat daerah.
Acara ini dimoderatori Fifi Alayda Yahya dari salah satu televisi swasta nasional.
Dalam perkenalan dan kata pembukanya, Ketua Harian Perisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Dr. Ir. I Wayan Swastika M. Si, , menyatakan bahwa alam adalah Ibu kami, tempat kami mengabdi dan mencurahkan kasih sayang. Sementara KH. Wahyuddin Junaidi MA dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan umat Islam dekat sekali dengan lingkungan. Berwudhu merupakan simbul hubungan erat antara muslim dengan air.
“Untuk itu kita harus menjaga kualitas air, bukan mencemarinya,” kata Wahyuddin. Namun, pada kenyataannya, justru terjadi kerusakan baik di darat maupun di laut akibat tangan manusia Indonesia. “Tentu saja termasuk para muslim di dalamnya,” ujarnya.
Cerita lain dihadirkan oleh Pdt. Evangeline Pua. M Si, anggota POKJA Lingkungan Hidup dan Agraria SDA Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia. Pada dialog interaktif ini, dia menceritakan berbagai pengalamannya ketika melayani jemaatnya di daerah. Evangeline mengungkapkan perkataan Mahatma Gandhi yang sangat menarik untuk direnungkan; ketika ikan habis dipancing, air habis diminum, pohon habis di tebang, barulah manusia sadar bahwa uang tidak bisa memberikan segalanya.
Pastur Limbertus Hendricus Hengendoorn yang sudah puluhan tahun melayani jamaat di Mimika, Papua juga bercerita. Setelah bertahun-tahun melakukan penyadaran tentang isu HIV pada masyarakat, dia menyadari bahwa ternyata isu lingkungan jauh lebih besar dan lebih serius implikasinya terhadap kehidupan masyarakat Papua. Untuk itu Pastur mulai menggunakan berbagai pendekatan baru umengikutsertakan isu lingkungan dalam penyampaian misi agamanya.
Sejalan dengan itu, Marwan SE, salah satu da’i asal Nangrue Aceh Darrussalam mengaitkan cerita adat dalam usahanya mengedukasi masyarakat tentang berbagai isu lingkungan. Salah satu imbauan yang sering disampaikan Marwan adalah agar masyarakat menjaga mata air di daerahnya agar tidak ada air mata.
Dialog interaktif ini semakin lengkap dengan kehadiran Fachruddin Majeri Mangunjaya, Wakil Ketua Pusat Studi Islam dari Universitas Nasional. Menurut Fachruddin pemuka agama mulai dapat melihat betapa kontribusi mereka dalam memimpin ummat adalah penting dan memiliki dampak langsung terhadap perilaku ummat sehubungan dengan perubahan iklim.
Kegiatan ibadah dapat memberikan kontribusi positif bagi perbaikan kualitas lingkungan. Para pemuka agama dapat terus mengingatkan umatnya bahwa berpartisipasi aktif memperbaiki lingkungan sejalan dengan pesan semua agama dan keyakinan. Mereka juga dapat memengaruhi perilaku umat dalam hal kebersihan, kesehatan fisik, tidak berperilaku mubazir terhadap sumber daya dan gaya hidup.
Dr. Stanisiaus Ferry Sutrisna Wijaya, Ketua Subkonsumsi Lingkungan Hidup Keuskupan Bandung, di atas panggung telah memberikan contoh nyata dengan selalu mengonsumsi air minum dari botol yang sengaja dibawanya dari rumah. Dia juga menceritakan bahwa dalam lingkungan gerejanya, beberapa pastur yang masih merokok tidak jadi ditahbis.
“Karena penyebar agama harus mampu mencontohkan perilaku sehat dan perilaku bertanggungjawab terhadap lingkungan,” ujarnya.
Penyebar agama harus mampu mencontohkan perilaku sehat dan perilaku bertanggungjawab terhadap lingkungan.
Mengajarkan perilaku ini harus kan dimulai dari diri sendiri. Sejalan dengan hal tersebut, Wahyuddin juga mengutarakan bahwa MUI telah mengimbau para pengurus majsid untuk mendaur ulang air wudhu. Adapun Wayan Suastika mencontohkan bahwa orang Hindu di Bali semuanya menanam pohon, minimal bunga, karena mereka memerlukannya untuk kepentingan upacara.
Fachrrudin memetakan sedikitnya ada empat kendala yang selama ini menyulitkan para pemuka agama menyosialisasikan perubahan iklim kepada umatnya masing masing. Pertama, pemahaman agama yang dangkal. Kedua, pendidikan yang minim. Ketiga, perilaku ummat yang konsumsinya berlebihan. Keempat, penegakan hukum yang lemah.
Fachrudin mengatakan bahwa MUI telah membuat berbagai fatwa terkait dengan lingkungan hidup. Misalnya fatwa haram membunuh satwa langka, membuang sampah sembarangan, merokok dan lain-lain. Berbagai fatwa ini juga telah disosialisasikan dengan bantuan media, ceramah, dan bentuk sosialisasi lainnya.
Dalam sesi diskusi, beberapa penanya adalah aktivis lingkungan. Sebelum bertanya, terlebih dahulu mereka upayanya dalam menghadapi isu perubahan iklim.
Salah satunya Siti Maimunah, Pengelola Hutan Pendidikan Universitas Muhammadiyah Palangka Raya. Selama ini beliau telah bekerja sama antar-lintas agama untuk mengelola 500 Ha hutan pendidikan milik Universitas Muhammadiyah Palangkaraya. Sepanjang upayanya, sejumlah kayu ulin di atas 50 tahun telah terawat dengan baik.
Untuk diketahui bahwa ulin kayu sangat kuat. Orang menyebutnya dengan kayu besi karena bisa bertahan lama di darat dan di dalam air. Beliau mewakili Universitas Muhammadiyah Palangkaraya bersama kaum Nasrani dan Hindu Kaharingan mengelola hutan ini bersama sesuai kearifan lokal penduduk sekitar.
Moderator Fifi Aleyda Yahya mengahiri dialog interaktif tepat pukul 16.00, setelah 2 jam acara ini berlangsung. Dia menyimpulkan bahwa kini para pemuka agama tidak dapat lagi hanya bicara hanya tentang surga neraka, halal haram serta pahala dan dosa. Isu lingkungan dan edukasi perilaku umat untuk bertanggungjawab terhadap lingkungan, terutama terkait perubahan iklim, menjadi hal sangat perlu untuk diprioritaskan.
“Perubahan perilaku ini harus dengan dari tindakan yang kecil, dilakukan diri sendiri, sekarang ini juga,” kata Aleyda. [b]