Jelang akhir tahun 2022 ini, BaleBengong membuat program baru. Namanya Histeria Pewarta Warga.
Ceritanya, tahun ini kami fokus berkegiatan bersama teman-teman dari berbagai desa. Melalui program rutin Kelas Jurnalisme Warga (KJW), etalase produk desa BaleLaku, sampai merintis tur khas Melali ke Desa.
Nah, beberapa tahun ini Anugerah Jurnalisme Warga (AJW) juga meluas diikuti pewarta dan pengelola media-media warga dari berbagai daerah di Indonesia. Kami memikirkan perlu ada ruang baru untuk mengapresiasi pewarta warga atau kontributor BaleBengong di Bali, terutama di desa-desa.
Muncullah ide Histeria ini. Salah satu niat untuk mendorong kepercayaan diri untuk tampil dan presentasi ide di depan publik juga. Pitching ide, mengenalkan ide atau inovasimu pada orang lain. Acara perdana berlangsung di Dharma Negara Alaya (DNA) Denpasar, 24 Desember 2022.
Dengan persiapan sangat singkat, Histeria pun hadir di tengah musim hujan angin beberapa hari ini di Bali. Syukurnya, puluhan bisa kawan hadir dan memeriahkan Histeria yang didukung oleh gerakan pendanaan publik langsung Spendedirekt.
Ada 10 ide yang dipilih untuk diadu. Ide-idenya luar biasa. Juri menilai sebagian besar mampu memecahkan masalah di desa. Mereka adalah:
1. Saking Timur, Desa Tulamben, Kabupaten Karangasem
Rosy Triska, perempuan muda dari Tulamben ini mengatakan saat lulus kuliah, pandemi hadir. Ia bersiasat merintis usaha sendiri bernama Saking Timur, menjual produk lokal desa seperti Arak Lontar. Kemudian merambah ikan tongkol yang dipindang dari nelayan setempat yang susah jual ikan ke hotel karena tidak ada turis. Kini olahannya dimasak di warungnya, Saking Timur di Denpasar.
2. Osila, Desa Besan, Dawan, Kabupaten Klungkung
Alumni KJW 2013, kemudian jadi panitia KJW di desanya ini menyebut Dawan yang terkenal dengan gula bali (olahan nira kelapa) bisa hilang jika petani pemanjat kelapa tak ada lagi. Karena meneres nira perlu keahlian memanjat kelapa yang tingginya bisa belasan meter. Ia menyebut dari sekitar 300 pembuat gula, kini sisa belasan. Ia memiliki ide budidaya pohon kelapa pendek, agar memperbudah panen nira. Ia sudah mencoba tanam 2 tahun ini, banyak bibit yang mati. Namun menurutnya kelapa juga bisa jadi carbon offsetting selain yang sudah ditanam, pohon beringin.
3. Komang Hendrawan, Dusun Pekarangan, Desa Ngis, Kabupaten Karangasem
Alumni KJW ini ingin membuat program Makepung alias melali ke kampung. Pengunjung bisa berinteraksi ke rumah warga, bagaimana hidup di desa. Kegiatan melali ini bisa dinikmati sehari-hari tanpa dibuat-buat karena keseharian warga. Misalnya ke kebun melihat proses bagaimana aren pohon enau atau jaka menghasilkan tuak, proses membersihkan pohon, dan lainnya. Mengenal apa itu Lau, ramuan yang mematangkan tuak. “Liang ane utama,” candanya mengaitkan kepanjangan lau. Desanya juga masih banyak kebun kakao, serta pengerajin rumahan mengolah pandan berduri jadi tikar pandan. Ia sudah merintis ide ini bersama warga dengan menata bukit Bayem dan Bulgari sebagai lanskap bebukitan dengan panorama laut pesisir Karangasem.
4. Bandem Kamandalu dan Hana, Desa Darmasaba, Kabupaten Badung
Keduanya membawa isu dan masalah sungai namun ada potensi untuk dikembangkan. Mereka melihat sungai Yeh Putih yang bisa dikembangkan jadi tempat rekreasi dan edukasi karena saat ini banyak masalah seperti penemuan orok-orok bayi, warung remang-remang, dan sampah. Selain itu sungai ini bisa jadi ruang hijau komunal belajar bersama. Desa juga sudah membangun lokasi pengolahan sampah namun kurang edukatif di sekitar sungai. Konsep memadukan sungai dan edukasi pengelolaan sampah. Sarana rekreasi yang cocok adalah river tubing, sisir sungai, jogging track di jalan usaha tani. Sungai ini juga bersebelahan dengan Green School bisa jadi kolaborasi melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sungai.
5. Gusti Diah dan Nanda, tentang Banjar Bukit Sari, Desa Sumberklampok, Kabupaten Buleleng
Keduanya menyampaikan kronologis panjang perjuangan warga eks transmigran TimTim asal Bali mengakses hak milik lahan pertanian di SumberKlampok. Mereka ikut program transmigrasi untuk menyukseskan swasembada pangan bagian dari revolusi hijau masa Orde Baru. Karena referendum, warga harus balik ke Bali. Dijanjikan 2 hektar, namun setelah 20 tahun tidak punya kepastian hak tanah. “Kalau belum ada sertifikat, suatu saat ada pembangunan bisa digusur,” jelas Nanda. Warga membuktikan produktivitas dan potensi keterampilan pertanian, namun dilatih pertanian skala besar dengan input kimia. Lalu ada pengetahuan baru dari organisasi pendamping untuk bertani lebih ramah lingkungan dan pertanian berdaulat. Idenya adalah mendukung petani punya kendali atas pangan. Kekuatan lain warga adalah keberagaman dan solidaritas, karena mereka dari berbagai daerah di Bali dan bergabung di Bukit Sari untuk memperjuangkan haknya.
6. Ni Made Gadis Maharani dan Baba, Banjar Kekeran, Desa Penatahan, Kabupaten Tabanan.
Tiga kakak beradik ini berasal dari Kekeran dan mengajukan ide Biro Konsultasi Desa untuk membantu perempuan dan anak jika terdampak kasus kekerasan yang masih sering dianggap tabu jika dilaporkan. Sebelumnya sudah ada sekolah paralegal desa di sana dikelola Bali Women Crisis Center. Banjar ini memiliki sejumlah contoh perkawinan alternatif seperti Nyentana, di sejumlah desa di Bali tidak diakui karena Bali secara umum menggunakan sistem perkawinan patrilineal.
7. Mang Yi, Desa Tembok, Kabupaten Buleleng
Inilah peserta termuda, masih SMK. Dengan penuh energi, Mang Yi, panggilannya memaparkan pentingnya pemerintah desa mendukung anak mudanya dengan beragam cara. Menurutnya kehadiran anak muda dan partisipasinya adalah kunci dari kemajuan dan inovasi desa. Desa Tembok memiliki sejumlah program dan kegiatan yang melibatkan anak-anak muda, termasuk KJW pada 2022.
8. Putu Diri, Desa Les, Kabupaten Buleleng
Putu Diri membawa konsep gunung dan laut yang menjadi kekayaan alam serta budaya Desa Les. Misalnya dari laut ada garam tradisional dan ikan hias. Kemudian dari bebukitan ada arak, lontar, dan lainnya.
9. Angga Wijaya, Desa Loloan, Kabupaten Jembrana
Dengan menarik, Angga mengisahkan sejarah kampung Muslim di Loloan yang sarat narasi, kekayaan sastra, dan akulturasi. Ide yang diusungnya adalah wisata kampung Muslim di Loloan karena kebudayaan Bali tidak tunggal. Ada sejarah keberagaman yang membuatnya makin kaya.
10. Peserta terakhir tidak bisa hadir dan menyiapkan video sebagai pengganti.
Kedua juri, Fransisca Prihadi (Direktur Minikino) dan Dwitra Ariana (petani dan pembuat film) memutuskan tiga terbaik adalah gagasan dan gerakan dari Desa Besan, Sumberklampok, dan Penatahan. Mereka memaparkan upaya melanjutkan generasi pembuat gula nira dengan budidaya kelapa pendek, pertanian ramah iklim untuk kedaulatan lahan petani eks transmigran TimTim, dan Biro Konsultasi Desa untuk korban kekerasan.
Ketiganya dinilai menjawab persoalan terutama HAM yang masih jarang didiskusikan. Dwitra yang bertani vanili dan buah lain di desanya Jeruk Mancingan, Bangli, mengatakan ada sesuatu yang perlu dan harus dikerjakan di desa. Karena itulah ide-ide peserta sangat dinantikan.
Ia mengingatkan tidak ada ide yang jelek, hanya kurang dipertajam. “Penting disuarakan, setidaknya saat ini. Kita punya tanggung jawab menyuarakan, menggerakkan,” urainya.
Sampai jumpa di Histeria berikutnya. Siapkan idemu ya.