Oleh Elok R. Sasisuci
“Sob, apa kabar lo? Gimana bokap-nyokap?”
Itu satu contoh kalimat singkat dari penggunaan dialek Jakarta dan bahasa prokem. Meskipun asalnya dari Jakarta, sudah banyak yang menggunakan bahasa serupa di daerah luar Jakarta. Di Bali, salah satunya.
Sekitar tahun 1970-an, novel “Ali Topan: Anak Jalanan” karya Teguh Esha, serta filmnya (1977) menjadi sebuah gebrakan baru dalam bahasa lisan di Jakarta, yang kemudian segera menyebar ke seluruh Indonesia. Novel itu banyak menggunakan bahasa prokem dalam dialognya.
Karena dilengkapi dengan “kamus kecil bahasa prokem” di bagian belakang, ragam percakapan ini mudah diadopsi oleh anak-anak muda di zamannya. Bahkan masih tersisa sampai saat ini.
Kata prokem berasal dari istilah preman. Artinya manusia bebas, atau sering juga diartikan pelaku kriminalitas). Kata prokem terbentuk dengan membuang sebagian suku kata akhirnya (an) sehingga tersisa prem, kemudian disisipi fonem ok. Jadilah kata prokem.
Dengan pola yang sama terbentuklah kata bokap (bapak), nyokap (ibu, nyak), ataupun sepokat (sepatu). Bahasa prokem juga mengalami perubahan dan perkembangan seiring berjalannya waktu.
Sebagai mahasiswi rantauan Jakarta di Bali, awalnya saya sering merasa kaku ketika berbincang dengan teman-teman di kampus. Lahir dan besar di Jakarta, saya terbiasa berdialek Jakarta dalam percakapan, menggunakan kosa kata prokem, dan menyebut gue-lo dengan teman sebaya ketika berbincang.
Teman-teman di Bali masih menggunakan kata ganti aku-kamu ketika berbicara. Awalnya terasa sangat aneh, karena sudah terlalu terbiasa menggunakan gue-lo. Lama kelamaan saya pun terbiasa, meski kadang tetap keceplosan.
Setelah berkenalan dengan lebih banyak orang, saya perhatikan ternyata tak sedikit rekan-rekan di Bali yang menggunakan dialek Jakarta dan bahasa prokem, terutama di kalangan teman sebaya. Rupanya pengetahuan dan pembiasaan berdialek Jakarta ini datang bersama media massa: televisi, radio, maupun majalah, yang mayoritas memang berpusat di Jakarta.
Pasti juga ada pengaruh dari para pendatang di Bali. Di kampus saya, tidak sedikit yang berasal dari Jakarta, dan masih berdialek Jakarta di sini. Bisa jadi penduduk asli Bali yang malah terbawa menggunakan dialek Jakarta, karena mungkin dianggap lebih keren dan lebih gaul.
Masih ada teman-teman di Bali yang menganggap bahwa segala sesuatu yang berbau Jakarta pasti keren. Sehingga mereka kadang terkesan kagum, atau malah terintimidasi, dan jadi merasa kurang. Pastinya, tidak semua hal yang berhubungan dengan Jakarta selalu benar dan dapat dicontoh.
Salah satunya dalam hal bahasa percakapan itu sendiri. Memang tidak ada salahnya jika para remaja memilih untuk berdialek Jakarta dan menggunakan kosa kata prokem dalam percakapan lisan sehari-hari dengan teman-teman mereka. Namun, berkiblat pada Jakarta tidak selalu berarti baik.
Mengutip wawancara dengan Ibu Alifiati, dosen Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana, beliau mengatakan, “Contohnya aja orang Bali, kalo kita dengerin radio tuh, nggak ada yang lokal-lokal. Mereka pake kiblatnya kan TV. TV kan kiblatnya Jakarta. Kita nyetel radio, radio di Bali, anak muda (Bali), tapi logatnya logat lo–gue-nya Jakarte.”
Pada kasus lain, dari cerita seorang teman yang sering diledek, karena ia berasal dari Jakarta. Bukan diledek dalam artian negatif, karena pada dasarnya mereka memang bercanda. Tapi kalimat awal biasanya berbunyi, “Ah, lo kan dari Jakarta.” Dan itu bisa mencakup berbagai hal, misalnya pakaian. “Ah, lo kan dari Jakarta. Masa pake sendalnya itu sih? Yang bermerek dong.” Seolah-olah semua orang di Jakarta mampu membeli barang branded.
Padahal mereka pastilah tahu, bahwa Jakarta tak seindah kisah roman, karena sudah cukup banyak media massa memberitakan tentang tekanan dan kesemrawutan Jakarta.
Seorang teman lain yang berasal dari Bali –yang sering menggunakan dialek Jakarta dan kosa kata prokem di kampus– memberitahu bahwa, meski ia menyebut diri gue dan lawan bicaranya disebut lo, tapi itu hanya ia lakukan di kampus, mengingat banyaknya pendatang dari luar Bali. Sedangkan jika ia sedang bersama teman-teman Bali-nya, ia tetap menggunakan bahasa Bali. Teman saya ini hanya mencoba menyesuaikan dengan kondisi sekitar.
Saya sependapat. Meskipun kita sudah bersentuhan dengan budaya luar, tidaklah baik jika kita mengagungkannya, seolah itu adalah yang paling benar di antara yang lain. Bali berkiblat ke Jakarta (atau Australia atau Jepang); sedangkan Jakarta berkiblat ke Amerika (atau Korea). Lantas, seperti petikan syair sebuah lagu populer: mau dibawa ke mana, bahasa (atau budaya) kita?
Yang tejadi dengan dialek Jakarta di Bali, bisa dianggap sebagai miniatur dari permasalahan bahasa (dan budaya) nasional. Kalau dahulu berkiblat ke bahasa Belanda, maka sekarang kalangan menegah dan kaum intelektual Indonesia umumnya berkiblat ke bahasa Inggris. Bukan hanya kosa kata, tapi sudah penggunaan ungkapan, seperti: on the way, as soon as possible, get well soon, next time better, soul-mate, dan sebagainya.
Belajar bahasa asing tidaklah salah. Memahami budaya luar tentu bermanfaat. Melupakan akar, itu masalah.
Bahasa memang merupakan unsur budaya yang paling mudah berubah. Dalam hubungan antarbudaya, perubahan awal akan terjadi pada bahasa. Selanjutnya, kebudayaan yang lebih kuat akan merasuk lebih dalam ke berbagai unsur budaya lainnya, pada kebudayaan yang lebih lemah, jika akarnya tak cukup kuat. Akibatnya, perubahan budaya akan terjadi berupa penyeragaman, atau akan timbul konflik budaya.
Sebagai contoh, merasuknya budaya materialisme (yang mengagungkan materi), pada kebudayaan Indonesia (atau Bali), yang sedang melemah akarnya. Misalnya dalam sistem transportasi: masuknya perangkat transportasi modern (mobil, sepeda motor), tanpa diikuti penyerapan budaya disiplin berlalu-lintas. Budaya politik demokrasi tanpa serapan sistem kepastian hukum dan budaya hukum yang sesuai. Sistem sosial-ekonomi pasar dan uang versus sistem gotong-royong.
Ketika terjadi perubahan tak berakar, sistem kehidupan masyarakat akan mengalami kegoncangan, yang antara lain muncul dalam bentuk peningkatan kasus kriminalitas.
Di era global ini, teknologi komunikasi, internet, dan media massa, semakin kuat berperan dalam perubahan budaya. Namun perubahan memang tak perlu dihindari.
Memasuki abad ke-21, Bahasa Indonesia telah jadi atribut terkuat kebudayaan Indonesia (diikuti batik di tempat kedua). Dialek Jakarta menjadi salah satu warna dari bahasa Indonesia. Deklarasi Sumpah Pemuda (1928) menyatakan bahwa kita menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia. Para pelopor dan pendiri negeri memang tidak meniatkan penggunaan satu bahasa tunggal, meniadakan bahasa-bahasa lokal. Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan, diperkuat oleh keberadaan berbagai dialek (termasuk dialek Jakarta) dan berbagai bahasa lokal. Yang terpenting adalah pemahan kita pada fungsi dan posisi masing-masing.
Ibu Alifiati juga mengungkapkan sisi positifnya, “Tapi di Bali tetap ada beberapa aspek yang memang secara substansi tetap dijaga. Seperti sistem religi, tetap berusaha dijaga. Karena kalo dilihat dari kebudayaan, sistem religi kan memang susah untuk berubah, kalau bahasa mungkinlah. Mungkin yang kulit-kulitnya agak sedikit bergeser, tapi secara substansi inti isinya masih bisa bertahan sampai hari ini. Tapi sampai kapan masih belum tahu. Yang jelas, bahasa lokal sudah jarang digunakan. Karena merasa lebih oke, jadi menggunakan bahasa Indonesia dengan logat Jakarta.”
Dari sisi lain, kondisi di Jakarta mungkin bisa jadi contoh. Jarang anak Jakarta yang bisa berbahasa daerah, meskipun itu adalah bahasa daerah asal Ayah atau Ibunya. Termasuk saya. Ayah saya berasal dari Jogja, dan sebagian besar keluarga saya berbahasa Jawa, tapi saya tidak pernah bisa. Sedangkan Ibu saya berasal dari Jawa Barat, keluarganya berbahasa Sunda, namun saya juga tidak pernah bisa.
Sementara teman-teman saya di Bali, tentu bisa berbahasa Bali, karena sejak lahir sudah diajari dan juga mempelajari dari lingkungan sekitar. Jadi ketika ada bahasa luar yang masuk, mereka tidak perlu meninggalkan bahasa ibunya. Tidak perlu pula malu, karena itu bisa menjadi nilai tambah, dan menjadi bukti bahwa ia bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi sekitar.
Tidak bisa disalahkan juga mereka yang memilih untuk menggunakan bahasa luar –dialek Jakarta– daripada bahasa daerahnya. Masing-masing akan menjalani proses adaptasi yang berbeda-beda. Asalkan akar tetap kuat, tak perlu ragu.
Jika bahasa daerah diibaratkan dengan akar; sedangkan bahasa Indonesia adalah batang yang mempersatukan; maka dialek, bahasa prokem, dan bahasa asing, bisa diibaratkan sebagai daun dan bunga, yang tentu saja menjadi pelengkap dari sebuah tanaman utuh. Bukankah, jika lengkap lebih baik? Daripada menghilangkan salah satunya? [b]
Ilustrasi dari Lidah Ibu.