Jalak bali tak sekadar jenis burung. Nama latinnya pun mengandung misteri.
Sejak tahun 2000, minggu kedua Mei diperingati sebagai Hari Migrasi Burung Sedunia (World Migratory Bird Day). Di Amerika dan Kanada biasanya diadakan pada Sabtu pekan kedua Mei tiap tahunnya. Adapun di Meksiko, Amerika Tengah-Selatan, dan Karibia diadakan pada Sabtu kedua Oktober. Kegiatan ini diprakarsai oleh Smithsonian Migratory Bird Center di AS sebagai tanggapan atas Bird Day (Hari Burung) yang dirayakan setiap 4 Mei. PBB kemudian meresmikannya pada 2006.
Tahun lalu peringatan ini serentak dirayakan di 65 negara . Termasuk di Indonesia yang dilasanakan di 14 daerah, mulai dari kelompok pengamat burung hingga aktivis taman nasional. Di Bali, salah satunya diwakili oleh Minat Profesi Satwa Liar Rothschildi, Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana (FKH Unud), dengan mengambil tempat di Pulau Serangan, Denpasar.
Tahun ini,Hari Migrasi Burung Sedunia bertemakan “… and when the skies falling silent? Stop the illegal killing, taking and trade of migratory birds…” Sebagai bentuk partisipasinya, telah digelar Seminar and Birdwatching the Migration Birds pada 13 Mei 2016 di FKH Unud Denpasar.
Aktivis burung menjelaskan bahwa peringatan Hari Migrasi Burung sangat penting karena jaringan ekologi bagi kelangsungan hidup burung migran. Peringatan ini sekaligus mengingatkan bahwa keseimbangan lingkungan hidup di berbagai belahan dunia tak hanya mempengaruhi siklus hidup burung migran, namun juga keseimbangan alam dan dampaknya bagi manusia.
Menurut survei, sekitar 50 miliar burung bermigrasi setiap tahun. Mereka melintas benua dengan jarak puluhan ribu kilometer untuk mencari makan atau untuk mendapatkan cuaca hangat dan melanjutkan siklus perkembangbiakan mereka. Namun, ritual tahunan itu kini semakin terganggu oleh perubahan iklim dan manipulasi cuaca.
Hasil penelitian menyatakan bahwa lahan makanan burung yang telah hilang seluas 23 hingga 40 persen akan menyusutkan populasi burung-burung migran ini hingga 70 persen. Dalam beberapa kasus, lajunya pembangunan kawasan pesisir dan proses reklamasi pantai sudah menghabisi lahan basah yang biasa dimanfaatkan oleh burung-burung sebagai tempat persinggahan mereka.
Indonesia merupakan salah satu tujuan akhir bagi kawanan burung raptor (pemangsa). Ribuan raptor bermigrasi mencari makan dari kawasan Asia Utara menuju kawasan Asia Tenggara. Bahkan Indonesia menjadi tujuan migrasi terbesar mereka di Asia Timur, sedangkan sebagian kecil mereka ke Timor Leste.
Musim migrasi biasa dua kali: musim gugur (September-November) dan musim semi (Maret-Mei). Ada 66 raptor migrasi di Asia, 19 bermigrasi melintasi kawasan Indonesia sebelum kembali ke area berbiak mereka. Menurut Birdwatching Community, di Bali biasanya mereka akan singgah di beberapa lokasi seperti Gunung Sega di Karangasem, Taman Nasional Bali Barat (TNBB), Bedugul, Tamblingan, Tukad Unda dan Pelabuhan Benoa.
Dari sekian banyak burung pendatang, mungkin hanya ada satu burung yang tidak bermigrasi dan bukan juga imigran. Tampilannya terdapat dalam uang logam Rp 200. Curik Putih atau lebih dikenal dengan nama jalak bali dikategorikan sebagai satwa endemik Bali. Jenis ini hanya ada di Pulau Bali. Dalam kehidupan liarnya juga konon tidak pernah ditemukan di belahan bumi manapun. Bisa jadi pula mereka lebih tua dari penduduk Bali itu sendiri. Saat ini kita bisa menjumpainya di kawasan Taman Nasional Bali Barat (TNBB), di Nusa Penida, di Sibang atau juga di Singapadu.
Jalak bali adalah sejenis burung pengicau yang lucu dengan nama latin Leucopsar rothschildi. Dalam istilah asing ia dijuluki bali myna, bali starling, atau Rothschild’s mynah. Pelestariannya berhubungan dengan sejarah pendirian TNBB. Berdasarkan SK Dewan Raja-Raja di Bali No.E/I/4/5/47 tanggal 13 Agustus 1947, kawasan hutan Banyuwedang dengan luas 19.365,6 Ha sebagai Taman Pelindung Alam/Natuur Park atau sesuai dengan Ordonansi Perlindungan Alam 1941 statusnya sama dengan Suaka Margasatwa yang difungsikan untuk melindungi keberadaan spesies langka burung jalak bali dan harimau bali.
Keberadaan jalak bali dilaporkan pertama kali oleh seorang ahli burung berkebangsaan Inggris pada 24 Maret 1911. Atas rekomendasinya, kemudian Dr. Baron Victor Von Plessenn mengadakan penelitian lanjutan pada 1925. Mereka menemukan penyebaran burung tersebut mulai dari Bubunan sampai Gilimanuk dengan perkiraan luas penyebaran 320 km persegi.
Tahun 1928 sebanyak 5 ekor jalak bali dibawa ke Inggris dan berhasil dikembangbiakkan pada 1931. Selanjutnya kebun binatang Sandiego di Amerika Serikat ikut mengembangbiakkan juga pada 1962.
Sejak tahun 1966, IUCN (International Union for Conservation of Natur and Natural Resources) telah memasukan si curik ini ke dalam ‘Red Data Book’ yang memuat jenis flora-fauna langka, terancam punah, dan dilarang untuk diperdagangkan. Pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 421/Kpts/Um/8/70 tanggal 26 Agustus 1970 tentang perlindungan burung jalak bali. Kemudian pada 1991 Pemerintah Daerah Bali menjadikannya sebagai Lambang Fauna Provinsi Bali.
Ada apa pula dengan Rothschild?
Kita tahu bahwa mayoritas flora dan fauna di dunia memiliki nama latin, dan masing-masing juga mempunyai spesiesnya. Ini mungkin akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan di Yunani pada masa lalu. Tapi lain halnya jika istilah-istilah latin tersebut disisipi nama orang, semisal bunga rafflesia arnoldi sejenis padma parasit (bukan bunga bangkai) yang identik dengan Thomas Stamford Raffles (Gubernur Hindia Belanda ke 39) dan Dr. Joseph Arnold. Atau juga cymbidium hartinahianum, tanaman anggrek liar di pulau Samosir Sumatera Utara, yang didedikasikan kepada Ibu ‘Tien’ Hartinah Soeharto.
Hal itu mungkin sah-sah saja. Tetapi sebagai bahasa ilmu pengetahuan, pemakaian istilah latin bisa juga dimanfaatkan sebagai alat atau strategi kekuasaan. Ini perlu kewaspadaan, antipasi terhadap upaya pencaplokan sumber daya alam dan upaya penghilangan nama-nama lokal.
Di balik mitos rakyat dan cerita-cerita tentang burung dalam beberapa lontar kuno, istilah ‘leucopsar rothschildi’ pada burung jalak bali terasa janggal. Sebab, spesies jalak lain di Indonesia seperti jalak suren dan jalak kerbau tidak disisipi nama orang (rothschildi). Adapun kata ‘roth-schild’ dalam bahasa Jerman berarti ‘perisai merah’ (red-shield), yang diambil dari gambar ‘666’ dengan latar heksagram merah.
Dalam sejarah dunia nama Rothschild tiada duanya. Nama tersebut benar-benar cuma ada satu di jagat ini. Dia menjadi sebuah nama keluarga besar yang terkenal dan disegani berkat kekayaannya yang melimpah ruah. Bahkan ia lebih dihormati oleh dinasti-dinasti kerajaan manapun khususnya di Eropa. Selain Rockfeller Family, siapa yang tak kenal Rothschild Dynasty?
Seorang penulis dan ekonom Amerika, John Coleman, mengungkap bahwa mereka memiliki banyak perusahaan, menguasai pers, pertambangan bahkan perbankan internasional. Diduga kuat mereka sering mensponsori peperangan, penjajahan dan kekacauan di muka bumi di balik partisipasinya terhadap sejumlah yayasan dan organisasi nirlaba seperti mendanai penelitian ataupun ekspedisi. Bahkan penjajahan Inggris di India dan Belanda di Indonesia pun tidak terlepas dari nama tersebut.
Terakhir, kasus perusahaan batubara terbesar di Indonesia, Bumi PLC/Asia Resource Minerals (induk PT. Berau Coal Energy Kalimantan Timur), yang melibatkan perseteruan antara Nathaniel Rothschild dengan Bakrie Group (Aburizal) atas tuduhan penipuan. Alih-alih Rothschild menggandeng perusahaan SUEK PLC Rusia dan memanfaatkan Hasyim Joyohadikusumo guna mendapatkan 100 persen dari kepemilikan saham.
Kembali ke jalak bali, berdasarkan sejarah umum disebutkan bahwa pada 24 Maret 1911 seorang biologiawan dari Jerman, Dr. Baron Stressman terpaksa mendarat karena kapal Ekspedisi Maluku II rusak di sekitar Singaraja selama kurang lebih 3 bulan. Lalu dia menemukan seekor burung jalak putih sebagai spesimen penelitiannya di sekitar Desa Bubunan, sekitar 50 Km dari Singaraja.
Versi lain mengatakan bahwa Erwin Steresmann, seorang naturalis dan ornitologis asal Jerman, adalah orang pertama yang mengakui keberadaan burung jalak bali kepada dunia barat pada 1911. Pemberian nama leucopsar rothschildi diberikan oleh Stresemann atas penghormatannya kepada sponsor ekspedisinya di Indonesia yaitu Sir Walter Rothschild.
Sumber lainnya menyebutkan bahwa jalak bali ditemukan pertama kali pada 1910. Nama ilmiahnya dinamakan menurut pakar hewan berkebangsaan Inggris, Walter Rothschild, sebagai orang pertama yang mendeskripsikan spesies ini ke dunia pengetahuan pada tahun 1912.
Terlepas dari sejarah mana yang benar, ketiganya akan mengacu ke salah satu dari keturunan Rothschild, yaitu Baron Rothschild II atau Baron de Rothschild. Nama aslinya adalah Lionel Walter Rothschild, anak pertama dari Nathan Rothschild (Baron Rothschild I). ‘Baron’ adalah salah satu gelar kebangsawanan di Eropa khususnya di Inggris seperti halnya Sir, Lord, Lady.
Mereka bukan orang Inggris tulen. Tetapi berkat kekayaan dan jasa-jasanya, berhak menyandang gelar kehormatan tersebut dari keluarga besar kerajaan Inggris. Walter sendiri memang lahir di London pada 8 February 1868. Sedangkan ayah dan kakeknya lahir di Frankfurt Jerman. Namun nenek moyangnya berasal dari suku Khazar di daratan Eropa Timur dekat laut Kaspia, sekarang tepatnya di Georgia.
Sebagai seorang pakar hewan, Lionel Walter juga bankir dan politisi. Sedari kecil dia sudah menyukai binatang. Koleksinya terdiri dari bermacam serangga, kupu-kupu, burung-burung eksotik dan binatang piaraan lainnya. Sebelum terjun ke dunia perbankan milik keluarganya (N M Rothschild & Sons) di London, dia sempat mengenyam sekolah kehewanan di Magdalene College, Cambridge. Sampai pada suatu ketika orang tuanya memutuskan untuk mendirikan sebuah museum binatang yang keuntungannya dipakai untuk mendanai perburuan ilegal satwa liar di seluruh dunia.
Berkat keahliannya, Walter berhasil mengumpulkan 300 ribu kulit burung, 200 ribu telur burung, 2,250 juta kupu-kupu, and 30 ribu kumbang-kumbangan, ribuan jenis mamalia, reptil, dan ikan. Adapun hewan-hewan yang terdaftar sebagai koleksinya, selalu diberi label rothschildi di belakangnya. Misalnya Giraffa camelopardis rothschildi (Jerapah Uganda), atau binatang endemik lainnya seperti Kuskus Obi dengan nama phalanger rothschildi di kepulauan Maluku. Masih banyak lagi binatang lain yang terdeteksi sebagai ‘spesies’ Rothschild.
Walter mulai membuka museum pribadinya pada 1892. The Walter Rothschild Zoological Museum merupakan salah satu bangunan terbesar di dunia yang menampung koleksi sejarah alam. Dengan alasan telah diperas oleh sang kekasih, pada 1932 dia terpaksa menjual koleksi burungnya kepada American Museum of Natural History. Setelah kematiannya pada 1937, museum dan segala isinya diberikan kepada British Museum. Semasa hidupnya dia tidak pernah kawin dan tidak punya anak, tetapi hanya memiliki 2 wanita gundik. Sekarang museum pribadinya di Tring dikelola oleh Natural History Museum, London.
Sungguh mengherankan jika seorang ilmuwan penyandang doktor sekelas Lionel Walter pernah menjadi anggota Parlemen Konservatif di wilayah Aylesbury, Inggris. Dan dia juga pernah bergabung dengan pasukan unit perbatasan di Royal Buckinghamshire Yeomanry. Apalagi ketika dia dipercaya menyusun rancangan deklarasi bersama seorang Rusia, Chaim Weizmann, dalam pergerakan Zionis Dunia.
Kedatangannya di kepulauan Indonesia hingga terdampar di Bali, bukanlah tidak disengaja. Karena biar bagaimanapun informasi-informasi tentang Wallace-Weber ataupun kabar berita tentang Perang Puputan Jagaraga 1849 dan Perang Banjar 1868 di Buleleng telah didapatkannya sebelum menjalankan ekspedisi Maluku.
[Wallace-Weber adalah sebuah garis hipotetis yang memisahkan wilayah geografi hewan Asia dan Australasia. Bagian barat dari garis ini berhubungan dengan spesies Asia, dan di timur berhubungan dengan spesies Australia. Garis ini melalui Kepulauan Melayu, antara Kalimantan dan Sulawesi; dan antara Bali (di barat) dan Lombok (di timur). Garis ini diberi nama sesuai nama penemunya, Alfred Russel Wallace]
Mungkin bagi sejumlah orang atau beberapa kelompok pecinta binatang mengganggap bahwa Baron Rothschild telah berjasa mempublikasikan jalak bali. Tetapi di satu sisi ada kepentingan apa di balik itu?
Kita pun tidak tahu motivasi FKH Unud menyisipkan kata ‘rothschildi’ pada nama komunitasnya. Apakah ini suatu pertanda bahwa pergerakan keluarga Rothschild masih berkelanjutan di Indonesia? Silakan, kita bisa berasumsi macam-macam di sini. Yang penting, sebelumnya jangan lewatkan momen indah bulan ini di titik-titik migrasi burung! [b]