Izinkanlah saya sebagai praktisi hukum memberikan pandangan terkait keluarnya SP3 Adi Wiryatama.
Penetapan Adi Wiryatama sebagai tersangka oleh penyidik Polda Bali telah memberikan harapan bahwa hukum tidak lagi tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Mantan Bupati Tabanan tersebut dijadikan tersangka dalam dugaan pemalsuan sertifikat tanah.
Namun, harapan tersebut telah sirna berkeping-keping begitu saja setelah terbitnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) bagi tersangka yang kini jadi Ketua DPRD Bali.
Penerbitan SP3 itu tidak hanya mengejutkan bagi praktisi hukum seperti saya tapi juga lembaga semacam Kejaksaan Tinggi. Saya yakin semua praktisi sudah tahu apa yang terjadi di Polda dengan berbagi analisis dan rahasia umum yang terjadi di dalamnya.
Berdasarkan pengalaman saya, kasus seperti ini masuk kategori kasus di luar kebiasaan karena bernuansa kekuasaan vs masyarakat yang termajinalkan. Terjadi dilema terlalu besar dihadapi Polda Bali dalam menangani kasus seperti ini, yaitu pertaruhan jabatan, kehilangan jaringan, dan karier kalau sampai melanjutkan kasus tersebut.
Di sisi lain, akan terjadi reaksi dari masyarakat kalau sampai kasus ini tidak dilanjutkan. Syukurnya bagi Polda adalah kasus ini dilaporkan oleh pribadi bukan masyarakat secara komunal. Polda Bali pun berani mengambil risiko untuk menghentikan kasus ini dan menghadapi riuhnya masyarakat.
Dalam kasus biasa, penentuan sebagai tersangka oleh Polda Bali tidaklah gegabah. Tentu sudah ada dua alat bukti untuk menjeratnya. Begitu pula dengan hasil lab forensik yang pastinya diperoleh sebelum penetapan tersangka.
Hasil lab inilah sebenarnya yang sangat riskan untuk dipermainkan. Unit ini ternyata berada di dalam kekuasaan Polda, dengan tata cara sendiri (absolut) dan tanpa adanya lembaga pengawas. Oleh karena itu patut juga dicurigai adanya mafia atau rekayasa didalamnya.
Keabsolutan lab tersebut mengakibatkan nasib seseorang hanya ditentukan oleh hasil yang bisa saja direkayasa. Atau bisa saja hasilnya salah sebab tidak ada yang menguji kebenarannya.
Ketakutan saya adalah hal tersebut telah terjadi pada kassus lain, misalnya kasus pemalsusan surat atau tulisan, sebagaimana mungkin terjadi dalam kasus Jaringan Aksi Tolak Reklamasi (JALAK) Sidakarya.
Ini kan keanehan. Kasus yang telah terjadi berbulan-bulan namun hasil labnya keluar setelah ada SPDP, bukankah seharusnya hasil lab digunakan untuk menjadikan orang tersangka baru dikirim SPDP??? Ada apa???
Begitu pula dengan keanehan SP3 yang dikeluarkan sesaat setelah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dikirim.
Dalam hal ini, selain hukum acara pidana yang diobrak-abrik di mana seharusnya menunggu P16 dan P17 dari kejaksaan, tanpa babibu sudah keluar SP3. Selain itu sebenarnya penyidik Polda Bali telah mencoreng institusi kepolisian karena dianggap main-main dalam penetapan status tersangka seseorang dan institusi kejaksaan tinggi Bali yang tidak diikutsertakan dalam penghentian kasus tersebut.
Bagaimana tidak SPDP dikirim lalu di-SP3 tanpa ada pemberitahuan. Memangnya kejaksaan tinggi itu dianggap apa oleh Polda Bali?
Sebenarnya kisah seperti ini mungkin kerap terjadi pada perkara lain yang tidak terekspos oleh media yang melibatkan orang-orang besar seperti pengusaha, atau orang yang memiliki jaringan di Mabes Polri.
Polda Bali perlu berbenah diri segera dan benar-benar menjadi garda terdepan dalam penegakan hukum. Demi menghilangkan anggapan hukum hanya tumpul ke atas tajam ke bawah. [b]