Setengah 7 pagi. Pan Sangut ribut di warung Men Koncreng.
Seperti biasa, ia memesan kopi dan godoh di dagang tipat cantok paling masyhur di desa ini sebelum berangkat mroyek. Sudah tiga bulan ini Pan Sangut jadi kuli bangunan di proyek hotel PT Bali Nirnyawa – megaproyek milik tapian Tonny Sunarto itu.
Pan Sangut membawa kegaduhan di media sosial kepada orang-orang warung. Lawan debatnya yang paling bernas, the one and only: Pan Delem. Kalau keduanya bertemu dan berdebat seperti di acara ILC, Men Koncreng akan nguping dan sesekali ikut nimbrung sambil mengulek-ulek bumbu tipat cantok yang dipesan para pelanggannya.
“Nasbedag! Penistaan ini, Lem!” kata Pan Sangut kepada Pan Delem sembari memukul meja di depannya.
Sontak saja, meja kayu berlapis plastik kusam karena tumpahan kopi dan berbagai jenis kuah itu bergetar. Aneka jaja seperti bantal, klepon, godoh, dan laklak di atasnya nyaris berserakan di lantai warung.
Pan Delem tidak menyahut. Ia malah asyik membaca koran. Satu kakinya dinaikkan di atas bangku panjang tempatnya duduk. Di antara jari tengah dan telunjukknya terselip sebatang Tali Jagat. Mulutnya kepras-keprus seperti asap knalpot.
“Cai ini gimana, Lem? Ini penghinaan, kok cai diem-diem aja? Cai sudah nonton tari kecak yang dinistakan itu, kan? Juga pementasan Rangda yang sangat jauh dari akar budaya Bali. Cang sing terima ne!”
Pan Delem masih tak menyahut. Dibolak-baliknya lembar demi lembar koran yang entah edisi dan terbitan kapan. Karena tak dihiraukan, Pan Sangut lalu bergeser ke samping Pan Delem.
“Lem, Lem, lihat ini!” Pan Sangut menyodorkan layar gawai merek Tiongkok miliknya yang sudah lecet itu. Dia perlihatkan komentar-komentar warganet di akun Facebook milik Jik Raja Nanti Pantau Suklagraha Brahmacari XXX.
Semua komentar isinya pujian terkait yang Jik Raja lakukan. Nyaris tidak ada komentar negatif tentang Jik Raja di akun Facebook-nya. Selidik punya selidik, ternyata Jik Raja punya kebiasaan blokir-memblokir akun orang yang tak sepaham dengannya.
“Lihat, Lem! Hanya Jik Raja yang mau mendengarkan aspirasi rakyat! Hanya dia yang paling lantang membela tari kecak dan rangda dilecehkan! Jik Raja memang inspirasi, cocok jadi gubernur!” gertak Pan Sangut.
“Kok yang begitu-begitu cai sangetin, Ngut?” jawab Pan Delem.
“Nasbedag, cai! Ya pastilah, pertunjukan semalam sudah melenceng dari akar tradisi Bali! Ini yang bikin Bali nggak ajeg!”
“Memangnya apa saja yang sudah cai lakukan demi ajegnya Bali, Ngut?”
“Inilah bentuk nyata nindihin gumi Bali, Lem! Membela tari kecak dan rangda agar jangan sampai ternoda oleh pakem-pakem budaya luar!”
“Cuma segitu, Ngut?”
Pan Sangut mengangguk.
“Ngut, cang gak mau bilang cai itu dungu — kata yang sering dipakai Gerung pada lawan-lawan debatnya. Tapi begini, Ngut. Apa bedanya pementasan semalam dengan tari kecak atau rangda jika sekarang dipentaskan di hotel-hotel, di mal-mal? Dulu, orang Bali tidak berani campah dengan sosok Rangda karena memang disakralkan, dipasupati, dan metaksu. Tapi, sekarang rangda dipentaskan di hotel-hotel, masuk ke mal-mal, jadi barang dagangan. Demi pariwisata yang selalu cai agung-agungkan itu, tarian yang dulunya sakral kini jadi profan. Apa itu kurang menghina namanya?”
“Yang dipentaskan di hotel-hotel kan, nggak dipasupati. Jelas beda!”
“Memangnya yang dipentaskan tadi malam itu rangda yang dipasupati?”
“Memang bukan! Tapi pakaian tari kecak nggak tertutup seperti itu! Itu jelas sudah tidak terlihat lagi unsur Balinya!”
“Itulah yang disebut seni pertunjukan kontemporer, Lem.”
“Maksud cai?”
“Yang di TV itu tidak sepenuhnya tarian Bali. Itu hanya sebuah inovasi, perpaduan antara spirit tradisional dengan spirit modern! Kalau cai bilang itu tidak sesuai dengan akar kebudayaan Bali, standar penilaiannya seperti apa? Harus jelas itu. Contoh sederhananya, Wayang Cenk Blonk. Jro Wayan Nardayana itu dalang yang kreatif dan inovatif. Dia memadukan teknologi dalam pementasan wayang, menggunakan tata cahaya, dengan kerlip lampu yang indah menawan. Lampu pada awalnya ditemukan oleh Thomas Alva Edison. Itu produk Barat! Produk modern! Sedangkan seni tradisi Bali itu selalu terinspirasi dari alam. Apakah dengan demikian Jro Dalang menghina akar kebudayaan Bali? Kan tidak! Justru akan memperkaya kesenian yang sudah ada!” sahut Pan Delem panjang lebar.
“Tapi, Lem. Yang tadi malam di TV itu tidak sesuai dengan estetika kesenian maupun kebudayaan Bali!”
“Seni itu soal rasa, Ngut. Kalau kata Rabindranath Tagore, dalam seni itu manusia mengungkapkan atau mengekspresikan dirinya, bukan objeknya. In art, man reveals himself and not his objects!”
“Mihhh, Pan Delem pintar juga, nggih Bahasa Inggrisnya,” Men Koncreng menyela.
“Gini-gini, dulu pernah kerja di kapal pesiar,” sahut Pan Delem lalu menyeruput kopinya. Ia melanjutkan, “Jadi, seni itu cara seseorang mengekspresikan sesuatu. Cai boleh tidak suka terhadap karya seni seseorang, tetapi merespon dengan sentimen yang berlebihan tentu tidak elok. Cai bilang, pertunjukan tadi malam itu menghina dan menistakan kebudayaan Bali. Itu tandanya cai ketakutan, merasa terancam bahwa kesenian dan kebudayaan Bali akan tergilas zaman. Kalau cai mencintai Bali dengan tari-tariannya, dengan kesenian lainnya, maka itu tugas cai dan generasi Bali untuk merawat, mempelajari, agar jangan sampai punah.”
“Pokoknya cang tidak setuju dengan pendapat cai, Lem! Hanya Jik Raja yang paling mengerti! Ajik Raja bilang, pertunjukan yang di TV itu juga melecehkan simbol-simbol Hindu! Kecak itu berangkat dari kisah Ramayana!” sergah Pan Sangut.
“Ya, terserah cai, Ngut! Cai kok sedikit-sedikit sentimen? Sedikit-sedikit penistaan. Sedikit-sedikit penghinaan. Apa bedanya cai dengan kelompok sebelah? Begini. Cai bilang itu berangkat dari kisah Ramayana. Tetapi, ketika kisah Ramayana yang begitu kompleks ditampilkan di hotel-hotel dengan cerita ringkas dan lagi-lagi hanya untuk menyenangkan wisatawan, cai diam saja. Itu menandakan cai menggunakan standar ganda dalam melihat kebudayaan Bali. Kalau dengan para bule, asal mereka ngeluarin duit, cai diam. Tapi dengan yang sesama warga negara Indonesia, berbeda sedikit saja, cai sebut mereka nak dauh tukad. Cai bilang diri nasionalis, tapi kok cai terkesan terlalu primordial! Kau ini bagaimana, atau aku harus bagaimana?”
“Begitu, Lem? Coba cang pikir-pikir dulu, Lem. Tapi, sejauh ini cang masih percaya dengan kata-kata Jik Raja. Kedaulatan yang cang miliki, sudah cang berikan kepada Jik Raja. Apapun kata-kata Jik Raja, cang sepakat!” jawab Pan Sangut.
Ia buru-buru menghabiskan kopi yang sudah mendingin. Pan Sangut kemudian melanjutkan, “Men Koncreng, kas bon dulu ya! Kopi hitam, godoh dua, laklak satu. Gaji belum cair-cair ini sudah dua minggu molor.”
Pan Sangut kemudian lari menuju truk yang sudah menunggu di depan warung Men Koncreng. Teman-temannya sesama buruh sudah menunggu di bak belakang truk.
“Miihhh, Dewa Ratu! Kas bon yang kemarin-kemarin juga belum dibayar, Pan Sangut!”
Tangan Pan Sangut melambai-lambai dari atas truk. Perlahan, truk pengangkut para buruh bangunan itu melaju kencang. Knalpotnya mengeluarkan asap hitam pekat. Pan Delem yang kepras-keprus menghisap Tali Jagat dibuatnya sesak.
“Nasbedag memang cai, Ngut!” [b]
Postingan penuh makna… penuh dengan kata kiasan yang Viral Jaman Now ?