Oleh Eko Teguh Paripurno*
Hari-hari ini kita dicemaskan oleh Gunung Agung. Sejak 22 September 2017 lalu, gunung berapi tertinggi di Bali ini berada dalam status Awas. Kita tidak tahu kapan erupsi tersbut terjadi, tetapi jelas kita mempunyai waktu terbatas.
Waktu terpendek dalam mengelola krisis terjadi pada erupsi Gunung Kelud di Blitar, Jawa Timur. Masyarakat hanya “diberi” waktu kurang dari 2 jam untuk melakukan penyelamatan. Pukul 21.15 dinyatakan berstatus Awas, pukul 22.30 sudah terjadi erupsi.
Penyelamatan berhasil karena masyarakat dan para pelaku di Gunung Kelud mempunyai tiga modal sosial yang memadai. Modal sosial yang sama rasanya ada juga terdapat di masyarakat Gunung Agung, dan secara cepat bisa kita tingkatkan bersama-sama.
Tiga modal sosial tersebut adalah (1) memahami karakter bahaya, kerentanan dan risiko; (2) memahami sistem pemantauan, peringatan, dan penyebarluaskan informasi; (3) mampu bertindak sesuai kebutuhan penyelamatan.
Karakter bahaya, kerentanan dan risiko
Saat ini para ahli menyatakan bahwa erupsi Gunung Agung masih menskenariokan erupsi 2017 sama dengan 1963, sebagai “colum collaps” tetapi dengan indeks erupsi lebih rendah. Artinya, ragam karakter bahaya “kurang-lebih” sama, dengan besaran yang berbeda.
Bila kita simak dokumen-dokumen erupsi 1963, maka material gunungapi dierupsikan secara vertikal dalam bentuk kolom erupsi dengan ketinggian dan sebaran sampai 10 kilometer. Dia bergerak ke samping sebagai aliran piroklastika dengan kecepatan mencapai 300 meter/detik, sesuai arah-arah bukaan kawah, secara berulang-ulang mencapai 286 juta meter kubik.
Secara lebih rinci maka akan ada serangkaian bahaya aliran piroklastika atau awan panas, hujan batu pijar, pasir dan hujan abu ke wilayah-wilayah tertentu.
Bila kita cermati Peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) yang diterbitkan oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), maka bahaya awan panas dengan suhu dan kecepatan tinggi berpotensi mengarah ke desa-desa sekitar Gunung Agung, yaitu Tianyar, Sukadana, Batu Ringgit, Kubu, Tulamben dan Dukuh, Besakih, Sebudi, Bhuana Giri, Amerta Bhuana, dan Bebandem.
Oleh karena itu kawasan tersebut termasuk KRB III dan KRB II. Kematian adalah risiko tertinggi bila kita masih di sana; oleh karenanya kita harus segera menyelamatkan diri, sambil membawa harta benda bergerak yang dapat kita selamatkan.
Bahaya lontaran batu pijar dan hujan abu lebat berpotensi secara merata ke arah Datah, Nawa Kerti, Ababi, Bebandem, Jungutan, Duda Utara, Pering Sari, Muncan, Menanga, Sibetan, Buda Keling, dan Rempatan.
Semakin dekat puncak, maka lontaran batu semakin sering dan diameter semakin besar. Kematian akibat terkena batu pijar adalah risiko tertinggi bila kita di sana. Oleh karena itu kita perlu menyelamatkan diri. Apalagi bila rumah-rumah kita tidak cukup tahan terhadap beban.
Di luar daerah tersebut di atas, seperti Labasari, Culik, Kerta Mandala, Tista, Abang, Kesimpar, Padang Kerta, Bungaya Kangin, Macang, Sinduwati, Sidemen, Rendang, Peninjauan, Yangapi, Abang Songan, Tianyar tengah, potensi hujan abu dan pasir pasti terjadi.
Hujan abu bahkan akan jauh meluas, mengikuti arah angin. Risiko tertinggi di wilayah ini adalah gangguan kesehatan. Oleh karenanya kita tidak perlu mengungsi, tetapi perlu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang banyak pasir dan abu.
Tentu saja skenario tersebut dapat berubah sewaktu-waktu. Perubahan tersebut yang perlu dinformasikan ke warga dengan cara baik. Kemampuan memahami pemantauan, peringatan dan informasi untuk melakukan tindakan men- jadi kebutuhan penting selanjutnya.
Sistem pemantauan, peringatan, dan penyebarluasan informasi
Bila kita membandingkan kondisi pemantauan dan peringatan saat erupsi 1963 dan saat ini tentu sangat berbeda. Dahulu boleh dibilang, Gunung Agung erupsi tanpa tanda-tanda, karena pemantauan dan pelayanan peringatan tidak memadai. Sekarang perubahan status gunungapi dari waktu ke waktu dapat kita ketahui.
Memperbaiki kesamaan persepsi informasi perlu dilakukan. Sistem peringatan dini oleh masyarakat merupakan pilihan terbaik. Sistem peringatan dini ini tergantung pada kepedulian dan partisipasi masyarakat dan keseriusan pemegang mandat dalam meningkatkan ketangguhan masyarakat.
Untuk keberhasilan sistem tersebut, maka perlu ditegaskan dan dipastikan: Siapa yang ditugasi? Apa tanda yang disepakati? Kapan peringatan disebarkan? Kapan waktu evakuasi? Kemana evakuasi?
Sistem kerja komunikasi dengan melibatkan Banjar merupakan modal sosial utama di Bali. Para pelaku lain, seperti BNPB-BPBD, TNI, Polri, hendaknya dapat bertindak sebagai fasilitator pendamping yang baik.
Diseminasi informasi dapat dilakukan melalui alat komunikasi radio (handy talky). Untuk ini perlu setiap lokasi pengungsian dapat memantau perkembangan di pos pemantauan. Untuk itu tentu diperlukan serangkaian peralatan pengarah dan penguat.
Cara lain dapat dilakukan dengan mendirikan sejumlah pemancar radio FM komunitas yang dapat dipantau warga secara langsung melalui radio transistor. Situasi ini menjadikan kesiapsiagaan selalu terjaga.
Bertindak sesuai kebutuhan penyelamatan
Bertindak sesuai kebutuhan penyelamatan dimulai dari proses evakuasi. Evakuasi merupakan tindakan terorganisir untuk perpindahan dan penyelamatan warga dari tempat berbahaya ke tempat aman, disertai proses penampungan sementara dan pelayanan sampai kondisi pulih. Jadi, hanya diperuntukkan bagi warga dari tempat berbahaya.
Jalur-jalur evakuasi dipilih untuk memudahkan warga menjangkau tempat evakuasi dalam waktu yang ditentukan. Pemilihan jalur-jalur evakuasi perlu mempertimbangkan beberapa hal. Misalnya kualitas jalan agar tidak menyulitkan perjalanan evakuasi warga, luasan jalan berbanding jumlah orang yang evakuasi utamanya untuk evakuasi mendadak, pemasangan tanda atau rambu evakuasi pemandu arah di sepanjang jalur-jalur evakuasi.
Jalur-jalur dan tempat-tempat evakuasi tersebut digambarkan dalam peta evakuasi. Peta evakuasi dapat dibuat secara sederhana oleh warga, dan disepakati untuk dijadikan rujukan bersama saat melakukan evakuasi.
Tempat evakuasi dapat berupa bangunan atau tempat perlindungan sementara. Tempat evakuasi yang dipilih perlu memperhitungkan kemudahan akses, memadai untuk prakiraan jumlah pengungsi, tidak berpotensi bahaya primer dan sekunder lainnya. Evakuasi perlu memastikan adanya sumber air bersih, tempat pembuangan limbah, pengumpulan dan pembagian logistik, pemberian pelayanan kesehatan.
Pengungsian antar Banjar dalam skala kecil merupakan pilihan terbaik. Membangun persaudaraan sehingga terwujud pengungsian antar Banjar perlu terus didorong, guna menggantikan dinamika pengungsian skala besar di gedung-gedung publik.
Strategi evakuasi menentukan keberhasilan upaya penyelamatan diri sebelum ancaman tiba. Strategi evakuasi merupakan kesepakatan masyarakat yang dibuat untuk menentukan waktu yang tepat untuk evakuasi, apa saja barang berharga yang perlu dievakuasi, moda transportasi yang digunakan, bagaimana dan siapa yang membantu warga yang berkesulitan evakuasi.
Evakuasi mandiri antar Banjar, yang terjadi atas inisiatif dan kesadaran warga merupakan pilihan terbaik. Keputusan warga untuk evakuasi mandiri dilandasi oleh pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang karakter ancaman yang dihadapi.
Pemilihan Banjar akan semakin baik apabila terdapat kesesuaian budaya antara pengungsi dan tuan rumah. Semua pihak perlu mendorong proses ini. Bukan sebaiknya.
Bagaimanapun Banjar sebagai tempat pengungsian akan memiliki keterbatasan. Oleh karena itu penguatan Banjar dan warga di sekitar Banjar dalam waktu cepat perlu dilakukan. Pemenuhan kebutuhan air dan sanitasi, berikut MCK perlu dicukupi, karena Banjar cenderung hanya memiliki 1-2 MCK.
Standar yang baik, diperlukan 1 MCK untuk 20-30 pengungsi. Kekurangan ini dapat dipenuhi dengan menggunakan MCK warga di sekitar Banjar. Untuk ini tentu perlu koordinasi yang baik dengan warga sekitar.
Penentuan lokasi pengungsian di luar Banjar perlu kehati-hatian. Perlu dipertimbangkan apakah lokasinya berpotensi terkena bahaya lain, banjir misalnya, karena tempatnya yang rendah. Hal ini seperti yang terdapat pada Pos Ulakan.
Penentuan lokasi MCK di lokasi pengungsian perlu hati-hati, disesuaikan dengan tata ruang adat Bali. MCK harus berada di bawah, dan di sisi barat – selatan. Bila semua pertimbangan-pertimbangan adat ini diperhatikan, maka pengungsian menjadi nyaman adanya.
Terakhir adalah menjamin keberlanjutan kepemilikan dan kontrol aset warga. Sering kita melupakan hal ini. Seolah, menyelamatkan jiwa adalah segalanya.
Standar Nasional Indonesia (SNI 7937:2013) untuk Layanan kemanusiaan dalam bencana, dapat menjadi acuan. Hal serupa berlaku pada warga di luar kawasan terdampak, yang mampu melindungi asetnya dengan baik. Dengan segala cara kemandiriannya. Bila semua terpenuhi dengan baik, maka erupsi G. Agung itu akan menjadi fenomena alam. Bukan bencana. [b]
*Eko Teguh Paripurno, Koordinator Program Studi Manajeen Bencana, Universitas Pemban- gunan “Veteran” Yogyakarta. +62818260162 / paripurno@upnyk.ac.id.