Korupsi terjadi di semua tingkat dan tempat, termasuk Bali.
Pada 9 Desember 2003, PBB menyetujui untuk melaksanakan sebuah Konvensi Anti Korupsi (United Nations Convention Against Corruption) di Meksiko. Konvensi ini bertujuan untuk memerangi tindak korupsi yang semakin merajalela di mana-mana. Sejak pertemuan konvensi itulah, maka setiap tanggal 9 Desember diperingati sebagai Hari Anti Korupsi Sedunia.
Beberapa hari sebelumnya, saya ingin memposkan tulisan ini bertepatan dengan hari tersebut. Tetapi, berhubung kelahiran korupsi itu sendiri, konon, sama tuanya dengan umur manusia, maka tiada salahnya jika perihal korupsi bisa juga disampaikan kapanpun. Tidak harus selalu terikat dengan suatu peringatan. Anggap saja ini sebagai bingkisan awal tahun, dengan harapan isinya bisa melekat sepanjang masa.
Bagi negara-negara berkembang seperti Azerbaijan, Bangladesh, Bolivia, Kamerun, Indonesia, Irak, Kenya, Nigeria, Pakistan, dan Rusia, tentu masalah ini bukan sesuatu yang baru. Walaupun mereka menyandang 10 negara terkorup di dunia saat ini. Di Indonesia, kasus korupsi mulai dikenal sejak zaman VOC Belanda sebelum tahun 1800. Dia berlanjut sampai pasca-kemerdekaan RI.
Yang mengherankan, justru negara-negara yang sudah maju atau bahkan organisasi internasional seperti IMF masih mau meminjamkan dana untuk Indonesia. Padahal mereka lebih tahu tentang sejarah dan kondisi negara kita. Hal ini menimbulkan kesan bahwa korupsi itu seolah-olah dijembatani, harus ada dan harus terjadi, terutama di negara-negara berkembang potensial.
Biar bagaimanapun, selain sebagai akibat dari penyakit jiwa, korupsi itu pasti ada yang mengajarkannya.
Culas
Dalam sistem perniagaan, tentu kita mengenal apa yang disebut dengan broker. Konotasinya bisa berarti pialang, cengkau, makelar, perantara, bahkan calo. Dewasa ini, istilahnya dihaluskan menjadi entrepreneur, yang berarti seseorang yang mempertemukan penjual dengan pembeli. Dalam dunia broker, seseorang biasanya mengetahui harga pasar dan ia harus memiliki kemampuan budgeting (menggangkarkan biaya) termasuk menaikkan harga (mark up).
Sungguhlah ironis jika cara seperti itu diterapkan dalam sistem pemerintahan. Negara disamakan dengan sebuah perusahaan. Meskipun memang, menurut beberapa sumber, negara adikuasa dan negara-negara maju lainnya dinilai berhasil berkat upaya dan partisipasi dari para broker emas yang andal dan culas.
Oleh karena itu, janganlah heran jika ada lahan tambang, maka di situ ada broker.
Di abad teknologi ini, iklan dan film adalah media ampuh untuk mengubah cara pandang masyarakat terhadap sesuatu. Misalnya tentang bagaimana seseorang mewujudkan kesuksesan. Gambaran mengenai orang sukses akan terekam lalu melahirkan obsesi atau angan-angan yang memaksa seseorang mengubah gaya hidupnya. Selama ini yang tercetak di benak masyarakat awam adalah bahwa korupsi itu merupakan tindak pencurian terhadap uang negara. Padahal artinya bisa lebih luas dari itu.
Bila anda search kata ‘korupsi’ di wikipedia, kemudian alih bahasa dalam Inggris, maka yang akan muncul adalah political corruption bukan corruption. Ini mengindikasikan bahwa korupsi itu dianggap selalu berkaitan dengan politik. Tetapi pelakunya bisa dengan sadar melakukannya ataupun terjebak ranjau politik sehingga menjadi tumbal dari strategi kekuasaan.
KPK dengan rujukan UU NO. 31/1999 dan UU No. 20/2001 menyebutkan bahwa pengertian korupsi mencakup perbuatan melawan hukum, memperkaya diri orang/badan lain yang merugikan keuangan/perekonomian negara, menyalahgunakan kewenangan karena jabatan/kedudukan yang dapat merugikan keuangan/kedudukan dan keuangan/perekonomian negara, kelompok delik penyuapan, kelompok delik penggelapan dalam jabatan, delik pemerasan dalam jabatan, delik yang berkaitan dengan pemborongan, delik gratifikasi/uang hadiah.
Dalam hal ini, istilah ‘manipulasi’ yang secara umum berarti penyelewengan, pengkaburan, rekayasa terhadap suatu kenyataan, sejalan dengan pengertian korupsi.
Bersalah
Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Bali pada tahun 2011, tercatat 21 kasus korupsi dengan nilai kerugian negara mencapai sekitar Rp 17,02 miliar lebih.
Dari berbagai kasus tersebut, barangkali ada salah satu yang cukup menarik, yaitu kasus retribusi parkir di Pasar Sukawati Gianyar. Seorang ketua yayasan pengelola lahan parkir digiring ke Sidang Pengadilan Tipikor Denpasar pada 23 April 2012. Tersangka terbukti bersalah: tidak menyetorkan uang retribusi parkir sebesar Rp 276.058.000,- kepada Pemerintah Kabupaten Gianyar.
Diberitakan bahwa sesuai perjanjian, pihak yayasan wajib menyetorkan seluruh pendapatan setelah dipotong 30 persen sebagai upah pungut juru parkir. Padahal, total hasil retribusi parkir di kawasan tersebut berjumlah Rp 956.458.000 selama kurun waktu setahun (2009-2010). Sementara tersangka hanya menyetorkan Rp 680.400.000.
Jika kita kaji kasus tersebut: pertama, terdakwa bukan seorang tokoh politik ataupun PNS; kedua, persentase pembagian hasil; ketiga, alasan si pelaku tidak menyetorkan keseluruhan.
Di sini, saya tidak bermaksud menguatkan dakwaan ataupun membela tergugat. Saya hanya ingin mengatakan bahwa kasus korupsi ada maupun tidak ada, apa pengaruhnya bagi masyarakat awam? Kondisi kas negara hanyalah cerita, karena kepemilikan dan keberadaanya bagai dalam dunia maya. Kerugian yang diakibatkan oleh tindak korupsi, tidak beda buruknya dengan keuntungan yang didapat dari tindak manipulasi.
Dalam hal ini, sebagian besar perputaran uang negara dan alokasinya apakah mengarah pada kesejahteraan hidup dan keadilan sosial?
Jawabannya akan tersirat pada ritual metatah atau mepandes (potong gigi) yang maknanya semakin diremehkan oleh sebagian orang. Dan mungkin para broker lebih tahu apa yang harus mereka perbuat: siapa cepat pasti dapat, daripada dikorupsi duluan oleh pihak lain, mendingan kita korupsi dulu. [b]
Foto ilustrasi dari Mata Aceh.