Dua puluh tahun perjalanan sebagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) bukan hal mudah.
IDEP adalah salah satu dari sedikit organisasi non-pemerintah dalam kategori yang memiliki napas sepanjang itu. Tahun ini, tepatnya 15 Mei lalu, Yayasan IDEP Selaras Alam (IDEP) merayakan ulang tahun ke-20.
Sekali lagi, tentu itu bukan perjalanan mudah mengingat begitu dinamisnya tantangan yang mesti dihadapi dari waktu ke waktu. Baik lokal maupun global. Internal sekaligus eksternal. Dalam kurun waktu dua dasawarsa itu, IDEP juga dihadapkan pada begitu banyak pengalaman jatuh-bangun yang bergantian datang dan pergi.
Kendati demikian, teguhnya keinginan untuk terus mengupayakan terwujudnya cita-cita ketahanan masyarakat (community resilience) dan keberlanjutan alam (sustainable environment) membuatnya tetap bertahan. Melalui pendekatan permakultur dan kesiapsiagaan bencana berbasis masyarakat, cita-cita itu terus-menerus diupayakan hingga saat ini.
Untuk memberi apresiasi sekaligus melakukan refleksi terhadap keseluruhan perjalanan itu, pada 18 Mei lalu IDEP menghelat Perayaan 20 Tahun di Taman Baca Kesiman, Denpasar. Perayaan tersebut diisi dengan serangkaian acara menarik.
Berikut ini adalah delapan hal penting yang dirangkum secara singkat dari jalannya seluruh perayaan selama hampir sehari penuh itu:
- Energi Terbarukan
Penggunaan energi terbarukan, yang berasal matahari, angin, arus air, dan panas bumi, bukan lagi hal mustahil. Buktinya, energi yang digunakan dalam Perayaan 20 Tahun IDEP berasal dari matahari.
Berkat bantuan Bio Solar Farms, energi matahari bisa dipanen melalui serangkaian panel surya. Energi ini yang memasok seluruh kebutuhan listrik perayaan itu, mulai pagi hingga malam. Bahkan, pertunjukkan musik yang kebutuhan listriknya besar itu pun sanggup dipenuhi lewat teknologi ramah lingkungan ini.
Di Bali, penggunaan energi terbarukan dalam kegiatan seperti perayaan 20 Tahun IDEP ini bukan contoh satu-satunya. Sebelumnya, band Nosstress dan Komunitas Pojoks juga sudah berhasil mencobanya dalam kegiatan mereka masing-masing.
Lewat contoh-contoh seperti itu, setidaknya publik punya semakin banyak bukti sukses untuk mulai dengan percaya diri meninggalkan energi kotor yang merusak alam, seperti batu bara, minyak bumi, dan gas bumi.
2. Diskusi Publik Bertema Tanggung Jawab Manusia terhadap Lingkungan
Fakta kerusakan lingkungan kerapkali tidak dianggap sebagai sesuatu yang serius. Padahal dampaknya sudah makin terasa dalam bentuk kekeringan, krisis air bersih, gagal panen, banjir, tanah longsor, serta polusi sampah dan udara.
Bahkan di banyak tempat, korban jiwa mulai berjatuhan akibat dampak tersebut. Namun demikian, kerusakan lingkungan tetap saja bukan soal yang jadi prioritas untuk diselesaikan.
Banyak penyebabnya. Ironisnya, semua punya rantai sama, yaitu manusia. Bagaimana tidak, eksploitasi yang dilakukan manusia secara berlebihan terhadap alam kerapkali tidak dibarengi dengan upaya “memberi kembali” hal-hal baik kepada alam sebagai cara merawatnya.
Lalu, bagaimana caranya menyelesaikan kemelut itu? Pertanyaan itulah yang kemudian coba diperiksa, dipercakapkan, dan dijawab dalam dua sesi diskusi publik pada perayaan 20 Tahun IDEP.
Sesi pertama secara khusus membahas tentang penerapan permakultur sebagai salah satu cara menjawab tantangan kedaulatan pangan. Di sesi ini, para praktisi permakultur seperti Hira Jhamtani, Robi Navicula dan Krisna Waworuntu berbagi pengetahuan dan pengalaman mereka menerapkan permakultur untuk sebagai cara berdaulat atas pangan.
Prinsip-prinsip permakultur, yang sejalan dengan budaya lokal warisan leluhur, dipakai karena lewat penerapannya manusia dapat mandiri secara ekonomi sekaligus pada saat yang sama terlibat aktif melestarikan alam.
Di sesi kedua bertema bencana ekologis Bali, pemantik diskusinya lebih beragam. Ada Lilik Sudiajeng dan Suryanegara Dwipa yang merupakan peneliti dari Politeknik Negeri Bali, Agus Suwestnawa dari Greenpeace, Wayan “Gendo” Suardana dari Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBali) dan Ade Andreawan dari IDEP.
Kelimanya berbagi data dan analisis terkait kerusakan lingkungan serta dampak yang mengikutinya dari perspektif ekonomi politik, kebijakan pembangunan, dan budaya lokal.
Dari diskusi intens itu terungkap bahwa kerusakan lingkungan yang masif paling banyak ditimbulkan oleh kebijakan pembangunan yang tidak mempertimbangkan dampak lingkungan. Di saat yang sama, nilai-nilai budaya lokal yang menjaga keseimbangan alam tidak lagi diterjemahkan secara utuh dalam praktiknya.
Jika demikian alurnya, maka semestinya upaya memperbaiki dan mengurangi kerusakan lingkungan beserta dampaknya juga dapat ditempuh melalui penerapan kebijakan, budaya lokal, dan juga kolaborasi multipihak yang mendasarkan diri pada prinsip-prinsip keberlanjutan.
3. Ragam Lokakarya
Ada tiga lokakarya menarik sejak pagi hingga siang ketika itu, yakni plastikologi, cukil, dan membatik. Mendapati ketiganya merupakan hal yang baru, para partisipan tampak tekun dan antusias mempelajari tiap langkah sejak awal. Sesi plastikologi dan cukil diikuti pelajar dari 18 SD di seputaran Bali, sedangkan sesi membatik diikuti para guru pendamping mereka ditambah beberapa pengunjung lain yang tertarik.
Sesi plastikologi difasilitasi seniman Made Bayak. Di sini, para pelajar tadi belajar mengolah berbagai sampah plastik menjadi karya seni. Tidak saja relatif bagus secara estetika, namun karya-karya yang mereka hasilkan juga punya pesan yang kuat. Terutama tentang kegelisahan mereka terhadap kondisi bumi yang sakit karena terbebani oleh perilaku merusak manusia.
Sementara di sesi cukil, yang berlangsung pada saat bersamaan dengan plastikologi di sisi sebelahnya, para partisipan diajak Ardee “Sangut” Wiyasa untuk belajar teknik mencetak gambar dari panel-panel kayu yang sebelumnya telah mereka pahat terlebih dahulu.
Menariknya, meski tanpa diarahkan, karya cukil yang paling banyak dihasilkan saat itu adalah gambar tanaman, binatang dan lanskap pemandangan alam. Bahkan ada yang menghasilkan karya cukil berisi gambaran proses penyerbukan.
Menjelang siang, tiba giliran sesi membatik. Di sesi yang dipandu Krisna Waworuntu ini, para partisipan diajak mengenali segenap tahapan membatik yang butuh kesabaran dan ketekunan. Kendati waktunya singkat, namun masing-masing mereka pada akhirnya menghasilkan batik kreasi mereka sendiri.
4. Pameran Karya Seni Berbahan Sampah Plastik
Sejak pagi, salah satu sisi Taman Baca Kesiman tampak meriah dengan pajangan puluhan karya seni kreatif yang unik. Menjadi unik dan menarik karena semua karya tersebut diolah secara kreatif dari sampah plastik. Ada jam dinding, aneka mainan, keranjang, vas bunga, akuarium mini, perabotan hias, kursi, boneka dan lain-lain.
Semua karya seni itu merupakan buah tangan para pelajar dari 18 SD yang tersebar di sembilan kabupaten dan kota di Bali. Sampah plastik yang menjadi bahan dasarnya diperoleh dari lingkungan sekitar sekolah dan rumah.
Selain sejumlah kebijakan seperti pelarangan penggunaan plastik sekali pakai di sekolah, itu juga menjadi salah satu cara pihak sekolah membangun kesadaran para pelajar tentang bahaya plastik yang tidak mudah terurai bagi lingkungan.
5. Tur Kebun Permakultur
Dengan keyakinan bahwa bertani juga merupakan cara merawat bumi dan menjaga keseimbangan ekosistem, salah satu mata acara yang dihadirkan di perayaan 20 Tahun IDEP adalah tur kebun permakultur. Itu dilakukan dalam dua sesi, pagi dan sore. Yang pagi lebih banyak diikuti pelajar SD, sedangkan yang sore kebanyakan diikuti orang dewasa.
Sambil menjelajahi kebun cantik milik Taman Baca Kesiman yang dirawat dengan prinsip permakultur, para staf IDEP berbagi tentang berbagai manfaat permakultur. Tidak saja bagi pemenuhan kebutuhan ekonomi rumah tangga dan kesehatan, melainkan juga bagi terjaminnya kelestarian lingkungan.
Selain mudah dilakukan dan murah karena hampir semua bahannya dapat diperoleh dari lingkungan sekitar, penerapan permakultur juga tidak dibatasi oleh ruang yang sempit. Seperti yang kini jamak dipraktikkan wilayah perkotaan yang padat, jika tidak memiliki ruang yang cukup di pekarangan, maka kebun juga bisa dikelola secara kreatif dan mudah dengan sejumlah cara. Misalnya, dengan teknik kebun vertikal.
6. Bazar untuk Pikiran hingga Perut
Di sepanjang jalan masuk Taman Baca Kesiman, para pengunjung langsung disambut bazar. Bazar itus menyuguhkan macam-macam produk dari berbagai komunitas dan unit bisnis. Umumnya, mereka merupakan komunitas dan unit bisnis yang juga mengusung visi pelestarian lingkungan dan keberlanjutan dalam berbagai aktivitasnya.
Mereka adalah Kelompok Tani Bukit Mesari, Koperasi Mambal, EcoBali Recycling, TrashStock, Trash Hero Indonesia, Buku Mahardika, Perpustakaan Jalanan Denpasar, Rak Baca Denpasar Kolektif, dan Baliku Jamur.
Bazar ini terbilang cukup lengkap untuk memenuhi kebutuhan, mulai dari pikiran hingga perut. Isi tiap-tiap lapak memang cukup menjelaskan itu. Ada buku, zine, sayuran dan buah segar-organik, beras organik, aneka panganan jamur, suvenir dari bahan daur ulang, dan lain-lain.
Tidak hanya itu, di sela-sela obrolan dengan para pengunjung yang mampir, perwakilan dari komunitas dan unit bisnis tadi terlihat berbagi informasi penting terkait upaya-upaya pelestarian lingkungan yang mereka sudah, sedang, dan akan kerjakan.
7. Pameran Baliho Sarat Pesan
Pesan-pesan tentang tanggung jawab manusia terhadap pelestarian alam dan keberlanjutan yang hendak disuarakan melalui perayaan 20 Tahun IDEP makin kuat dengan hadirnya sejumlah baliho. Baliho-baliho tersebut adalah karya mural yang dipamerkan pada pagelaran Pra-Bali yang Binal 8: Energi Esok Hari sehari sebelumnya. Pagelaran tersebut merupakan sebuah acara yang diinisiasi Komunitas Pojoks.
Itu bukan baliho biasa. Pasalnya, mural-mural yang dilukis pada permukaannya itu berisi kampanye dari para seniman yang hendak menyuarakan kegelisahan mereka terhadap penggunaan energi tidak terbarukan yang lebih banyak merusak lingkungan. Pada saat yang sama, kampanye itu juga sekaligus ingin menguatkan optimisme mereka bahwa beralih ke energi terbarukan yang ramah lingkungan, seperti tenaga matahari, angin, arus air, dan panas bumi, adalah hal yang bisa dilakukan.
Tidak saja kuat secara pesan, namun jejeran baliho yang mengelilingi arena pertunjukan musik tersebut juga megah secara artistik. Apalagi ketika malam tiba. Alhasil, berada di arena tersebut seperti menghasilkan dua kesan yang saling memanjakan: menikmati pertunjukan musik di galeri seni.
8. Pertunjukan Musik yang Akrab dan Dekat dengan Alam
Beranjak malam, Taman Baca Kesiman yang asri itu makin ramai dipadati pengunjung. Salah satu mata acara pamungkas yang memang ditunggu-tunggu dari perayaan 20 Tahun IDEP adalah pertunjukan musik pada malam hari.
Pertunjukan musik serupa lazimnya hanya dipadati remaja. Namun, tidak pada malam yang bertepatan dengan purnama itu. Ada juga sejumlah penonton yang datang memboyong keluarga mereka, lengkap dengan anak-anak. Ketika semua yang datang itu lebih memilih untuk meleseh beralaskan rumput, suasana menonton jadi terasa lebih akrab, santai, dan dekat dengan alam.
Panggung yang rendah dan lebih dekat ke penonton juga makin menguatkan kesan itu. Lebih-lebih ketika pada salah satu nomor lagunya, personel band Nosstress memilih duduk berhadap-hadapan dengan penonton di baris paling depan sambil mengajak semua bernyanyi bersama.
Selain Nosstress, ada juga penampilan istimewa dari Anda Bunga, Sandrayati Fay, Made Mawut, Jamel Hall and the Brass Tax, dan The Kelors, grup musik yang berisi para staf IDEP. Senada dengan pesan-pesan yang hendak disampaikan IDEP melalui perayaan itu, para penampil tersebut juga turut menyerukan tentang pentingnya kembali hidup selaras dengan alam melalui pikiran dan tindakan nyata.
Delapan hal tersebut bukanlah hasil final yang diharapkan dari perayaan 20 Tahun IDEP. Namun demikian, itu semua menjadi penting dicatat karena segala perjumpaan, diskusi, sikap kritis, semangat, gagasan, dan kerja nyata yang sudah saling dibagikan di sana dapat menjadi inspirasi untuk mulai menata hidup yang lebih selaras dengan alam di hari-hari mendatang. [b]