Oleh Pande Baik
Aura rainan Tumpek Landep (hari raya untuk menghormati benda-benda yang terbuat dari besi di Bali) kemarin jelas terasa, dari jalan raya yang agak lengang sampai ke parkiran pasar pula tak seramai biasanya. Banyaknya umat Hindu yang turut mererainan pada Sabtu kemarin, turut mengambil andil dari kesepian yang melanda seputaran kota Denpasar.
Berhubung Tumpek Landep bertepatan dengan bulan Purnama, itu artinya makin banyak saja yang melakukan piodalan besar di merajan masing-masing umat Hindu, yang berpengaruh pada jumlah anak lingsir (baik Sri Empu maupun Pedanda, tak lupa dengan Jero Mangku bagi yang tak kebagian jadwal anak lingsir) yang muput karya di tempat-tempat piodalan tadi.
Banyaknya umat yang mererainan ini berakibat pada sedikitnya nyama braya yang datang membantu dan meramaikan upcara piodalan yang dilakukan seperti halnya di merajan gede, tempat upacara berlangsung kemarin.
Mengingat jadwal anak muput ngantre dari pagi, maka upacara pun dimulai sekitar pukul 2 siang, oleh Jero Mangku di Tonja. Sedikitnya keluarga yang ada, menyebabkan beberapa kegiatan menjadi bersifat dadakan, apa yang ada ya dimanfaatkan saja.
Dari penari Rejang yang ditarikan oleh anak-anak perempuan yang masih suci, hingga tari Baris oleh anak laki-laki yang dihiasi pula dengan tangis penari kecil dibagian belakang, lantaran grogi saat diminta nari dibarisan depan. Huehehe.. Namanya juga anak-anak.
Anggota Sekaa Gong tak luput dari peserta dadakan. Sedikit kekhawatiran kalau salah megambel, menjadikan teruna-teruna banyak yang memilih ndak ikut ngayah. Ini karena salah seorang anggota keluarga yang kebetulan jago melatih akan sedikit galak kalo yang terlibat salah-salah baik karena grogi atau emang baru blajar. Huahahaha..
Tapi, kegiatan yang berlangsung hingga malam sekitar pukul 9, bisa dikatakan selesai dengan baik, berhubung seluruh kegiatan dapat dilangsungkan sesuai rencana. Yah, semoga saja Yasa yang dilakukan oleh segenap keluarga yang terlibat dapat berkenan di hati Beliau.
Semoga.