Caregiver atau pendamping orang dengan skizofrenia (ODS) sangat penting dalam pemulihan. Namun suaranya jarang terdengar.
Kini, para pendamping itu bersama penyintas (survivor) perempuan bersua dan membagi ceritanya dalam diskusi dalam jaringan (online) sekaligus memperingati Hari Kesadaran Skizofrenia sedunia tiap 24 Mei.
Nyoman Sudiasa, Koordinator Rumah Berdaya (RB) Denpasar yang membuka diskusi mengatakan karena dampak pandemi, teman-teman tak bisa ngumpul ramai lagi berkegiatan di RB. Jadwal kegiatan MEGAE, terapi aktivitas kelompok tak bisa dilakukan karena teman yang datang sagat sedikit tak bisa maksimal. Kegiatan produksi dupa juga turun drastis, tak banyak yang datang.
“Kita akali, di medsos belajar dengan situasi normal yang baru. Sekarang mulai produksi minyak VCO, walau pun 2-3 orang datang tetap produksi, seadanya,” ceritanya tantangan untuk terus berkarya selama pandemi Covid-19 ini. Kegiatan rutin Kopi Biji, diskusi santai juga terganggu padahal sebelum pandemi sudah dijadwalkan.
Sulandari, ibu caregiver yang berkumpul menggunakan satu layar laptop untuk diskusi daring ini berharap kegiatan harus terus ada, walau sedikit. “Agar anak saya keluar tak tentu arah, selama di RB tak pernah sama sekali keluyuran. Kegiatannya hanya tidur, makan, bersyukur sekali. Pusing sekali mengurus Indra,” ia memulai.
Kegiatan psikososial saat ini yang bisa diaksesnya adalah ke RB walau cuma 1-2 jam. “Dulu anak saya gggak kontrol, main pukul semua di dalam rumah terbawa emosi. Berobat ke dokter Wangaya, saya sampai bingung, ngamuk. Saya ke Dinsos, diminta ke RB saja, lalu ketemu pak nyoman,” ia mulai berbagi. Sebelum tahu pengobatan medis, ia fokus non medis, sampai ke sejumlah kota.
Cerita kedua dibagi oleh Desak, perempuan muda penyintas yang kini makin sering ke RB. “Depresi, lelah saya,” urainya pendek. Dokter Rai, psikiater membantu Desak mendeskripsikan perasaannya.
“Ada yang mengganggu nggak? Desak pernah kuliah kan.”
“Keburu sakit, tak bisa kuliah. Waktu sakit sering ngamuk, marah-marah.”
“Apa yang bikin tiba-tiba suka marah, ngamuk?”
“Lihat yang nggak kelihatan, seperti hantu.”
“Bagaimana perasaannya pas lihat itu?”
“Biasa saja, masih pernah waktu lihat mobil ambulance tua. Keinginan Desak kuliah lagi. Biar sembuh. Desak sempat kerja. Gak suka masak tapi makan. Bikin canang, bawa ke rumah sakit kasi dokter bagus.”
Dilanjutkan cerita ibu Emma dari rumahnya.
“Weda sudah saya ajak bantu nanam pohon, bersih-bersih, ngecat di villa. Tetap was-was ke RB nanti tunggu kondisinya normal aja. Sebelumnya pernah bantu ngedit video, gambar, disatukan jadi video, tambah musik.”
“Weda susah mikir ini itu. Susah ngingat apa.” Saya kasi tahu, “sama dengan pisau, kalau tak diasah bisa timpul.”
Saat sering dengar suara-suara, sudah ganti obat sampai dua kali. Sangat mengganggu sampai tidak tidur.
Anaknya merasa ada yang mengintip atau mengikuti. Sang ibu pun bekerja keras membawa ke Jakarta untuk pengobatan di pusat rehabilitasi. Ia berencana full berobat 2 tahun, dengan risiko bolak-balik ke Jakarta. Namun akhirnya mengikuti 3 bulan. “Namanya orang tua cari terbaik buat anak saya,” ujarnya sampai akhirnya bertemu dokter Rai di RB.
Ibu Sulandari berharap tak ada peristiwa lagi seperti dipasung karena tidak tahu cara menenangkan. “Saya sarankan ke medis. Primitif sekali kalau dipasung, kasihan,” serunya.
Wayan Martino yang juga memiliki keluarga dengan gejala depresi tak memungkiri jika orang Bali memiliki gejala skizofrenia pasti ke balian. “Bapak saya mengidap seperti itu dulu, sejak muda diajak ke balian, sempat pengobatan ke sungai, karena kita tak tahu dibawa ke mana. Kakinya dirantai. Akses pengetahuan susah, dan sulit mengajak berobat ke dokter.”
Masalah lain adalah stigma sehingga orang takut mengurus dan harus bikin surat pengatar Puskesmas. Menurutnya ini yang sering bikin ribet. Ia pernah ke dokter dan diagnosis bapak yang baru pertama kali diketahuinya adalah gejala bipolar. “Biaya obat mahal sekali, satu bulan sampai Rp1,5 juta,” lanjutnya. Pasien gangguan kejiwaan kini bisa diperiksa ke Puskesmas Abiansemal, atau RS Kapal. Hal seperti inilah yang menurut Martino perlu dipromosikan bareng, langkah pertama jika mengalami gejala apa? Gejalanya, di kalangan warga Bali dianggap hampir mirip seperi bebai. Kerauhan, kadang dibilang ngiring. Kalau lihat seperti itu pasti ke non medis.
Dokter spesialis kedokteran jiwa I Gusti Rai Putra Wiguna, salah satu peritis KPSI Bali dan RB menyebut itulah yang diperjuangkan KPSI, memutus stigma. Ada sesuatu yang tak bisa dilakukan pihak kesehatan, pemahaman atau edukasi. Akan jauh lebih efektif ODS dan warga yang ikut buat edukasi itu. Masalahnya tak semudah mengedukasi soal Corona atau DBD. Penyebab skizofrenia adalah multifaktor, bisa penyalahguna obat tapi tidak 100%, ada faktor lain kehamilan, trauma emosional korban bullying. “Sulit dijelaskan, penyebabnya tetap tidak jelas. Makanya banyak ke balian karena disakiti, salah betara, harus buat banten, dan lainnya.”
Anehnya, masih ada stigma periksa ke dokter jiwa, dibandig ke balian. “Malah lebih terhormat karena black magic. Tapi bukan karena skizo saja, juga yang lain. Gangguan dan perlu berobat jangka panjang sulit dimengerti,” papar Rai. Sementara untuk penyakit lain seperti Corona bisa sembuh dalam 2 minggu, DBD satu minggu. Itu baru sakit. Pengobatan jangka panjang sulit dipahami, seperti kencing manis. Hal yang paling efektif saat ini menurut pengalamannya adalah keluarga masuk grup KPSI, ada ribuan ODS dan keluarga, sharing di sana.
Karena itu, penyintas lah yang kini sering diajak mengisi ke pelatihan untuk perawat, dan lainnya. “Dokter bicara ke balian, agak aneh. Bahwa ada harmonisasi sekala niskala. Forum ini tepat sekali, cerita ini sangat bermanfaat, menyebar, kalau tidak hadir live bisa merekam dalam bentuk tulisan, video,” harap Rai.
Setelah tahu mengakses bantuan, juga harus diimbangi edukasi, dan kesediaan berobat. Saat ini belum ada hotline khusus kegawatdaruraratan jiwa, namun akan ada bantuan jika kontak ke Denpasar di nomor 112, Puskesmas dan Dinsos menurutnya sudah berkoordinasi.
Sudah ada kasus berhubungan gangguan jiwa dengan atau tanpa keluarga yang ditangani. Dirujuk atau tidak. Ada juga ruang konsultasi psikologi hotline TemanBaik, jika memerlukan dukungan dan pelatihan merespon ODS. Akun medsosnya @bertemanbaik.
Sistem BPJS kesehatan sudah dimungkinkan pengobatan gangguan kejiwaa, dari PPK pertama, Puskesmas, Dokter, dan seterusnya. Masalahnya kalau gangguan jiwa berat, susah pasien dibawa dan harus nunggu ikut antre, perlu didorong kebijakan khusus. Selain itu dukungan sistem home visit.
“Ke mana saja boleh berobat, psikolog atau psikiater, tapi sistem kesehatan tingkat 1 yang akan merujuk ke mana. Pasti diarahkan,” sebut Rai.
Pertolongan pada gangguan kejiwaan:
1. Layanan kesehatan tingkat pertama, seperti Puskesmas dengan akses BPJS Kesehatan
2. Minta rujukan ke tingkat lanjutan seperti Rumah Sakit terdekat
3. Minta penjelasan soal diagnosis karena cukup rumit dan tiap orang memiliki gejala berbeda
4. Bisa harmonisasi dengan pengobatan non medis, namun waspadai yang mengandung kekerasan
5. Akses layanan psikososial menuju pemulihan sekaligus pemberdayaan seperti Rumah Berdaya dan berkarya
6. Menambah pengetahuan dan dukungan sebaya lewat komunitas seperti KPSI, TemanBaik, dan lainnya
7. Terus didampingi untuk layanan psikososial dan minum obat
8. Jika melihat seseorang telantar di jalan, bisa menghubungi 112 untuk Kota Denpasar, dan Dinsos setempat.