Sambil mencegah alih fungsi lahan juga mencegah banjir.
Begitulah prinsip petani di Desa Peguyangan Utara, Denpasar. Sejak setahun lalu, mereka mengelola pariwisata berbasis pertanian (ekowisata) di tengah kota. Mari menikmati sawah di kota.
Pemimpin upaya tersebut adalah Jro Mangku Pura Dalem Khayangan di Jalan Ahmad Yani, Denpasar Utara. Menurut Jro Mangku yang bernama lahir Made Suastika ini, Subak Sembung adalah strategi pencegahan alih fungsi lahan pertanian sekaligus mempertahankan jalur hijau tersisa di Kota Denpasar.
“Silakan beritahu jika ada yang tidak pas. Kami masih belajar,” katanya rendah hati.
Pria ini bertutur kata teratur. Dia senang berbagi proses dan mimpi desa mereka. Seperti juga keramahan sawah-sawah petani ketika menyambut pengunjung.
Sebelum memasuki gerbang besi pintu masuk areal persawahan Subak Sembung sekitar 115 hektar ini, ada sebuah Pura Dalem dan setranya yang apik dan teduh.
Berbagai pohon bebantenan tumbuh merindangi areal ini. Kisah Basur nampak dari pohon Sokasati dan Rijasa yang lebat dipermainkan angin. Setra ini sama sekali tak menakutkan, jejak kremasi juga tak nampak. Hanya rumput hijau dan pepohonan.
Anak-anak sekolah dasar samping setra memanfaatkan parkirnya untuk tempat belajar, seperti latihan Pramuka. Di areal setra, suasana makin sejuk dari angin yang berembus bebas dari persawahan Subak Sembung.
Pemerintah Kota membantu dengan pembuatan jalan beton selebar 2 meter. Jalan setapak sepanjang 1 km ini membelah persawahan. Warga memanfaatkan untuk olahraga atau naik sepeda jika sedang sepi.
Di papan peringatan tertulis, hanya petani yang diperbolehkan mengendarai motor di jalan beton ini.
Sejumlah petani mengolah lahan sayuran, padi, bunga, jagung, kedelai, kangkung, dan lainnya. Sebagian besar ditanami padi. Petani juga baru beralih menggunakan input organik.
“Saya dapat bantuan pupuk dan bibit,” kata I Ketut Sari, petani bunga. Ia mengatakan dalam awig-awig kelompok subak disebutkan petani boleh menjual lahan tapi tidak boleh alih fungsi.
Awig dan hasil pertanian Subak Sembung terekam di tembok bale subak. Ada juga peta yang menunjukkan batas-batas areal subak dengan kawasan pemukiman, jalan, sungai, dan lainnya.
Jika berjalan mengelilingi areal subak, ada beberapa sudut peristirahatan seperti kursi dan bale bengong. Tanaman obat dan ubi-ubian dipelihara di pundukan.
Sebuah rumah kosong di kejauhan menjadi saksi penertiban jalur hijau di area ini.
Deduk, seorang petani kangung bercerita, pemilik rumah sudah diperingatkan untuk tidak membangun namun diabakaikan. Walau belum ada jalan, pemilik rumah melanjutkan dengan risiko membawa bahan bangunan cukup jauh dari lokasi rumah.
Satpol PP pun datang setelah rumah jadi. Mereka meminta pemilik untuk membongkar. “Kami sudah memberi tahu dan tidak didengar,” ingat Deduk. Petani muda ini mengolah lahan yang ditanami kangkung Lombok yang enak dijadikan sayur plecing. Tiap hari ia panen dan dijual langsung ke pasar tradisional terdekat. Penghasilannya melebihi buruh dengan upah UMK Denpasar.
“Tapi berendam di lumpur nanam kangkung kan tidak ada yang senang. Mending pakai baju necis kerja di dalam kantor,” ia tertawa.
Pengelola ekowisata merencanakan membuat sejumlah kegiatan yang mendukung petani seperti pasar sayuran tiap Sabtu dan Minggu. Saat ini masih belum bisa rutin dilaksanakan. “Nanti para petani menjual sayuran segar di areal subak,” kata Suastika.
Sejumlah pendamping seperti LSM Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali mengajari mengolah sayuran menjadi keripik, loloh, dan penganan lain yang bisa meningkatkan nilai jual hasil tani. Ada juga dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Bali dan lainnya.
Suastika juga berharap ada yang membantu pendokumentasian jejak sejarah subak dan desanya. Sebuah kisah yang diingatnya sejak kecil adalah legenda Bulak Sari. Sebuah sumber air yang sampai kini masih dijaga warga.
Dikisahkan seorang warga minta air suci ke Geria setempat untuk upacara agama. Seorang pendeta yang ditemui di jalan mengatakan tak perlu jauh ke geria, sembari mengambil air dari tengah sawah yang diberinya mantra.
Warga tadi menerimanya dan di tengah jalan meragukan kesucian air itu karena terlihat keruh. Di sebuah daerah ketika balik pulang, ia membuang air itu yang kemudian memercikan api menghanguskan sebuah area yang kini terkenal dengan istilah Angus.
Sekitar 7 beji di areal sawah kini terus dijaga warga setempat. “Kami percaya sawah ini sumber air untuk upacara dan juga menyerap hujan. Agar daerah hulu tidak kebanjiran,” kata bapa Gede, seorang petani. [b]