Akhir September kemarin, sebuah festival film tahunan kembali digelar di Bali.
Tahun ini Balinale International Film Festival ke-11 mempersembahkan 108 Film dari 42 Negara. Ada 29 Film Asia, baik fiksi maupun juga dokumenter diputar selama festival di Cinemaxx Theatre, Lippo Mall, Kuta itu.
Salah satu dokumenter Asia yang masuk dalam daftar pemutaran adalah NOKAS. Dokumenter karya Manuel Alberto Maia ini berlatar belakang salah satu daerah di Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Nokas menceritakan kehidupan dan perjuangan seorang lelaki Timor bernama sama dengan judul film. Ia petani muda di tengah belantara Kota Kupang yang sudah mulai digerogoti pembangunan. Dari sekian juta anak muda di Kupang yang lebih tertarik menjadi buruh demi mendapatkan uang dengan mudah dan pasti setiap bulan, Nokas memilih terbenam dalam lumpur, membanting tangkai-tangkai padi demi mencukupi kehidupan keluarga.
Nokas tinggal bersama ayahnya dan seorang kakak perempuan, orangtua tunggal dari dua anak kembar. Pada proses pembuatan film ini, Nokas tengah menjalin hubungan serius dengan seorang perempuan bernama Ci. Pada akhirnya, film ini mengerucut pada perjuangan Nokas demi menikahi Ci.
Film ini dibuat untuk menghadirkan sisi lain kehidupan masyarakat Helong di sekitaran lahan yang kabarnya akan dibangun Bendungan Kolhua. Sebagaimana pernah diberitakan, masyarakat setempat, orang Helong yang merupakan suku asli Kupang menolak pembangunan bendungan itu. Tanah di mana bendungan akan dibangun adalah tanah warisan para leluhur. Jika bendungan ini sampai dibangun maka hilang pula peradaban suku Helong di Kupang.
Belakangan saya menemukan berita bahwa bendungan ini tetap dibangun. Namun, namanya diganti dari Bendungan Kolhua menjadi Bendungan Helong untuk menghargai masyarakat asli. Berita dimuat Tribun News pada Desember 2014.
Entah bagaimana nasib pembangunannya hingga tahun 2017 ini, saya tidak mendapatkan link berita yang cukup meyakinkan sehingga tidak saya sertakan di sini.
Abe, sutradara film ini, pertama kali bertemu Nokas pada tahun 2013. Ketertarikan Abe selama melakukan delapan bulan riset tentang kehidupan Nokas selaku anak muda yang bertani, mengantarkan Abe mengenal sosok-sosok luar biasa lainnya. Atalya, kakak Nokas yang sebelumnya sudah saya bahas di atas, seorang ibu tunggal dengan anak kembar. Ayah Nokas, yang ditinggal istrinya menikah lagi dengan lelaki dari tempat asalnya, Pulau Semau. Ci, kekasih Nokas dan masih banyak tokoh lain yang membuat perhatian kita tersita selama 78 menit pada film ini.
Mengutip ungkapan Tonny Trimarsanto pada bukunya Renita, Renita, riset pada tahap pra produksi maupun produksi memegang peran penting. Riset tidak hanya di belakang meja, tetapi juga di lapangan mencakup riset visual, riset suara (termasuk mengetahui kadar kebisingan), riset pencahayaan dan seterusnya.
Bagi seorang pelaku dokumenter, melalui riset bisa ditemukan kemungkinan stuktur naratif, karakter yang kuat dan taksiran kebutuhan peralatan serta kru. Lebih dari sekadar kerja teknis merekam realita lewat kamera, membuat film dokumenter sejatinya adalah pergulatan kreativitas.
Agaknya, apa yang dikatakan dokumentaris tersohor inggris, John Grierson sangat tepat jika disandingkan dengan apa yang sudah dikerjakan Manuel Alberto Maia pada Nokas; “Film dokumenter adalah perlakuan kreatif atas apa yang faktual (faktualitas).”
Menulis tentang Nokas adalah menulis tentang perjuangan hidup lelaki paruh baya di Nusa Tenggara Timur. Saya, yang entah mengapa, selalu percaya bahwa niat baik saja tidak cukup sehingga menghabiskan 78 Menit dikali tiga untuk menonton Nokas. Sampai kali ketiga menonton pun saya masih bingung, apa yang akan saya tulis tentang film ini. Terlalu banyak plot menarik untuk dibahas.
Untuk memahami pernyataan John Grierson, sekaligus mengapreasiasi kerja kreatif sang sutradara, saya mendata sepuluh scene terbaik pada dokumenter ini. Menurut saya tentu saja.
Meminjam ungkapan seorang teman pada pemutaran pertama Nokas di Studio Minikino, Denpasar, beberapa bulan sebelum Balinale Festival, film ini dibuka dengan babi dan pukimai. Kata ini memiliki makna yang tidak baik, sangat kasar di kalangan masyarakat NTT, tetapi di saat tertentu, menjadi sebuah ungkapan yang lebih mengisyaratkan kedekatan atau keakraban.
Film lalu ditutup dengan babi juga serta penampilan ba’i yang heroik membantu Nokas memikul babi menuju pelabuhan dengan mengendarai sepeda motor.
Dua adegan di atas tentu saja tidak termasuk dalam sepuluh scene yang saya maksudkan. Saya memberi kategori istimewa pada dua adegan tersebut karena mengindikasikan masyarakat Nusa Tenggara Timur sesungguhnya. Khas!
Namun, yang ingin saya tekankan, kita tidak serta-merta mampu memahami budaya, tradisi maupun perilaku orang NTT hanya dengan menonton film ini. Berikut adalah sepuluh adegan terbaik yang saya coba rangkum.
Saat Nokas dan Ci berbincang-bincang di kamar.
Adegan ini direkam saat Nokas berkunjung ke tempat Ci dan menyempatkan diri membantu Ci di peternakan Ayam. Malam hari, lepas bekerja, keduanya menghabiskan waktu bercerita. Sepertinya ini rutinitas yang sudah biasa terjadi sehingga keduanya nampak luwes meskipun kamera tengah merekam adegan tersebut.
Ada yang menarik perhatian saya, ketika Nokas secara tidak sengaja hanyut dalam obrolan tersebut dan melempar sebuah kritik tentang gereja. Ci menceritakan bahwa Ia ditawarkan untuk menjadi bagian dari Komite Gerejanya.
Nokas kemudian menanggapi hal tersebut dengan sinis. Ia tertawa dan melemparkan pertanyaan, “Oh begitu. Kalau lu gabung jadi anggota komite, terus sapa yang siram tanaman dong, sapa yang kasih bersih itu tai ayam di kandang? Jadi komite itu tanggung jawab besar o..”
Lalu Ia melanjutkan, “Yang saya tidak masuk akal itu, kita selalu cari uang dan kasih itu uang untuk Gereja.” Sementara Gereja tidak melakukan apapun untuk umatnya.
Atalya menasehati bapaknya yang sedang merokok.
Adegan ini sebenarnya cukup lucu, sekaligus ironi. Sialnya, kita tidak bisa memungkiri bahwa ini sering terjadi di tengah masyarakat kita. Sulit memang menasehati orang yang lebih tua, ketika mereka seharusnya golongan yang telah paham akan hal baik dan hal buruk.
Film ini setidaknya memantik kesadaran kita untuk lebih peduli kepada diri sendiri tanpa harus diperingatkan oleh orang lain.
Atalya mengisahkan laki-laki yang tidak bertanggung jawab atas kedua anak kembarnya.
Tiga kali saya menonton film ini, tiga kali pula saya dibuat terpesona dengan kakak perempuan Nokas, Atalya. Mungkin Atalya hanya satu dari sekian wanita di Nusa Tenggara Timur yang dengan tegas mengambil keputusan menjadi seorang ibu tanpa harus menuntut tanggung jawab dari seorang laki-laki untuk menjadi ayah bagi anaknya. Bekerja mati-matian demi kelangsungan hidup keluarga.
Meskipun apa yang ia ceritakan adalah hal yang sangat mengiris hati, namun Atalya terlihat santai mengisahkan kegagalannya dalam membangun hidup berkeluarga. Bahkan ia ikhlas ketika lelaki itu menyatakan belum siap dan pada akhirnya memilih perempuan lain untuk dinikahi.
Pada detik ini, suara-suara yang menunjukan kekesalan terdengar dari bangku penonton, cukup keras.
Pembicaraan keluarga tentang BELIS.
Adegan ini sedikit mengganggu saya dan beberapa orang yang saya tanyakan pendapatnya tentang film Nokas setelah menonton.
Bagaimana para orang tua menjadikan peristiwa ini sebagai ajang tawar menawar mas kawin bagi anak perempuan mereka. Di daerah tertentu selain Kupang, belis atau mas kawin bisa menjadi mimpi buruk bagi pihak laki-laki yang ingin melamar gadisnya. Harga yang tinggi bisa saja dikenakan jika perempuan yang akan dinikahi berpendidikan baik, belum lagi status sosial yang diemban keluarga pihak perempuan.
Saat usia Sekolah Dasar, saya beberapa kali pernah diajak oleh orang tua untuk mengikuti upacara semacam ini di kampung. Pembicaraan bisa berlangsung sangat lama serta penuh pertimbangan. Ketika itu, untuk bocah seumuran saya, suasana tersebut sangatlah membosankan.
Yah meskipun di film ini, ceritanya tidak sehoror di atas. Namun, pembahasan mahar antara keluarga Nokas dan keluarga Ci berlangsung cukup alot. Bisa kita perhatikan ekspresi maupun juga gestur para tetua itu ketika berusaha menyampaikan tujuan mereka tanpa harus menimbulkan gesekan satu sama lain, benar-benar membutuhkan kerja keras.
Sebagai jembatan perantara dan merupakan tokoh penting dari upacara ini adalah Juru Bicara, orang yang akan membahasakan apa yang ingin disampaikan pihak keluarga dari kedua calon mempelai.
Obrolan saat bersantai di kebun
Saya suka suasana dan isi obrolan pada adegan ini. Sebagian besar penonton pun merasa terhibur ketika tiba pada bagian ini. Mama Dani, demikian beliau biasa disapa, benar-benar mendominasi obrolan antara dirinya, Atalya dan Nokas, tentu saja dengan keahlian berkelakar khas orang Timor.
Di adegan ini, kita bisa menemukan sebuah tradisi menertawakan hidup. Bagaimana orang-orang pada status sosial tertentu menjadikan keseharian hidup mereka yang serba pas-pasan serta dipenuhi dinamika sosial sebagai sebuah lelucon yang santai dan menggembirakan.
“Kalo sonde kawin, nanti bakarat!” hahahaha….
Artinya Jika tidak kawin, nanti berkarat. Metafora ini merujuk pada organ vital tubuh.
Atalya saat menjajakan kangkung di pasar pagi
Saya suka ketegasan Atalya di adegan ini. Mungkin hanya saya yang menanggapi ini sebagai hal yang menarik. Yah bisa jadi sangat sepele dan biasa saja, tetapi ketika ia ditanya, “Kenapa hanya ada kangkung? Kenapa sonde ada kol?” dengan santainya ia menjawab “Ko sonde tanam!” Lugas, singkat dan jelas.
Sebab, sebagai orang NTT, saya pun mengakui bahwa kami cenderung memiliki kebiasaan berbasa-basi yang tidak penting demi menjaga perasaan orang lain, maka yang biasanya muncul justru penjelasan hal-hal yang sebenarnya tidak subtantif, hanya membuang-buang waktu. Itu.
Nokas ke Semau
Pada awal tulisan, sudah saya jelaskan sedikit tentang Ibu Nokas yang memutuskan berpisah dari ayahnya dan menikah lagi lalu menetap di Pulau Semau, sebuah pulau di seberang Pulau Timor, tempat dari mana beliau berasal. Untuk meminta restu bagi pernikahannya sekaligus menggalang bantuan keluarga demi terlaksananya seluruh rangkaian acara, Nokas mendatangi ibu juga pamannya di Pulau Semau.
Pada adegan ini, kita bisa melihat, tidak ada rasa canggung antara Nokas, ibunya maupun juga ayah tirinya. Nokas bahkan menjadi sangat banyak bicara, menumpahkan semua uneg-uneg maupun juga beban hidup yang selama ini ia alami. Juga ketika Nokas mendatangi rumah pamannya untuk meminta bantuan serta secara resmi mengundang mereka datang ke Kupang. Rasa kekeluargaan begitu terasa meskipun telah sekian lama terpisah.
Atalya menasehati Nokas dan Ci
Lagi-lagi Atalya menjadi fokus di sini. Sebuah ungkapan menarik dari scene ini, ketika Atalya menasehati Nokas sebagai anak laki-laki satu-satunya dalam keluarga,
“Jang sampe kita macam sapi yang jalan sambil tutup mata. Su mau nikah, su harus mulai pikir tanggung jawab kasih keluarga. Kalau belum bisa urus diri sendiri, kermana mau urus keluarga?”
Di Nusa Tenggara Timur, budaya patriarki masih sangat berpengaruh, di mana laki-laki mendominasi penuh dalam keluarga maupun juga lingkungan sosial. Nasehat yang disampaikan Atalya, adalah bentuk perhatian yang lumrah dari seorang kakak kepada adiknya yang sebentar lagi akan menjadi kepala dalam keluarga.
Nokas, babi dan ba’i
Ini adegan favorit saya. Sangat heroik, meskipun di Nusa Tenggara Timur ini hal yang biasa dan sudah sering terjadi. Memikul hewan atau membunuh hewan dengan cara yang tidak masuk akal demi menghemat waktu dan tenaga ataupun alasan lainnya, sudah menjadi tradisi.
Setelah mendapat restu dari ibunya, Nokas diizinkan membawa pulang seekor babi ke Kupang. Babi ini nantinya dipakai pada prosesi perkawinannya dengan Ci. Untuk bisa sampai ke Kupang, babi tentu saja harus dipikul ke pelabuhan dan menyebrang bersama-sama dengan Nokas.
Di scene ini, Nokas dibantu oleh seorang bocah laki-laki yang biasa dipanggil Ba’i untuk mengangkut babi tersebut. Yang terjadi adalah, Ba’i begitu nekat menahan babi di atas kedua pahanya sementara Nokas membawa motor.
Di tengah jalan, karena kelelahan, mereka berhenti sebentar, lalu berganti posisi. Kini, Ba’i yang mengendarai sepeda motor dan nokas yang memikul babinya. Kau akan termangu melihat kaki Ba’i yang masih pendek harus berjinjit, lalu tangan kanannya dengan lincah memainkan gas, menembusi jalanan Pulau Semau yang berdebu dan samasekali belum diaspal.
Bagian penutup, Nokas, Babi dan Piano yang Mendayu-dayu
Ending theme dari film ini ternyata dikerjakan oleh salah satu personil band Melancholic Bitch, belakangan saya diceritakan sang sutradara. Bagian akhir yang cukup menguras emosi. Piano, close up wajah Nokas dan babi yang menggelepar terikat di depannya.
Di atas kapal menuju jalan pulang ke Kupang, Nokas duduk termangu, mungkin ia sedang berpikir keras bagaimana perjuangannya mewujudkan mimpi menjadi laki-laki yang bertanggung jawab di mata keluarganya, mata keluarga calon istrinya dan Ci, perempuannya.
Takut Akan Budaya
Nokas merupakan salah satu film yang membuktikan bahwa sebenarnya kita manusia yang hidup pada zaman modern ini, sangat takut menghadapi dunia dan segala tuntutannya, salah satunya adalah budaya dan tradisi. Mungkin kita mesti kembali merefleksi apa yang telah dilewati oleh para pendahulu kita. Bagaimana mereka dapat melaksanakan seluruh tradisi yang telah diwariskan turun temurun dengan tekun.
Bapak mertua Nokas misalnya, ayah dari Ci, beliau akhirnya berhasil melunasi mahar isterinya, beberapa waktu sebelum Nokas meminang anaknya. Dialog ini bisa kita temukan pada adegan ketika Nokas berbincang-bincang dengan ibu dan ayah tirinya saat ia berkunjung ke Pulau Semau.
Bagi saya pribadi, itu tindakan yang berani. Beliau tidak memandang materi sebagai beban berat atau penghalang dalam meneruskan pernikahan. Pasangan orang tua Ci dan keluarganya ini menemukan solusi di masa lalu dari tradisi yang katanya sangat “membebani.” Belis, pada mulanya adalah sebuah bentuk penghargaan dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan yang akan dipinang menjadi istri. Entah sejak kapan, ini perlu ditelusuri lagi, fungsi belis ini mengalami pergeseran makna dan disalahgunakan oleh kalangan tertentu untuk menimbun harta kekayaan keluarga. Hal ini kadang menjadi alasan bagi pihak laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap pihak wanita saat sudah berumah tangga.
Kasus semacam ini pun sudah banyak terjadi di Nusa Tenggara Timur, bisa jadi utang belis tersebut baru akan lunas ketika pasangan sudah memiliki anak atau sudah akan menikah.
Demikianlah sepuluh scene menarik dan terbaik menurut saya pada dokumenter Nokas yang berdurasi 78 menit. Terlepas dari beberapa bagian film yang menurut saya masih belum mampu memberikan kepuasan pada rasa penasaran untuk penonton seperti saya, misalnya pertanyaan, bagaimana akhir dari perjuangan nokas setelah membawa pulang babi tersebut? Apakah mereka akhirnya menikah dan semua masalah menuju pernikahan akhirnya mendapatkan solusi?
Juga masalah teknis lainnya yang tentu saja bukan kapasitas saya sebagai awam yang membahas perihal dokumenter. Saya melihat, bagaimana usaha Abe selaku sutradara untuk menjadi bagian dari keseharian nokas serta keluarganya, sehingga semua adegan dalam film ini terkesan natural, begitu dekat dan nyata, tidak dibuat-buat. Salute!
Film ini mendapatkan banyak apreasiasi, bukan hanya di dalam Negeri, tetapi juga di kancah Internasional. Pada tahun 2016 yang lalu, Nokas pernah diputar di Eurasia International Film Festival, Kazakshtan, lalu Singapore International Film Festival dan menjadi satu-satunya film dokumenter yang berkompetisi dengan puluhan film fiksi lainnya. Masih di tahun 2016, Nokas masuk sebagai salah satu Nominasi di Festival Film Indonesia, Kategori Dokumenter Panjang Terbaik. Pernah diputar di Box Kupang, sebuah pekan seni Komunitas di Kota Kupang pada Februari 2017 yang lalu.
Mendapatkan penghargaan sebagai Best Southeast Asia Feature pada Freedom Film Festival pada September 2017 kemarin di Malaysia. Pada awal oktober 2017 baru-baru ini, Nokas kembali diputar di Yamagata International Documentary Film Festival, Jepang. Yang terakhir, Nokas membuat saya tidak menyesal menontonnya sebanyak dua kali di Balinale Internatioan Film Festival 2017, karena berhasil meraih gelar Best Documenter.
Nokas, pada akhirnya membuat saya berpikir lebih tekun tentang banyak hal yang terjadi di kehidupan sosial masyarakat kita, yang penuh dengan ketimpangan namun tak jarang sering menjadi bahan untuk kita tertawakan dengan riang.
Terima Kasih untuk Shalahuddin Siregar dan Manuel Alberto Maia serta para kru yang telah menyedot perhatian para penonton dunia melalui Nokas. Untuk melihat lebih dekat Indonesia Timur yang kaya akan tradisi dan budayanya tetapi juga menyimpan sejuta masalah pelik yang tidak pernah terselesaikan. Hormat dan ditunggu kerja kreatif selanjutnya. Salam! [b]