Oleh Luh De Suriyani
Sudah lebih dari dua kali Ibu Jero, 36 tahun, melakukan testimoni di kantor DPRD Bali dan kantor gubernur. Terakhir, saya melihatnya kembali diundang untuk testimoni di Kantor Gubernur Bali akhir Oktober lalu. Perempuan dengan HIV/AIDS (Odha) itu masih saja menanyakan hal yang sama. Kenapa saya harus kena HIV? Adakah perempuan lain yang juga kena?
Ibu Jero adalah petugas pengangkut sampah di daerah Denpasar Timur. Setiap kali diundang testimoni ia tidak bisa menceritakan secara langsung bagaimana ia hidup dengan HIV selama beberapa tahun ini. Dengan Bahasa Bali, Jero hanya bisa menjawab paling banyak dua kata setiap kali pertanyaan dilontarkan padanya untuk membuat dia bicara.
Sangat beralasan kenapa Bu Jero selalu linglung jika ditanya asal muasal virus HIV yang kini dalam tubuhnya. “Kenapa harus saya yang kini menjelaskan, padahal saya tidak tahu apa-apa. Tanya suami saya yang sudah meninggal,” tukas perempuan yang kelihatan lebih tua dibanding usianya itu.
Bukan perkara Bu Jero tidak bisa membaca dan menulis yang membuatnya sulit menjawab pertanyaan dasar ketika testimoni di depan pejabat legislatif di Bali itu. Tapi ia masih tak bisa memahami kenapa suaminya memberikannya warisan virus pelumpuh kekebalan tubuh. “Saya sudah berkali-kali memaafkan dia setiap kali datang dari kompleks (lokasi prostitusi). Kenapa sih masih ngasi saya penyakit?” umpatnya dalam Bahasa Bali.
Ketika mendengar seorang narasumber menyebut kata kondom, ia kembali berujar, “Laki-laki bodoh, tidak tahu kondom.” Bu Jero mengakui kebiasaan suaminya membeli seks sulit diredam. Namun ia menyesal karena kepasrahannya itu kini berbuah HIV yang ditulari suaminya.
Testimonial Bu Jero yang didengarnya lebih dari sekali ini lah yang membuat Kesuma Kelakan, Wakil Gubernur Bali, menghadapi umpatan oposisinya akhir-akhir ini. Pasalnya Ketua Harian Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi Bali ini tengah berjudi dengan keputusannya untuk membuat program percontohan supervisi ketat di daerah prostitusi.
“Saya kini bersiap menggadaikan jabatan karena polemik usulan program supervisi ketat ini,” ungkap Kelakan. Inti program ini adalah memberikan pengawasan kesehatan bagi pekerja seks dan pelanggannya untuk memutus rantai penularan HIV. “Kalian mau nggak di daerah sini ada klinik kesehatan biar terhindar dari penyakit?” tanya Kelakan pada sejumlah perempuan pekerja seks di lokasi prostitusi Padanggalak, Denpasar, pada 30 November lalu.
Selain itu, supervisi ketat ini mewajibkan penggunaan kondom untuk setiap hubungan seks berisiko tinggi terinfeksi HIV. Klinik kesehatan itu adalah salah satu alat untuk menilai apakah program wajib kondom ini berjalan atau tidak. Salah satu indikatornya adalah kasus infeksi menular seksual (IMS) atau infeksi HIV.
Usulan ini menjadi polemik besar di luar isu kesehatan ketika sebuah media lokal Bali menterjemahkan program supervisi ketat dengan membuat lokalisasi. Sejumlah pejabat dan tokoh masyarakat yang merasa di Bali tak ada lokalisasi pun semburat. Hingga akhirnya oleh payung partai politiknya, Kelakan diultimatum untuk bersiap mundur dari jabatannya.
Kelakan sampai peringatan Hari AIDS Internasional, 1 Desember lalu masih kukuh untuk menciptakan sistem kontrol kesehatan dalam lokasi transaksi seks. “Penularan HIV ke masayarakat luas makin tak terkendali. Saya akan berdosa jika terus membiarkannya,” ujarnya pada tiap kesempatan menjelaskan prihal ini di depan masyarakat.
Pada 30 November itu ia mengambil kepemimpinan untuk mengkampanyekan penggunaan kondom bagi pekerja seks dan pelanggannya. Di sejumlah lokasi prostitusi ia membagi kondom berikut brosur informasi sembari menyelidiki tingkat penggunaan kondom. Sesekali ia terlihat menyelinap ngobrol dengan pemilik lokasi transaksi seks itu.
Ia bertanya berapa iuran yang harus dibayar pada desa dan sejumlah pihak lainnya. Kelakan makin mantap dengan keyakinannya bahwa bisnis seks sudah berakar dan secara tidak resmi diakui desa dengan mengumpulkan iuran pada pekerja seks dan pemiliknya.
Ikhwal kengototan Kelakan kampanye penggunaan kondom pada kelompok risiko tinggi terpapar HIV ini adalah hitung-hitungan data dari ahli epidemologi Prof. Dr. DN Wirawan yang juga pendiri Yayasan Kerti Praja. Hasilnya, setiap tahun ada 840 pelanggan seks yang berisiko terinfeksi HIV di Bali. Kelakan merinding, membayangkan berapa istri atau pasangan para pelanggan seks itu yang bisa tertular melalui hubungan seksual. Belum lagi anak-anak yang kemungkinan dapat terinfeksi juga.
Prof. Wirawan menyatakan hitungannya ini masih konservatif, karena ukurannya minimal. Misalnya, ia menghitung tiap pekerja seks hanya melayani seorang pelanggan per hari dikali jumlah kerja 250 hari per tahun, kali perkiraan jumlah pekerja seks 3000 orang. Dikalikan lagi 14% (jumlah pekerja seks yang terinfeksi HIV), 0,8% jumlah pelanggan yang tidak pakai kondom, dan kali 1% kemungkinan penularan HIV secara seksual. Hasilnya, 840 orang pelanggan diperkirakan terinfeksi HIV per tahun di Bali.
Hasil ini dikuatkan dengan kasus HIV dan AIDS di Bali yang terdata. Kasus penularan dari hubungan seks heteroseksual adalah yang terbanyak. Sejak pertengahan tahun 2007, kasus HIV dari heteroseksual meningkat terus sampai 60% pada akhir 2007. Padahal sebelumnya penularan melalui penggunaan narkoba suntik selalu mendominasi.
Data dan analisa kasus HIV dan AIDS inilah yang menjadi amunisi Kelakan dan KPA Bali ketika menghadapi pertanyaan, kenapa tahun ini KPA gencar melakukan kampanye penggunaan kondom. Kita tidak ingin kembali bertanya pada Bu Jero kenapa ia bisa tertular HIV kan? Bu Jero yang kini beradu hidup mati melawan HIV yang makin ganas melumpuhkan tentara pertahanan tubuhnya. Perempuan sederhana ini tak akan selinglung ini jika suaminya tahu mencegah penularan penyakit dari kegemarannya memacu birahi. “Untungnya, anak saya tidak dapat warisan HIV juga. Coba kalau kena juga, aduh,” Bu Jero menggeram.